26 September 2023, 09:46 WIB

Tahun Pemilu, Dunia Dikhawatirkan bakal Dibanjiri Disinformasi


Adiyanto | Weekend

MI / ADAM DWI
 MI / ADAM DWI
Ilustrasi: Webinar mengenai Antiidipasi Disinformasi menjelang Tahun Pemilu 2024 yang diadakan Kominfo 

Kehadiran sejumlah platform media sosial turut mendorong kebebasan berekspresi. Namun, di sisi lain, hal itu juga merupakan ancaman bagi demokrasi. Kekhawatiran itu kian mengemuka karena sejumlah perusahaan teknologi membatalkan pembatasan mengenai disinformasi menjelang penyelengaraan pemilu di sejumlah negara pada tahun depan.

Sejumlah pihak meramalkan pemilu global pada 2024 akan penuh dengan disinformasi dan kebohongan (hoaks), lantaran platform teknologi besar yang berbasis di AS, seperti Facebook dan YouTube membatalkan kebijakan yang dimaksudkan untuk mengekang hal tersebut.

Baik itu YouTube yang menghapus kebijakan utama misinformasi maupun Facebook yang mengubah kontrol pengecekan fakta, seolah ogah menjadi ‘pengawas'.

Perubahan kebijakan ini terjadi di tengah gelombang PHK, pemangkasan biaya, dan tekanan dari kelompok sayap kanan yang menuduh perusahaan induk Facebook, Meta, atau pemilik YouTube, Google, dianggap menekan kebebasan berpendapat.

Hal ini telah mendorong perusahaan-perusahaan teknologi itu untuk melonggarkan kebijakan moderasi konten, mengurangi tim kepercayaan dan keamanan, dan, dalam kasus X (sebelumnya Twitter) milik Elon Musk, memulihkan akun-akun yang selama ini dikenal sering mendorong konspirasi palsu.

Langkah-langkah tersebut, menurut para peneliti, telah mengikis kemampuan mereka (perusahaan teknologi) untuk mengatasi banjir informasi yang salah selama lebih dari 50 pemilu besar di seluruh dunia pada tahun depan, tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di India, Afrika, Indonesia, dan Uni Eropa. .

“Perusahaan media sosial belum siap menghadapi tsunami pemilu tahun 2024,” kata lembaga pengawas Global Coalition for Tech Justice dalam sebuah laporan bulan ini, seperti dilansir AFP, Selasa (26/9).

“Sementara mereka terus berpikir menghitung keuntungan, negara-negara demokrasi kita justru rentan terhadap upaya kudeta dengan kekerasan, ujaran kebencian, dan campur tangan dalam pemilu.”

Pada Juni lalu,  YouTube mengatakan akan berhenti menghapus konten yang secara keliru mengklaim pemilu presiden AS tahun 2020 diwarnai oleh “penipuan, kesalahan, atau gangguan,” sebuah langkah yang dikritik tajam oleh para peneliti misinformasi.

YouTube membenarkan tindakan itu dengan mengatakan bahwa menghapus konten ini dapat menimbulkan "efek yang tidak diinginkan yaitu membatasi pidato politik".

Era Kecerobohan

Twitter, yang sekarang dikenal sebagai X, mengatakan pada November lalu bahwa mereka tidak akan lagi menerapkan kebijakan misinformasi terkait Covid-19.

Sejak akuisisi besar-besaran yang dilakukan miliarder Elon Musk terhadap platform tersebut pada tahun lalu, mereka telah memulihkan ribuan akun yang pernah dibekukan karena pelanggaran, termasuk menyebarkan informasi yang salah. Twitter juga memperkenalkan sistem verifikasi berbayar yang menurut para peneliti jusstru telah berfungsi untuk meningkatkan teori konspirasi.

Bulan lalu, platform tersebut mengatakan bahwa mereka sekarang akan mengizinkan iklan politik berbayar dari kandidat presiden AS. Kebijakan ini membalikkan larangan sebelumnya dan memicu kekhawatiran atas misinformasi dan ujaran kebencian pada pemilu tahun depan.

“Kontrol Musk atas Twitter telah membantu mengantarkan era baru kecerobohan platform teknologi besar,” kata Nora Benavidez, dari kelompok non-partisan Free Press, kepada AFP. “Kami mengamati kemunduran yang signifikan dalam tindakan nyata yang pernah dilakukan perusahaan teknologi.”

Platform-platform tersebut juga mendapat tekanan dari pendukung konservatif AS yang menuduh mereka berkolusi dengan pemerintah untuk menyensor atau menekan konten berhaluan kanan dengan kedok pemeriksaan fakta.

“Perusahaan-perusahaan ini berpikir bahwa jika mereka terus memenuhi tuntutan Partai Republik, mereka akan berhenti mendapat masalah. Padahal yang mereka lakukan hanyalah meningkatkan kerentanan mereka sendiri,” kata Berin Szoka, presiden TechFreedom, sebuah lembaga Think-Thank, wadah bagi para pemikir.

Selama bertahun-tahun, algoritma Facebook secara otomatis memindahkan postingan ke tingkat yang lebih rendah di feed jika postingan tersebut ditandai oleh salah satu mitra pengecekan fakta pihak ketiga platform tersebut, termasuk AFP, sehingga mengurangi visibilitas konten palsu atau menyesatkan.

Facebook baru-baru ini memberikan kontrol kepada pengguna di AS, yang memungkinkan mereka untuk memindahkan konten ini lebih tinggi jika mereka mau, sebuah langkah yang berpotensi signifikan yang menurut platform tersebut sehingga akan memberi pengguna lebih banyak kekuatan atas algoritmanya.

Topik hangat

Iklim politik yang hiperpolarisasi di Amerika Serikat telah menjadikan moderasi konten di platform media sosial sebagai isu hangat. Awal bulan ini, Mahkamah Agung AS untuk sementara menunda perintah yang membatasi kemampuan pemerintahan Presiden Joe Biden untuk menghubungi perusahaan media sosial guna menghapus konten yang dianggap misinformasi.

Pengadilan rendah yang terdiri dari para hakim yang dicalonkan oleh Partai Republik telah memberikan perintah tersebut. Mereka menyebut para pejabat AS bertindak terlalu jauh dalam upaya mereka untuk memengaruhi platform untuk menyensor postingan tertentu.

Peneliti misinformasi dari institusi terkemuka seperti Stanford Internet Observatory juga menghadapi penyelidikan kongres yang dipimpin Partai Republik serta tuntutan hukum dari aktivis konservatif yang menuduh mereka mendukung sensor – sebuah tuduhan yang tentu saja mereka sangkal.

Menurut Ramya Krishnan, dari Knight First Amendment Institute di Universitas Columbia, perampingan sektor teknologi yang telah menghancurkan kepercayaan dan keselamatan tim pengelola, serta buruknya akses terhadap data platform semakin menambah tantangan mereka. “Masyarakat perlu segera mengetahui bagaimana platform digunakan untuk memanipulasi proses demokrasi,” katanya kepada AFP.

“Penelitian independen sangat penting untuk mengungkap upaya-upaya ini, namun pihak pengelola platform terus menghalanginya dan membuat upaya ini berisiko.” Imbuhnya. (M-3)

BERITA TERKAIT