Bagi para astronaut, menjalankan ibadah puasa di luar angkasa bisa menjadi tantangan tersendiri, terutama selama bulan Ramadan. Pasalnya, siklus matahari berjalan dengan cara yang berbeda dengan di bumi.
Astronaut berkebangsaan Uni Emirat Arab (UEA) Sultan Al-Neyadi baru-baru ini mengungkapkan bagaimana teknis menjalankan puasa Ramadan di luar angkasa. Lewat akun twitter pribadi, dia juga mengungkapkan suka citanya berada di luar angkasa selama Ramadan.
"Ramadhan Mubarak. Semoga bulan ini penuh dengan berkah. Saya ingin berbagi pemandangan malam yang indah dari luar angkasa dengan Anda semua," tulis astronaut pertama dari Uni Emirat Arab itu di akun Twitter pribadinya dengan menyertai rekaman video pemandangan luar biasa dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada Jumat (24/3).
Al-Neyadi berangkat menjalankan misi menuju Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada 3 Maret 2023 lalu. Ia meluncur ke luar angkasa menggunakan roket Falcon 9 milik SpaceX dari Kennedy Space Center dan diberikan tugas untuk menjalankan misi selama enam bulan.
Melansir CNN pada Rabu (22/3), Al-Neyadi akan berada di luar angkasa selama enam bulan ke depan. Ini pengalaman pertama bagi seorang astronaut dari UEA mengikuti misi luar angkasa berjangka panjang seperti ini. Akan tetapi, pada Ramadan kali ini Al-Neyadi boleh tidak berpuasa karena sedang melakukan perjalanan. Ada keringanan tidak menjalankan puasa, tetapi harus diganti di hari lain di luar bulan Ramadan.
"Puasa menjadi tidak wajib dalam hal ini. Kami boleh makan makanan yang cukup untuk mencegah kekurangan nutrisi atau hidrasi," kata Al-Neyadi.
Selain alasan sedang menjalankan misi, sebenarnya rumit juga untuk menentukan waktu mulai berpuasa dan berbuka puasa ketika berada di luar angkasa.
Al-Neyadi mengungkapkan ketika umat Islam di Bumi melihat Matahari terbit dan terbenam masing-masing sebanyak satu kali untuk menandai sahur dan berbuka, hal ini tidak ia rasakan selama di luar angkasa.
Alasannya ia melihat Matahari terbit dan terbenam sebanyak 16 kali dalam sehari selama di ISS karena stasiun luar angkasa ini mengitari orbit Bumi sebanyak 16 kali. Kondisi seperti itu membuat Al-Neyadi tidak bisa menjalankan puasa Ramadan layaknya umat Islam lainnya di Bumi.
"Di luar angkasa, yang bergerak mengorbit Bumi dengan kecepatan sekitar 27.600 kilometer per jam itu, para penghuninya akan melihat matahari terbit dan terbenam 16 kali setiap hari. Untuk memecahkan masalah ini, astronaut bisa menyesuaikan waktu puasa mereka dengan waktu di Bumi," jelasnya.
Sementar itu, pada Februari 2023 sebelum keberangkatannya ke ISS, Al Neyadi mengungkapkan bahwa dirinya kemungkinan bisa berpuasa di luar angkasa mengikuti Greenwich Mean Time, atau Coordinated Universal Time, yang digunakan sebagai zona waktu resmi di stasiun luar angkasa.
"Jika kami memiliki kesempatan, pasti Ramadan adalah kesempatan yang baik untuk berpuasa, dan itu sebenarnya menyehatkan," katanya.
Meskipun demikian, ternyata Al-Neyadi bukanlah astronot pertama yang berada di luar angkasa ketika bulan Ramadan. Pada Ramadan tahun 1985, Pangeran Sultan bin Salman al-Saud dari Arab Saudi menjadi astronaut muslim perdana yang berada di luar angkasa. Namun, Sultan hanya menjalani misi pesawat ulang alik STS-51G selama seminggu.
Selain itu, pada 2007 ada pula astronaut muslim asal Malaysia, Sheikh Muszaphar Shukor, yang menjadi muslim pertama yang tinggal di ISS. Pada waktu itu, Dewan Fatwa Islam Nasional Malaysia mengeluarkan pedoman khusus untuk Muszaphar yang juga bisa digunakan astronaut muslim lainnya.
Dewan Fatwa Malaysia menyatakan puasa bisa ditunda sampai Muszaphar kembali ke Bumi. Ia juga dibebaskan dari kewajiban untuk sujud atau duduk dalam salat karena hal itu akan sulit dilakukan jika sedang dalam kondisi gravitasi nol.
Setelah Al-Neyadi menyelesaikan misinya di luar angksa, UEA akan bergabung ke dalam “klub eksklusif” yang menjadi negara ke-11 dalam menjalankan misi astronaut jangka panjang serta bergabung bersama negara raksasa seperti Amerika Serikat dan Rusia.(M-3)