28 May 2023, 05:15 WIB

Gilang Bayu Santoso dan Lola Amaria, Hati Merah Putih para Eksil


Nike Amelia Sari | Weekend

 MI/SUMARYANTO BRONTO
  MI/SUMARYANTO BRONTO
Gilang Bayu Santoso dan Lola Amaria

PERISTIWA pembantaian massal 1965 masih menyisakan beragam kisah hingga sekarang. Salah satunya tentang kisah orang-orang Indonesia yang terdampar di luar negeri.

Mereka ialah mahasiswa Indonesia yang kala itu tengah menimba ilmu di beberapa negara komunis, yakni Uni Soviet (sekarang Rusia), Ceko, Tiongkok, Romania, dan Albania. Meski tidak terkait dengan peristwa G30S/PKI, para mahasiswa penerima beasiswa dari pemerintah Indonesia tersebut ikut terkena getahnya hingga tidak bisa pulang ke Tanah Air.

Tidak sedikit mahasiswa itu yang hidup terombang-ambing hingga akhirnya baru bisa pindah terpencar ke Eropa Barat pada 70-an. Lalu, bagaimana kehidupan mereka saat ini? 

Hal itulah yang ingin dijawab sutradara Lola Amaria dan Gilang Bayu Santoso lewat film mereka masing-masing. Pada 2016, Gilang merilis film AwalNasib Manusia, sementara Lola baru November tahun lalu merilis film Eksil (The Exile).

"Alasannya adalah ketakutan yang begitu kuat di generasi saya ketika saya sekolah dari SD, SMP, SMA itu selalu ada brainwash film, buku dilarang, dan hanya satu sisi yang diberikan saat kami sekolah dulu. Kemudian kita tidak pernah dikasih tahu sisi sebelahnya," kata Lola yang hadir dalamKick Andy episode Eksil: Mencintai Indonesia dalam Sepi yang tayang pada pukul 21.05 WIB di Metro TV

Perempuan yang sedikitnya telah menyutradari sembilan film, termasuk Betina (2006), itu mengungkapkan cikal pembuatan film tersebut dari suatu kunjungannya ke luar negeri dan mendengar adanya eksil Indonesia di sana. Lola yang mengawali karier dari model itu kemudian memberanikan diri untuk mengajukan konsep pembuatan film dokumenter. 

Setelah melalui pendekatan panjang, para eksil akhirnya mau diwawancara. Namun, pembuatan film dokumenter kisah hidup 10 eksil itu menghabiskan waktu hingga satu dekade, bahkan ada yang kemudian batal menjadi narasumber karena tidak mendapat restu dari keluarganya di Indonesia. Lewat film itu, diabadikan pula berbagai cara para eksil bertahan hidup, termasuk dengan bekerja serabutan.

Lola harus berlomba dengan waktu karena usia para eksil yang ia wawancarai rata-rata di atas 70 tahun. Selama 34 tahun? para eksil itu tidak memiliki identitas negara mana pun. Menurut Lola, diperkirakan sekitar 600 eksil Indonesia yang berada di Eropa.

Para eksil juga mengungkapkan setelah berakhirnya pemerintahan Soeharto, barulah mereka mendapat tawaran menjadi warga negara suatu negara. Demi memiliki identitas, pilihan itu diterima. “Ya sudah, saya mau, tolong diurus, supaya saya bisa pulang ketemu keluarga. Apalah arti paspor Belanda itu hanya surat, saya tetap Indonesia, hati saya tetap Indonesia," tutur Lola menirukan pengakuan seorang eksil.

Tepat pada 10 Maret 2023 ia akhirnya bisa memutar film Eksil di Bioskop Rialto, Amsterdam, Belanda pada acara Festival Film CinemAsia. Ia memutarnya kembali di gelaran Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2022. 

Lola mengaku didatangi beberapa orang tidak dikenal setelah pemutaran film di Yogyakarta. "Ada satu laki-laki tegap baju hitam nyamperin saya dan dia cuma bisikin 'kamu enggak takut, kamu sudah siap?' Saya bengong, terus saya liatin dan saya enggak jawab apa-apa," ungkap Lola. Lola mengatakan film tersebut sudah diserahkan ke Badan Sensor Film dan sudah lolos 13 tahun ke atas sehingga bisa diputar ke bioskop.

