30 January 2023, 08:35 WIB

Ada Apa dengan Hormon Cinta?


Adiyanto | Weekend

 KOCA SULEJMANOVIC / AFP
  KOCA SULEJMANOVIC / AFP
ilustrasi: Hubungan Asmara

Sifat welas asih, termasuk untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis, mengasuh dan merawat anak yang dimiliki mahkluk hidup, termasuk manusia, selama ini diyakini lantaran adanya hormon cinta. Namun, sebuah studi terbaru yang dilakukan pada tikus menimbulkan keraguan atas teori itu.

Penelitian yang dilakukan psikiater Devanand Manoli dan ahli saraf Nirao Shah dari California University, Amerika Serikat menemukan bahwa tikus yang dibiakkan dengan reseptor oksitosin yang tidak berfungsi, masih mampu membentuk pasangan yang kuat, menghasilkan dan merawat anak, semua perilaku yang sebelumnya diyakini bergantung pada hormon.

Tikus padang rumput itu adalah salah satu dari sedikit mamalia yang kawin seumur hidup, dan sering digunakan untuk mempelajari perilaku sosial seperti pembentukan pasangan pada hewan.

Dalam penelitian sebelumnya, tikus yang diberi obat yang menghentikan pemrosesan oksitosin tidak lagi mampu menjalin hubungan dengan pasangannya, dan induknya gagal menghasilkan susu untuk anaknya.

Yang mengejutkan para peneltian terbaru ini, tikus mutan tampaknya tidak mengalami kesulitan untuk berpasangan dengan pasangannya yang tidak diubah secara genetik, dan betina mutan masih bisa melahirkan dan menyusui, tidak seperti yang ada dalam penelitian yang digerakkan oleh obat.

"Kami tentu terkejut," kata Manoli, asisten profesor di University of California, San Francisco.

“Hasilnya menunjukkan bahwa oksitosin bukanlah penggerak utama, atau satu-satunya, aktivitas seperti bermitra atau menyusui, “ katanya.

Untuk diketahui oksitosin adalah hormon pada manusia yang berfungsi untuk merangsang kontraksi yang kuat pada dinding rahim/uterus sehingga mempermudah dalam membantu proses kelahiran. Selain itu, hormon ini juga berfungsi untuk mensekresi air susu ibu.

Studi ini hanya melibatkan pasangan tikus mutan dengan pasangan "tipe liar", dan para peneliti mengatakan pasangan dengan dua pasangan mutan dapat menghasilkan hasil yang berbeda.

Namun, secara keseluruhan, temuan tersebut menunjukkan gambaran yang berbeda tentang peran oksitosin dalam beberapa perilaku penting.

 “Hal itu bisa jadi karena hewan yang dibiakkan tanpa reseptor mengembangkan "jalur kompensasi lain" yang membantu mereka berpasangan dan merawat, “ kata Shah, seorang profesor di Stanford University.

Tetapi para peneliti menyatankan kemungkinan besar oksitosin hanyalah bagian dari serangkaian faktor genetik yang mengendalikan perilaku sosial.

"Apa yang menurut saya diungkapkan oleh studi kami adalah bahwa ada banyak jalur yang mengatur perilaku yang sangat kompleks ini," kata Manoli.

Untuk diketahui oksitosin adalah hormon pada manusia yang berfungsi untuk merangsang kontraksi yang kuat pada dinding rahim/uterus sehingga mempermudah dalam membantu proses kelahiran. Selain itu, hormon ini juga berfungsi untuk mensekresi air susu ibu.

Oksitosin kadang-kadang disarankan sebagai cara untuk mengobati gangguan keterikatan dan masalah neuropsikiatri lainnya, tetapi hanya ada sedikit ilmu pasti tentang seberapa efektifnya.

Sekarang para peneliti berharap untuk menyelidiki hormon dan reseptor lain apa yang mungkin terlibat dalam perilaku seperti berpasangan dan menyusui.

“Jalur/cara lain ini mungkin berfungsi sebagai target terapi baru,” kata Manoli. (AFP/M-3)

BERITA TERKAIT