15 April 2023, 07:30 WIB

Mencari Keseimbangan Baru Bisnis Media


Jek/M-2 | Weekend

Dok. Kepustakaan Populer Gramedia
 Dok. Kepustakaan Populer Gramedia
Cover Buku Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital.

SEBERAPA sering Anda menjumpai iklan dalam satu laman saat membaca suatu berita? Atau malah badan berita yang tengah Anda baca, tertutup separuhnya oleh iklan?

Di era digital, yang juga turut menyuburkan pertumbuhan media daring (ada lebih dari 400 ribu media daring, menurut data Dewan Pers), memang kian lazim ditemukan praktik bisnis media berdasarkan (jumlah) klik. Judul-judul dirancang agar memancing pembaca untuk datang, serta mengait iklan di dalamnya.

Barangkali praktik berlangganan media digital, masih cukup awam di banyak kelompok masyarakat di Indonesia meski beberapa media massa kini menerapkan hal tersebut. Sementara itu, media konvensional masih terus mencari cara untuk menyeimbangkan proporsi produk mereka via cetak dan daring sembari mengupayakan adaptasi dalam cara berbisnis dan saluran pendapatan.

Saat ini, implikasinya, ketika kita membaca berita secara gratis, iklan akan mengganggu ruang informasi kita, atau membaca informasi secara berbayar demi mengenyahkan iklan tersebut.

Di buku terbaru pemerhati isu komunikasi dan anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital, ia membahas mengenai topik tersebut. Agus membicarakan tantangan yang dihadapi media saat ini serta mengulik sisi bisnis/ekonomi media yang juga menjadi salah satu bagian integral.

Bukunya berangkat dari asumsi media massa sebagai dualitas institusi: sosial dan ekonomi. Kini, di era disrupsi digital, menurutnya, media massa yang bisa menjalankan jurnalismenya dengan baik ialah juga yang stabil secara bisnis. Ia menilai situasi ekonomi suatu media massa ialah faktor yang lebih menentukan arah dan keberlangsungan media tersebut saat ini.

Di bukunya, Agus mengemukakan tentang adanya fenomena ‘US Centric Internet Orbit', suatu kondisi dalam lingkaran sistem digitalisasi yang hanya 'ditentukan' oleh lima besar perusahaan teknologi berbasis di AS: Google, Facebook, Amazon, Microsoft, dan Apple.

“Jadi lima perusahaan tersebut menguasai surplus ekonomi digital, termasuk bisnis media digital di dalamnya. Bukan cuma media massa konvensional, melainkan juga media-media lain dikuasai mereka. Jadi ini pemusatan ekonomi, yang menurut para analis, bahkan belum pernah terjadi di bidang mana pun, yakni ada dua atau lima perusahaan menguasai pasar dan bisnis dalam suatu sektor media demikian besar. Ini fenomena global yang memengaruhi ekosistem media, termasuk di Indonesia,” kata Agus dalam diskusi di Komunitas Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur, Sabtu (1/4).

Yang terjadi, kini juga bukan lagi disebut hegemoni oleh para raksasa teknologi tersebut, melainkan monopsoni. Para perusahaan teknologi itu, juga menurut Agus, bukan saja menguasai pasar (kue iklan Google sekitar 58%, Facebook (Meta) 24%, dan 18% sisanya menjadi rebutan seluruh pihak), lebih jauh juga menguasai bahan mentahnya: data perilaku pengguna (user behavioral data).

“Mereka mengambil data pengguna dengan memanfaatkan konten milik publisher (penerbit/pemroduksi konten, di dalamnya termasuk media massa). Sementara itu, media kalau mau mendapatkan itu, harus bayar ke platform. Padahal, platform tidak akan dapat data kalau tidak menggunakan konten yang diproduksi publisher sehingga yang terjadi ialah digital feodalism,” kata Agus.

 

Primary tech

Di dalam bukunya, Agus juga membahas mengenai persaingan yang timpang antara media massa dan platform teknologi global, tapi di sisi lain, keduanya saling membutuhkan.

Media kini tentu saja bergantung pada teknologi yang disediakan platform global tersebut dalam upaya distribusi konten, sekaligus kebutuhan mendatangkan iklan sebagai sumber pendapatan.

“Ini yang disebut sebagai fenomena primary tech. Sulit sekali berhadapan dengan mereka (raksasa perusahaan teknologi global) karena adanya dualitas. Faktanya malah media-media daring kita secara khusus, justru mengikuti yang disediakan di platform tersebut.”

Agus menyinggung di tengah ketidakberdayaan melakukan perlawanan terhadap monopsoni platform besar, justru media massa saat ini, berbasis daring, pada umumnya, dalam memproduksi konten justru mengekor tren di platform besar. Konten yang muncul (di media massa) pun, jadi tidak ada bedanya dengan yang ada di media sosial. Ini yang menjadi persoalan kini.

“Konten-konten di media massa online itu diproduksi untuk mendapatkan traffic. Untuk mendapatkan iklan. Jadi paradigmanya ialah traffic atau shareability dan ini menjadi bumerang. Kemudian, berita yang menyebar ialah yang berkualitas rendah. Istilahnya tabloidisasi ruang pemberitaan media. Semua isu-isu diperiksa sebagaimana di tabloid. Gosipnya yang didahulukan, bukan substansinya. Nah, saya kira tantangan jurnalisme kita hari ini ialah jurnalisme clickbait ini,” terang Agus.

Salah satu yang bisa ditawarkan media massa saat ini, di tengah persoalan situasi ekonomi dan bisnisnya dan persaingan yang timpang dengan platform besar, ialah dengan menciptakan kemandirian relatif. Memproduksi konten-konten kuratif yang berkualitas yang tidak bisa ditemukan secara generik di media sosial, dan memunculkan beberapa cara baru dalam mendapatkan pemasukan.

Misalnya, beberapa media kini memanfaatkan platform NFT seperti Kompas dan Tempo, langganan berbayar dengan beberapa manfaat lebih, atau model keanggotaan seperti yang ditempuh Project Multatuli.

Meski tampaknya banyak pesimisme yang dibahas di buku Agus, ia sebagai penulis meyakini meski terjadi disrupsi digital, tidak akan mematikan media-media konvensional dan digantikan dengan media baru begitu saja.

“Saya cukup yakin yang terjadi ialah suatu new equilibrium (keseimbangan baru). Dalam arti media-media lama tidak akan mati, tetapi dia hidup berdampingan dengan media-media baru. Salah satu indikatornya ialah di dalam platform global pun juga tersedia dinamika. Mereka bukan kekuatan yang tanpa kelemahan.”

Namun, syarat terciptanya keseimbangan baru itu juga ketika media lama melakukan kemandirian relatif. Selain itu, perlu kehadiran negara untuk memberikan afirmasi yang cukup, serta edukasi publik untuk mengonsumsi konten jurnalisme yang berkualitas dan bagus. (Jek/M-2)

 

Judul buku: Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital

Penulis: Agus Sudibyo

Tanggal rilis awal: 25 Januari 2023

Jumlah halaman: 316 halaman

Bahasa: Indonesia

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

 

 

BERITA TERKAIT