10 March 2023, 13:19 WIB

Pesan Selamatkan Hutan dari Teater Papermoon 


Devi Harahap | Weekend

MI/Devi H
 MI/Devi H
Wehea dan Kumbang Badak

RAUT riang dan mata berbinar tampak pada wajah seorang anak laki-laki bernama Wehea ketika menatap seekor kumbang badak. Demi kumbang tersebut, Wehea menjalin persahabatan dan mengarungi kehidupan di hutan hujan tropis. Hal itu agar dia bisa bertemu kumbang badak, pencari cahaya yang menjadi penyelamat hidupnya.

Sepanjang perjalanan, Wehea tak mendapati lagi hutan dengan segala ekosistemnya, yang bisa dijumpai hanyalah sekumpulan pohon sawit. Orang-orang asing membawa headlamp, mereka berdatangan menebang pepohonan, membakar hutan, memburu hingga menghancurkan habitat satwa kemudian menggantinya dengan perkebunan sawit. Suasana hutan yang asri seketika berubah menjadi kelabu. 

Wehea berusaha menyelamatkan makhluk terkecil di hutan yang selama ini menjadi temannya, tetapi tak ada yang bisa dilakukan. Dia hanya bisa berjalan termenung dan berpisah lah mereka.

Itulah sekilas gambaran pertunjukan Papermoon Puppet Theatre (PPT) bertajuk “A Bucket of Beetles” yang menyadarkan penonton bahwa hamparan hutan yang kita miliki sedang terancam dan tidak baik-baik saja.

Sebuah karya yang diadaptasi dari penuturan seorang anak laki-laki berusia 4 tahun bernama Lunang Pramusesa, anak dari Maria Tri Sulistyani atau akrab disapa Ria, pendiri Papermoon Puppet Theater. Teater itu dipentaskan kepada publik di Salihara Art Center, Jakarta, mulai Kamis (9/3) hingga Minggu (12/3).    

Ria menjelaskan anaknya itu terobsesi dengan kumbang badak sejak usia 4 tahun.

“Lunang suka sekali dengan Serangga. Kata dia, 'Aku ingin bikin pementasan seperti teman-teman di Papermoon, ceritanya tentang persahabatan dengan kumbang’. Saat itu kita sering bercocok tanam, dari sana dia memperhatikan serangga dan kita juga pernah nonton pameran serangga bersama, banyak sekali hal yang dipelajari dan cerita ini bermula,” ujar Ria saat ditemui Media Indonesia usia pertunjukan di Teater Salihara, Kamis (9/3) malam. 

Baca juga: Tulus Bakal Ajak Teater Boneka Papermoon

Dari sana, Ria dan tim meminta Lunang untuk bercerita dan mengeluarkan idenya termasuk seperti apa bentuk serangga, ekspresi serangga, dan kumbang badak. Ide cerita dan sudut pandang anak kecil itu lah yang seterusnya dielaborasi oleh Maria Tri Sulistyani dan Iwan Effendi dengan isu ekologi. 

“Karena saat itu anak usia 4 tahun belum terlalu naratif dan ceritanya belum runut, jadi aku melihat bagaimana dia berproses dengan serangga. Seorang anak begitu antusias dan sayang sekali dengan makhluk yang menurut kita orang dewasa itu hama, kita selalu takut dengan serangga kalau bisa semprot aja matiin lalu tiba-tiba ada anak kecil yang begitu merawat,” tutur Ria. 

Elaborasi tersebut kemudian menjadi pertunjukan boneka tanpa kata yang dimainkan oleh Anton Fajri, Pambo Priyojati dan Beni Sanjaya. Kendati tanpa kata, pertunjukan justru diperkuat dengan alunan musik dari Yennu Ariendra. Sementara itu, Wehea yang menjadi nama sang boneka diadopsi dari nama sebuah hutan lindung di wilayah Kalimantan. 

Pertunjukan berdurasi 40 menit itu dengan berani menawarkan cara pandang yang berbeda untuk melihat kerusakan ekologi lewat narasi pertunjukan berupa persahabatan antara anak kecil dan hewan kumbang badak. Kemudian cerita itu dihubungkan dengan kehidupan hutan, rantai makanan, kehidupan satwa hingga keterkaitannya dengan manusia. 

“Karena realita yang terjadi memang hutan kita terancam, kalau kita jalan-jalan ke Kalimantan dan Papua atau naik pesawat dari Jakarta ke Singapura, kita bisa melihat jenis tumbuhan hutan apa yang ada di bawah sana. Kami berpikir setelah hutan itu dibabat dan digantikan sawit, pastinya hewan-hewan bertubuh besar itu mati, apalagi yang kecil seperti serangga,” ungkap Ria.

Ria mengatakan sejak ide mencuat akhir 2019, Papermoon Puppet Theatre memulai proses pengembangan cerita saat diminta tampil di Art Space Theatre Jepang. Ria dan tim membuat riset mengenai kumbang hingga menemukan berbagai fakta mengenai perbedaan masyarakat Indonesia dan Jepang dalam memperlakukan kumbang. 

“Di Jogja kami bertemu eksportir serangga mulai dari serangga untuk hiasan-hiasan gantungan kunci atau souvenir sampai ke yang memang benar-benar untuk pakan hewan dan peliharaan. Dia menceritakan bagaimana cara menangkap serangga,” jelasnya.

Ria pun menjelaskan anak-anak di Jepang sudah terbiasa menjadikan Kumbang sebagai peliharaan, hal ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat sub-urban. 

“Waktu di Jepang, kita juga melihat sebuah pet shop yang menjual makanan serangga, ya cukup aneh untuk kita tapi memang itu sudah menjadi sebuah tradisi di Jepang terutama di wilayah-wilayah desa yang masih ada hutan. Mereka dari kecil sudah dibiasakan menanamkan kasih sayang dan perhatian kepada hal-hal yang dianggap buruk sekalipun, serangga yang dianggap hama oleh orang dewasa,” tukasnya.

“Kumbang badak ini yang kalau di Jepang harganya satu ekor Rp500 ribu sedangkan di Indonesia itu menjadi hama kelapa sawit,” imbuhnya.

Pertunjukan itu juga menampilkan pemandangan pertunjukan non-verbal sinematik Papermoon Puppet Theatre yang berbeda dari biasanya. Ada banyak detail yang disorot kamera, misalnya ranting pohon yang jatuh, dedaunan, detail kumbang badak, serangga, kecoa, dan makhluk terkecil dalam hutan lainnya. Rumah Wehea yang hanya terdiri batang-batang pohon dari material sekitar studio Papermoon Puppet Theatre dihadirkan begitu detail..

“Semua material khususnya ranting pohon yang ada dalam pertunjukan diambil dari area sekitar studio,” tutur Ria.

Pada akhirnya pertunjukan ini memperlihatkan poin penting tentang keadaan dan transisi dari perubahan keadaan alam yang dirusak oleh manusia. Pertunjukan ini juga seolah ingin menyadarkan bahwa Wehea adalah kita, yang mewakili rusaknya persahabatan antara alam dan manusia.(M-4)

BERITA TERKAIT