KOMUNITAS Utan Kayu baru-baru ini meluncurkan buku berjudul Membaca Goenawan Mohamad. Buku tersebut merupakan salah satu wujud perayaan ulang tahun ke-80 Goenawan Mohamad (GM).
"Saya bersyukur dan berterima kasih pada Komunitas Utan Kayu yang telah menyusun buku ini. Yang dihadirkan dalam buku ini bukan tentang sosok GM, melainkan ide-ide yang muncul dari GM. Saya rasa itu yang memang dibutuhkan Indonesia," tutur GM, dalam acara peluncuran buku tersebut di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Editor buku ini, Ayu Utami, mengatakan GM memiliki sumbangsih besar pada dunia pemikiran, seni, jurnalistik, dan dinamika demokrasi di Indonesia. Namun, kajian lintas disiplin dan pembacaan kritis atas pemikiran-pemikirannya belum serius dilakukan.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari beberapa tokoh tentang sosok, gagasan, pemikiran, hingga polemik yang terkait dengan GM. Tulisannya berasal dari Seminar Membaca Goenawan Mohamad yang diadakan pada Maret 2022. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, ada 16 artikel di dalamnya. Beberapa penulis yang terlibat antara lain Rizal Mallarangeng, Nirwan Dewanto, Ayu Utami, dan Ulil Abshar Abdalla.
Ayu mengatakan buku ini dan Seminar Membaca Goenawan Mohamad salah satunya berperan mengenalkan GM pada generasi abad ke-21, khususnya sosok GM sebagai sastrawan, wartawan, dan pejuang kebebasan, serta sebagai pemikir yang mengolah filsafat Barat.
Buku ini dibuka dengan pengantar tentang sosok GM. Perjalanan karier dan peran GM dalam perjalanan bangsa Indonesia dituliskan dalam empat halaman pertama buku ini. Sebuah pengenalan penting yang mungkin dibutuhkan para pembaca awam, khususnya kalangan muda yang tak begitu mengetahui sosok GM.
Buku ini terbagi atas dua bagian. Bagian pertama berjudul Goenawan: Sastrawan, Wartawan, dan Pejuang. Bagian kedua berjudul Goenawan dan Filsafat Barat.
Dalam tulisannya untuk buku ini, Ni Made Purnama Sari, menelaah humanisme yang dibawa GM dan Pramoedya Ananta Toer. Dua tokoh yang sama-sama memiliki peran penting pada perjalanan bangsa Indonesia di dua periode berbeda. Ni Made juga menuliskan bagaimana GM dalam berbagai tulisannya kerap menelaah Pram lewat karya-karyanya.
Ni Made menjabarkan bagaimana Pram meyakini manusia sebagai pencerita paling sahih untuk menertawakan humanisme. Sementara itu, GM memandang bahwa selalu ada kemungkinan cara pandang lain dalam mengumandangkan kemanusiaan. Selain itu, juga dibahas mengenai perbedaan pandangan dan cara kedua tokoh memperjuangkan kebebasan dan humanisme.
"Persepsi bahwa Pram dan GM yang selalu berseberangan boleh jadi terbentuk karena dasar-dasar yang sifatnya serbapolitis: hubungan terbentuk dalam kerangka antagonistis, baik bingkai kawan maupun lawan. Namun, jika misalnya kita menengok kembali pemikiran keduanya, sejatinya mereka tetap menawarkan hal yang serupa, sebagai medium menyuarakan kemanusiaan. Kendati tentu dengan pendekatan yang berbeda." (Halaman 45)
Ulil Abhsar Abdalla dalam tulisannya yang berjudul Goenawan Mohamad, Tafsir, dan Metafor, di buku ini mengungkapkan kekagumannya pada sudut pandang GM tentang berbagai hal di kehidupan, termasuk yang terkait dengan agama Islam. Meski bukan seorang ahli agama, berbagai tulisan GM yang kerap menghadirkan pendapat para tokoh muslim dikatakan Ulil kerap membuatnya tertegun dan merenungkan hal-hal dari sudut pandang yang lebih luas.
Dalam tulisannya itu, Ulil menghadirkan contoh-contoh dan pembahasan dari tulisan GM di kolom Catatan Pinggir Tempo. Lewat kolom tersebut, GM kerap menghadirkan pendapatnya yang disebut Ulil tak mudah dipahami, tetapi sarat akan makna. GM disebut sangat mencintai metafora dalam berkesenian.
"Meskipun GM tidak kita kenal sebagai pemikir agama, tetapi renungan-renungan dia tentang agama, termasuk Islam, itu bagi saya sangat mendalam. Sangat mendalam sekali. Saya menikmatinya." (Halaman 121)
Di bagian kedua, terdapat tulisan-tulisan tentang GM dan beberapa hal terkait dengan filsafat Barat. Di antaranya berbagai pandangan GM soal Marxisme dan Nietzsche.
Dalam tulisan berjudul Marxisme tanpa Humanisme, Martin Suryajaya menuliskan pandangan GM tentang Marxisme dan seni. GM diketahui tak sedikit menulis tentang hubungan dua hal tersebut sepanjang 1964 hingga 2011 lewat berbagai media.
"Ketika Goenawan berbicara tentang pemikiran Marx, ia lebih banyak bersimpati pada pemikiran 'Marx muda' yang belum mencapai cara pandang struktural terhadap totalitas kehidupan sosial. Kemanusiaan adalah pintu masuk sekaligus pintu keluar dari wacana Goenawan mengenai Marxisme." (Halaman 315)
Di bagian sama, Sri Indiyastutik menanggapi beberapa karya tulis GM yang berkaitan dengan pemikiran filosofis Jacques Ranciere. Ranciere ialah filsuf kontemporer Prancis yang dikenal dengan pemikirannya tentang kesetaraan.
GM disebutkan Sri sebagai salah satu pemerhati dan pembaca serius karya-karya filsafat yang beberapa kali juga mengulas dan menggunakan pemikiran Ranciere dalam tulisan-tulisannya di Catatan Pinggir dan artikel-artikel karyanya.
"Apabila artikel Kemudian ini dibaca secara berurutan dengan artikel lainnya yang berjudul Demokrasi dan Kekecewaan, saya menangkap bahwa penafsiran GM terhadap pemikiran filsafat Ranciere tentang demokrasi, cukup tepat." (Halaman 354)
Pada tulisan-tulisan lain yang juga termuat dalam buku ini, terdapat berbagai pembahasan mengenai pemikiran GM tentang berbagai hal lainnya, seperti gerakan sosial, emansipasi, dan seni. Karena ditulis orang-orang dengan beragam latar belakang, tulisan-tulisan di buku ini jadi memiliki sudut pandang yang luas, bervariasi, dan tidak terkekang.
Tulisan-tulisan mereka akan bisa menghadirkan perspektif baru dan pemahaman lebih dalam, dan pemaparan mendetail tentang ide dan pemikiran GM yang pernah muncul dalam banyak tulisannya. Karena sebagai penulis yang menggemari filsafat dan metafora, tak jarang pemikiran GM justru akan menimbulkan banyak pertanyaan baru di benak pembacanya. Buku ini juga dapat dipilih sebagai bacaan lengkap atau rangkuman untuk mengenal GM lebih dalam. (Pro/M-2)