Lola berharap para generasi muda dapat menonton film itu sehingga mendapat fakta yang tidak diungkap di buku-buku sejarah. Dengan mengungkap fakta, ia ingin kejadian yang sama tidak terulang kembali. "Artinya, dalam film Eksil itu ada empat kejadian penting, pertama: 1965, kedua: revolusi kebudayaan, ketiga: perestroika, keempat: 1998. Jangan sampai itu terjadi lagi karena itu pahit sekali," paparnya.

"Satu lagi tentang stigma, kita harus pintar untuk tahu, pahami, baru yakini tentang hal-hal atau tuduhan-tuduhan yang tak bertanggung jawab, misalnya komunitas atau apa pun itu," ujar Lola.

 

Mengenalkan budaya Indonesia

Film Awal: Nasib Manusia, mendokumentasikan kisah hidup Awal Uzhara yang dicabut kewarganegaraannya karena dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada 1958, Awal bersama Sjumandjaja, Ami Priyono, dan Zubair Lelo mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di salah satu sekolah film tertua di dunia, yakni Gerasimov Institute of Cinematography (VGIK), Moskow, Rusia. 

Ia menuntaskan studinya di Moscow tak berselang lama setelah Peristiwa 1965. Di tengah karut-marut situasi politik, Awal pun dapat pulang ke Indonesia setelah dianggap lulus dari pemeriksaan. Sialnya, ia harus kembali lagi ke Moskow karena anaknya sakit. Sejak saat itu, paspornya dicabut. Setelah puluhan tahun menetap di Rusia sebagai dosen, akhirnya pada 2012, Awal kembali ke Tanah Air.

Selama 50 tahun hidup di Rusia, nasionalisme dalam dirinya tidak luntur yang dibuktikan dengan mengenalkan budaya Indonesia kepada masyarakat Rusia, khususnya para mahasiswa yang bersekolah di VGIK. Sumbangsih Awal pun diakui Rusia yang memberikannya beberapa piagam penghargaan.

Dalam penghujung sesi, Susi Machdalena, istri almarhum Awal Uzhara, juga hadir di studio Kick Andy. Susi merupakan istri ketiga dari Awal dan satu-satunya istri Awal dari Indonesia. Dua istri Awal lainnya ialah orang Rusia.

Susi yang juga berprofesi sebagai dosen berkenalan dengan Awal pada 2004 di suatu jamuan yang diadakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Sejak jatuhnya Uni Soviet, hubungan para eksil dengan KBRI sudah menjadi lebih hangat.

"Terutama setelah perestroika, setelah menjadi federasi Rusia. Saat itu lebih cair (tidak ada ketakutan menerima orang-orang yang dicap komunis). Justru KBRI mencari orang-orangkarena mereka (KBRI) ingin meraih mereka yang sudah lama tidak ke rumah, dalam arti tidak pulang," katanya.

Sejak pertemuan pertama Susi dengan Awal, hal yang paling dikagumi Susi dengan Awal ialah kejujuran Awal. "Ia orang jujur dan selalu cinta Indonesia," kata Susi sembari menambahkan jika Awal memang memiliki cita-cita meninggal di Tanah Air.

Setelah kembali ke Indonesia, Awal menghabiskan hari-hari di rumahnya di Bandung. Setelah film tersebut selesai digarap, Awal sempat menonton film tersebut sebelum meninggal pada 2017.

Gilang yang saat ini berusia 30 tahun mengatakan bahwa yang seharusnya menonton filmnya tersebut ialah anak-anak muda seusianya atau usia di bawahnya. 

 

"Karena memang teman-teman seangkatan saya, banyak yang menelan sejarah itu bulat-bulat. Saya mengajak nonton film ini agar jangan menelan sejarah bulat-bulat karena setiap buku atau film adalah fragmen dari sejarah yang dibuat dari si pembuat film itu sendiri. Saya membuat film ini dengan sudut pandang yang lain. Kita harus melihat segala sisi secara utuh," pungkasnya. (M-1)

BERITA TERKAIT