15 April 2023, 07:25 WIB

Pertautan Kearifan Budaya dan Agama


Siti Retno Wulandari | Weekend

Dok. Tanda Baca
 Dok. Tanda Baca
Cover Buku Daulat Kebudayaan: Jawa dan Islam dalam Sebuah Pertemuan/

KETUHANAN yang berkebudayaan. Judul itu menjadi pemula rangkaian perbincangan tentang korelasi kearifan budaya, khususnya Jawa, dengan agama Islam pada buku berjudul Daulat Kebudayaan: Jawa dan Islam dalam Sebuah Pertemuan.

Serat Wedhatama dalam literatur sastra Jawa menjadi rujukan sang penulis, Irfan Afifi, dalam mengais tentang definisi kebudayaan yang kemudian menyiratkan keterkaitan dengan sesuatu yang rohani alias menyandarkan Tuhan dalam bangun prosesnya.

Kebudayaan di sini diartikan sebagai olah budi atau lelaku untuk terus-menerus menyelaraskan karsa/raga (kehendak), cipta (fakultas pikiran, daya imaji, dan daya cipta), jiwa (tempat niat, tekad, dan dorongan terdalam), dan rasa (bingkai kebijaksanaan, dan kearifan, dorongan empati moral yang terdalam). Keempat aspek itu jika berjalan harmonis akan terwujud dalam tata budaya, tata nilai, tata negara, hingga adat.

Hal tersebut erat kaitannya dengan tujuan hadirnya agama, dalam hal ini Islam, sebagai penyempurna budi manusia. Prinsip seperti itu yang kemudian mengantarkan penganutnya kepada akhlak utama dan budi pekerti luhur. Ketuhanan tak lagi mengeksklusi, menyingkirkan, dan menghina tuhan kelompok lain.

Irfan pun menyontek istilah yang digaungkan Presiden Soekarno, Ketuhanan yang berkebudayaan, yakni ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.

Ia menyoroti perihal kebudayaan dan agama yang kini acap menjadi sesuatu yang dipertentangkan atau saling menegasikan. Hal itu seperti dengan munculnya perdebatan tentang ziarah kubur, tahlilan, atau selametan (kenduri) - - aktivitas yang lekat kaitannya dengan kebudayaan, khususnya Jawa, sekaligus kepercayaan agama.

Aktivitas-aktivitas tersebut dianggap beberapa kalangan tidak sesuai dengan ajaran agama, apalagi jika dikaitkan dengan era modernitas seperti saat ini.

Akan tetapi, dalam bukunya, Irfan menghadirkan pembahasan utuh tentang aktivitas tersebut yang justru dipandang oleh masyarakat dulu sebagai penanda pentingnya keberislaman, sekaligus membedakan dengan periode Hindu-Buddha Majapahit.

Buku yang merupakan kumpulan tulisan dari sang penulis ini juga mengupas tentang awal mula pertentangan nilai budaya dengan agama. Nyatanya, menurut dia, hal itu bukan semata baru terjadi di era digital berkembang pesat. Fenomena itu dimulai sebagai usaha polarisasi pada masyarakat Nusantara yang dulu digiatkan oleh elite-elite penjajah, utamanya dengan mendikotomi antara kejawaan dan keislaman.

Upaya kalangan penjajah tersebut ditujukan agar bangsawan Jawa bisa terpaut kembali dengan masa lalu yang dibayangkan sebagai kejawaan yang anteng dan tidak terpengaruh semangat revolusioner Islam.

 

MI/Duta

 

Kegelisahan

Penulisan buku ini berangkat dari kegelisahan Irfan, yang lalu mendorongnya merambah berbagai literatur, utamanya naskah serat, babad, suluk, dan wirid untuk dapat menghadirkan pengetahuan tentang relasi budaya dengan Islam dalam sebuah buku. Pun menelaah pergulatan historis Jawa yang juga berlangsung di banyak tempat di wilayah Indonesia.

"Perlu kehadiran pembacaan kritis baru atas narasi sejarah terutama berkait Islam karena memiliki sumbangsih besar dalam membentuk keberagaman keindonesiaan," kata Irfan dalam buku yang diterbitkan Pojok Cerpen dan Tanda Baca ini.

Ia mengaku terbentur tembok besar kala membaca sejarah dan temuan antropologi. Baginya, sejarah Indonesia berdasarkan definisi orang lain, ditulis kolonial. Karena itu, Irfan mulai memberanikan diri untuk melampaui narasi kolonial dengan belajar membaca naskah serat, babad, dan suluk.

"Saya mulai belajar itu 2012. Mudah kok, dulu kita di SD (sekolah dasar) juga diajarkan dasar-dasarnya," ujar Irfan melalui pesan singkat kepada Media Indonesia, Rabu (12/4).

Naskah serat, babad, hingga suluk memang menjadi bagian literatur yang dipakai dalam penulisan buku ini. Irfan pun mengatakan buku ini merupakan upayanya memberi tahu jika agama Islam itu tujuannya menyempurnakan kemanusiaan, meningkatkan kualitas kemanusiaan secara lahir dan batin.

"Saya ingin melampaui narasi kolonial. Ingin mendefinisikan sejarah bangsa Indonesia, mengenali secara langsung dengan begitu bisa menata perjalanan hidup karena itu beranikan diri belajar membaca serat, babad, dan suluk," ungkap alumnus Filsafat UGM ini dalam kesempatan terpisah, pada diskusi bukunya yang disiarkan channel Youtube Basabasi TV.

Kisah dan sejarah yang termuat dalam buku ini relatif tidak mudah untuk dicerna untuk pembaca awam. Perlu berulang kali membaca setiap kalimat untuk benar-benar memahami maknanya. Apalagi di beberapa bagian, terdapat kalimat yang sangat panjang. Alhasil, buku ini perlu dibaca dengan konsentrasi utuh agar tertangkap secara utuh maknanya.

Akan tetapi, di luar gaya penulisannya, buku ini dapat memberi pengetahuan baru mengenai kelindan agama dengan kebudayaan di Nusantara. Agama mengajarkan seseorang untuk berlaku baik dan adil pada sesama, dalam hemat penulis, persis seperti bentuk kebudayaan yang lekat dengan masyarakat desa dengan aktivitas-aktivitas tradisionalnya yang banyak mencerminkan keguyuban.

Buku ini juga membuat kita menyadari, proses menjadi manusia merupakan proses berbudaya. Sementara itu, proses berbudaya ialah ajaran terdasar dari agama agar kualitas kehidupan rohaninya meningkat. Karena itulah, agama dan kebudayaan disebut memiliki pertalian yang erat. (M-2)

 

Judul: Daulat Kebudayaan: Jawa dan Islam dalam Sebuah Pertemuan

Penulis: Irfan Afifi

Terbit: 2023

Penerbit: Tanda Baca

 

BERITA TERKAIT