Jarum jam baru saja bergeser dari angka enam. Selasa ((18/9) pagi itu, sejumlah orang yang belakangan diketahui agen intelijen Prancis, datang ke rumah jurnalis Ariane Lavrilleux.
"Mereka menggeledah rumah saya, dan khususnya alat-alat kerja saya, seperti komputer, telepon, dan USB. Mereka menggunakan banyak metode untuk mengambil data. Lalu saya dijebloskan ke penjara," kata perempuan yang bekerja untuk situs investigasi Prancis, Disclose.
Dia kemudian menghabiskan 39 jam dalam tahanan. Di situ ia berulang kali diinterogasi oleh agen dinas keamanan internal DGSI Prancis. Lavrilleux diinterogasi hanya karena memberitakan isu yang dianggap ultra-sensitif dari kerja sama militer Prancis dengan sekutunya, Mesir.
Lavrilleux akhirnya dibebaskan keesokan malamnya dari penjara di Marseille. Tidak ada tindakan lebih lanjut yang diambil pada tahap ini. Namun, seorang mantan tentara yang dicurigai sebagai salah satu sumbernya, telah didakwa dan dapat diadili.
Penangkapan Lavrilleux mengejutkan rekan-rekan jurnalis dan aktivis di Prancis. Ini menimbulkan pertanyaan bagaimana pemerintah menerapkan undang-undang kontroversial mengenai masalah kerahasiaan nasional, di negara yang seharusnya menghargai hak atas kebebasan berekspresi.
Sekjen Amnesti International Agnes Callamard menggambarkan penangkapan itu sebagai hal yang "mengerikan" dan menyebutnya sebagai bagian serangan yang lebih luas terhadap jurnalis yang berupaya mengungkap untuk publik tentang tindakan tidak jelas yang dilakukan badan intelijen Prancis.
Dalam insiden yang tidak ada hubungannya namun serupa, polisi di kota utara Lille pada hari Kamis juga memanggil tiga jurnalis dari harian Liberation untuk diinterogasi mengenai laporan investigasi yang mereka tulis mengenai pembunuhan seorang pemuda di wilayah tersebut oleh polisi.
Akhir Jurnalisme
"Jika kita tidak bisa melindungi sumber, itu adalah akhir dari jurnalisme," kata Lavrilleux pada konferensi pers di Paris yang diselenggarakan oleh kelompok kebebasan pers Reporter Without Border.
"Saya menganggap penangkapan ini merupakan skandal dan sangat tidak sah. Satu-satunya tujuan penangkapan ini adalah untuk mencegah saya dan semua jurnalis melakukan pekerjaan kami," tambahnya.
Lavrilleux pada November 2021 menulis artikel untuk situs investigasi Prancis Disclose yang menuduh operasi kontra-intelijen Prancis di Mesir. Dengan nama sandi "Sirli", operasi ini digunakan oleh Mesir untuk melakukan pembunuhan sewenang-wenang terhadap para penyelundup.
Artikel-artikel tersebut yang ditulis berdasarkan ratusan dokumen rahasia, mengungkapkan pasukan Prancis terlibat dalam setidaknya 19 pemboman terhadap penyelundup antara tahun 2016 dan 2018 di wilayah tersebut.
Prancis memiliki kerja sama militer yang erat dengan Mesir di bawah kepemimpinan Presiden Abdel Fattah al-Sisi, yang dituduh oleh para penentangnya kerap memenjarakan lawan politiknya secara sewenang-wenang. Disclose mengatakan agen DGSI juga telah menginterogasi Lavrilleux tentang artikel tahun 2019 mengenai penjualan senjata Prancis di luar negeri.
Pada Rabu, ketika Lavrilleux masih ditahan, juru bicara pemerintah Olivier Veran berulang kali menolak menjawab pertanyaan mengenai masalah tersebut.
“Sifat pertanyaan Anda tidak sesuai dengan konteksnya,” katanya kepada seorang jurnalis yang bertanya kepadanya setelah rapat kabinet, “apakah wajar jika seorang jurnalis menghabiskan malam di sel dalam negara demokrasi?”
Disclose, yang didirikan oleh dua jurnalis investigasi pada tahun 2018 dan hanya mengandalkan donasi untuk menjaga agar situs akses gratisnya tetap berjalan, mengatakan bahwa tindakan DGSI bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-sumber yang digunakan untuk berita-berita yang dianggap telah mempermalukan pihak berwenang.
Undang-undang Prancis tentang kebebasan pers setelah amandemen tahun 2010 menyatakan bahwa "kerahasiaan sumber tidak dapat dilanggar secara langsung atau tidak langsung, kecuali jika kepentingan publik membenarkan hal ini".
Namun pelanggaran hukum terhadap pengungkapan rahasia negara dapat mengakibatkan hukuman hingga lima tahun penjara dan denda sebesar 75.000 euro.
Christophe Deloire, kepala Reporter Without Border yang juga memimpin komisi kebebasan pers yang ditunjuk oleh kepresidenan dan mulai bekerja bulan depan, mengatakan kerahasiaan sumber adalah salah satu “kondisi” kebebasan pers dan kasus Lavrilleux menunjukkan bahwa undang-undang saat ini semestinya melindungi hal tersebut.
Meskipun Lavrilleux belum didakwa, dia mengatakan posisinya masih belum aman. “Sebagai mantan koresponden di Mesir, saya merasa lega karena tidak dipenjara di bawah kediktatoran negara itu. Namun, pada akhirnya, negara saya sendiri, Prancis, yang justru melacak dan menangkap saya karena pekerjaan saya," ujar Lavrilleux.(AFP/M-3)