22 May 2023, 11:44 WIB

Mengenang Kematian George Floyd dan Perjuangan Melawan Stereotif Rasial


Adiyanto | Weekend

 Sergio LIMA / AFP
  Sergio LIMA / AFP
Protes antirasisme terhadap pemerintahan Jail Bolsonaro di Brasil pada 2020 lalu, yang terpinspirasi dari gerakan Black Live Matter di AS

Tiga tahun lalu, George Floyd, seorang pemuda di Minneapolis Amerika Serikat, tewas lantaran lehernya ditekan oleh lutut seorang polisi setempat. Pria Afrika-Amerika itu mengalami sesak napas dan akhirnya meninggal dunia. Peristiwa itu viral dan lalu memicu protes massal yang diiringi kekerasan di banyak tempat. Gerakan yang kemudian dikenal sebagai Black Live Matter itu, intinya mengecam rasisme yang kemudian bergema di banyak tempat di dunia.

Menjelang peristiwa yang terjadi pada 25 Mei 2020 itu, AFP kembali mewawancarai bibinya, seorang pengunjuk rasa, dan salah satu pemimpin organisasi yang didedikasikan untuk mengenangnya. Apa harapan mereka dan yang sudah dicapai sejauh ini?

Bagi bibi George Floyd, Angela Harrelson, di antara perkembangan yang paling menonjol setelah kematian keponakannya adalah pengakuan bahwa rasisme sistemik ada. "Orang-orang lebih terbuka, terutama orang kulit putih Amerika, mengenai pembicaraan tentang hubungan ras," katanya di depan George Floyd Square, sebuah tugu peringatan darurat yang didirikan di mana pria berusia 46 tahun itu terbunuh di utara kota Minneapolis AS.

"Orang-orang selalu bertanya kepada saya, apakah menurut Anda ini menjadi lebih baik?' Ya. Dia menunjuk pada penyelesaian kasus polisi yang terlibat dalam kematian Floyd, reformasi penegakan hukum Minneapolis, dan program keragaman di universitas. Menurut dia, tentu masih banyak hal yang harus dilakukan karena pembunuhan atau kekerasan oleh polisi masih akan terus ada. “Itu sebabnya perjuangan harus dilanjutkan,” ujarnya.

"Dua puluh tahun dari sekarang, 50 tahun dari sekarang, 100 tahun dari sekarang, tujuannya bukan untuk memegang tanda bertuliskan 'Black Lives Matter.' Dan sampai kita bisa melakukan itu (memperjuangkan persamaan hak/menghapus pandangan rasial), saat itulah kita tahu kita telah tiba. Itulah tujuannya," tegasnya,

Bethany Tamrat, yang kini berusia 22 tahun, dulu juga ikut turun ke jalan untuk memprotes tindakan kekerasan terhadap Floyd. Saat itu, katanya, penting baginya untuk berpartisipasi dalam gerakan untuk menyuarakan sikapnya.

“Saat ini, rasanya ada sedikit pergeseran. Ada banyak harapan, bahwa akan ada perubahan positif,” ujarnya saat ditemui AFP di kampus universitasnya

Menurutnya, perdebatan sengit di sekolah-sekolah dan universitas tentang Critical Race Theory, yang berpendapat bahwa bias rasial melekat di banyak bagian masyarakat AS, dan seringkali tertanam dalam sistem dan kebijakan hukum, adalah contoh yang amat mencolok.

Pada 15 Mei lalu, Gubernur Florida menandatangani undang-undang untuk mengakhiri program keberagaman di universitas negeri di negara bagiannya. "Saya pikir orang belum siap untuk membuat perubahan," katanya.

“Berbicara tentang keragaman dan inklusi dalam perusahaan swasta adalah satu hal, tetapi ketika Anda benar-benar merenungkan bagaimana Anda berkontribusi terhadap rasisme, bagaimana Anda memiliki bias pribadi terhadap komunitas tertentu, itu membutuhkan kerja keras," ujarnya.

"Bahkan sebagai sebuah negara, kita tidak bisa berada di halaman yang sama dalam hal sejarah. Kita semua memiliki versi berbeda tentang apa yang terjadi di negara ini,” imbuhnya.

Salah satu pendiri dan direktur eksekutif George Floyd Global Memorial, Jeanelle Austin berpendapat perubahan nyata itu mungkin, tetapi orang tidak mau melakukannya. “Karena kami memiliki sistem dan industri di negara kami yang ‘mengharuskan’ orang kulit hitam berada di bawah,” ujarnya.

Protes anti-rasisme tahun 2020 membuat warga Amerika menurunkan patung konfederasi dan memperjuangkan perubahan legislatif dalam kampanye untuk keadilan. “Tapi semua itu tidak akan menyelesaikan masalah rasisme di negara ini, jika orang tidak mau berubah," kata Austin.

Sifat kepolisian juga menjadi masalah, catatnya. Misalnya, ketika Tire Nichols, seorang pemuda kulit hitam dari Memphis, meninggal pada Januari lalu setelah dipukuli oleh petugas polisi yang juga keturunan Afrika-Amerika. "Orang-orang berkata, 'Nah, apa ini?' Ini adalah kejahatan Black-on-Black,'" katanya. "Budaya kepolisian adalah budaya kepolisian, terlepas dari warna kulit Anda," tegas Austin lagi.

Sebagian orang, kata dia, kemudian kembali menjalani kehidupan seperti biasa. Itulah, yang menurut Austin, kelemahannya. “Padahal Isu-isu ini (rasial) tidak hanya berkisar pada kepolisian, tetapi juga berputar di sejumlah sektor termasuk pendidikan dan perawatan kesehatan,” katanya. (AFP/M-3)

 

 

BERITA TERKAIT