Sejumlah barang mewah dari Mesir seperti karpet dan perhiasan, tidak lepas dari hasil sentuhan para perajin tradisional. Kini, mereka siap membawa kekayaan budaya kuno negara itu ke pasar global.
Para ahli di sektor ini mengatakan, daya tarik global desain Arab dan Islam dari negara lainnya menunjukkan bahwa Mesir dapat berbuat lebih banyak untuk mempromosikan warisan seninya yang berusia ribuan tahun.
Salah satu pionirnya adalah ahli perhiasan Azza Fahmy, yang karya khasnya terinspirasi dari seni Islam, telah menjadi koleksi orang-orang kaya dan terkenal di dunia, termasuk bintang pop AS Rihanna dan Ratu Rania dari Yordania.
Fahmy, yang memulai di bengkel kerjanya di Old Cairo sekitar 50 tahun yang lalu, mengatakan bahwa focus desainnya selalu mencerminkan identitas Mesir.
Seniman dan perajin di Mesir mendapat inspirasi dari sejarah yang mencakup zaman Firaun kuno, era Mamluk, Ottoman, dan modern. "Kami beruntung bisa menggambar sejarah selama 6.000 tahun," kata desainer tekstil Goya Gallagher, pendiri Malaika Linens yang berbasis di Kairo, yang membuat barang-barang rumah tangga kelas atas.
"Tantangan utamanya adalah memastikan karya kami tidak lekang oleh waktu, dibuat dengan sangat baik, dan selalu buatan tangan," katanya di tempat workshopnya di pinggiran barat Kairo.
Namun, meskipun ada yang sukses, lebih banyak lagi para perajin yang mesti bekerja keras melawan berbagai rintangan untuk memperluas pasar, baik lokal maupun internasional.
Ironisnya, di era produksi massal global, para perajin terampil di Mesir jumlahnya justru mulai menyusut karena tidak ada regenerasi. Putra-putri para perajin ini enggan meneruskan ketrampilan yang telah diwariskan keluarga mereka selama berabad-abad.
Selain mengatasi kesenjangan generasi, tantangan terbesar lainnya adalah krisis ekonomi yang telah merusak mata uang setempat dan adanya pembatasan impor bahan mentah.
“Sementara itu upaya negara untuk mendukung sektor kerajinan terbatas dan bersifat sporadis,“ kata Organisasi Pengembangan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Konsultan budaya Dina Hafez setuju bahwa pemerintah Mesir harus memberi sedikit pelatihan seni dan kerajinan formal. “Pelatihan buat perajin pada dasarnya masih didasarkan pada pendidikan informal dan jalur magang," kata Hafez dari Blue Beyond Consulting. "Sektor ini tidak memiliki struktur apa pun. Kami membutuhkan ekosistem yang nyata. Jadi, untuk saat ini, semuanya masih berdasarkan inisiatif pribadi."
Dia mengatakan Mesir bisa belajar dari Turki dan Maroko, di mana peluang dan hambatannya sangat mirip, tetapi berhasil meluncurkan desain mereka ke kancah internasional.
Soft power
Fahmy, seorang desainer perhiasan, mengatakan selalu ada ruang di pasar untuk karya yang dibuat oleh perajin terampil dan desainer bdengan pikiran kreatif dan pendidikan berkualitas. Banyak desainer berharap mendapat manfaat dari inisiatif pemerintah untuk menarik investasi dan pendapatan pariwisata sejarah mereka.
Di Museum Agung Mesir, di kaki piramida Giza, kini banyak terdapat toko souvenir mewah. “Meskipun pembukaan resminya telah lama tertunda, museum ini hanya menawarkan tur dan acara terbatas, dan toko-toko tersebut sudah memamerkan kerajinan terbaik Mesir,” kata pemilik salah satu toko, Mohamed al-Kahhal.
Di pusat bersejarah Kairo, perusahaan linen Malaika melatih sejumlah perempuan miskin menyulam dan menjual barang-barang tersebut kepada pelanggannya dan ke sejumlah merek fesyen ternama. Pembuat karpet Hend al-Kahhal bekerja dengan semangat yang sama, membawa identitas Mesir ke kancah global.
Dewan Ekspor Kerajinan Mesir, di bawah kementerian perdagangan dan industri, telah lama bekerja untuk memamerkan kreasi Mesir tersebut secara internasional. Tapi, Hafez, seorang konsultan budaya, berharap ada upaya lebih serius lagi di masa depan, karena seringkali kendala anggaran, birokrasi, dan peraturan bea cukai, masih jadi penghambat.
“Pertanyaannya, adalah apakah otoritas Mesir benar-benar menyadari soft power (kekuatan lunak) yang dimiliki para perajin ini?.”(AFP/M-3)