RERIE Moerdijat masih ingat bagaimana seorang utusan Komaruddin Hidayat muncul di acara seminar. Berambut ikal, berkacamata, kemeja kota-kotak merah oranye, dan mencangklong ransel kusam, dagu pria itu sedikit terangkat ketika bertanya, “Anda tahu enggak bikin sekolah kayak gimana?” (hal 27).
Itulah potongan dialog di bagian awal buku Sukma Bangsa: Tak sekadar Kisah di Ruang Ajar. Dialog antara Rerie atau Lestari Moerdijat, eksekutif puncak Media Group, dan Ahmad Baidhowi, yang biasa disapa Bae atau ustaz Bae. Bae ialah orang kepercayaan Komaruddin saat menjabat Direktur Pendidikan Tinggi Agama Islam di Kementerian Agama (Kemenag). Saat itu Baidhowi menjadi liaison officer Kemenag di World Bank dalam menangani pendidikan ibtidaiah/SD dan sanawiah/SMP. Karena Komaruddin berhalangan hadir, ustaz Bae diminta menggantikannya.
Di mata Rerie yang sehari-hari berurusan dengan masalah korporasi, gaya ustaz Bae yang agak sengak membuatnya cukup kikuk. Maklum, Bae lebih banyak bekerja di lapangan sebagai praktisi sekaligus pendidik. Bahkan, tak lama setelah gempa-tsunami memorak-porandakan Aceh, dia mendirikan sekolah tenda bersama sejumlah relawan untuk membantu pendidikan anak-anak korban bencana tersebut.
Sebenarnya, sejak awal Bae bahkan punya kecurigaan tertentu kepada Chairman Media Group, Surya Paloh, politikus yang punya gagasan mendirikan Sekolah Sukma Bangsa bagi korban tsunami dan konflik Aceh. Bae sempat syak, sekolah itu hanya akan dijadikan panggung bagi sang politikus.
Bae juga sempat mempertanyakan rencana pembangunan sekolah di pantai timur dengan biaya ratusan miliar pula. Padahal, kerusakan terparah akibat gempa-tsunami terjadi di pantai barat.
Belakangan, baru dia sadar, wilayah barat memang hancur (termasuk infrastruktur) sehingga akan perlu waktu lebih lama untuk membangun sekolah di sana. Selain itu, mengetahui betapa sekolah tersebut akan dibangun secara excellent (baik isi maupun nyawanya), dia pun paham bahwa dana yang diperlukan memang sangat besar.
Sikap meragukan niat Media Group untuk membangun sekolah bagi korban konflik korban gempa-tsunami di Aceh juga sempat disampaikan Komaruddin Hidayat saat pertama kali menerima kedatangan Rerie dan Lisa Luhur, orang kepercayaan Surya Paloh lainnya. “Mau bangun sekolah? Anda serius?”
Komaruddin yang pernah menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu mengingatkan merintis sekolah dalam situasi normal saja susah, apalagi di daerah yang porak-poranda. Lagi pula, katanya, membangun sekolah bukan hanya mengandalkan uang. “Tanggung jawab setelahnya, bagaimana,” lanjutnya (hal 24).
MI/Duta
Lesson learned
Lalu, apa yang menarik dari cerita pembangunan sekolah dan diwujudkan dalam sebuah buku? Bukankah isinya tak jauh dari menyiapkan lahan, membuat desain gedung, rencana anggaran belanja (RAB), melaksanakan pembangunan fisik, serta menyiapkan pendidik dan anak didik? Terkesan garing dan membosankan.
Namun, mendirikan sekolah di wilayah yang pernah dilanda konflik dan tsunami seperti Aceh ternyata menyimpan banyak cerita sekaligus perjuangan. Mendirikan sekolah bukan hanya soal ketersediaan uang, melainkan juga mendidik para guru serta menyiapkan konsep pendidikan alias kurikulum agar bisa menghasilkan output yang juga excellent.
Tak lupa Rerie pun mengutip pesan almarhum Djafar Assegaf, orang yang sangat dituakan di Media Group, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Media Indonesia sekaligus Duta Besar RI untuk Vietnam. “Kisah Sekolah Sukma Bangsa harus ditulis. Bukan untuk glorifikasi, melainkan sebagai catatan dan menjadi lesson learned,” jelas Assegaf (hal XVI).
Pertanyaan tentang alasan penting dan menariknya cerita pendirian sekolah sejalan dengan pertanyaan mendasar tentang alasan mendirikan sekolah untuk anak-anak korban bencana dan korban konflik. Selama ini biasanya donatur memperbaiki sekolah yang hancur lalu menyerahkannya kepada pemerintah daerah. Sesimpel itu.
Setelah tuntas dibaca, ternyata buku ini menarik dan kaya cerita karena berisi kesaksian dan pendapat banyak narasumber, mulai penyintas tsunami sekaligus calon anak didik, para petinggi Media Group, praktisi pendidikan, akademisi, relawan, dan calon pendidik dengan cerita dan drama masing-masing.
Ada juga cerita before and after para siswa. Semacam cerita from zero to hero. Dari anak didik korban bencana dan korban konflik hingga sebagian di antaranya mengenyam pendidikan magister di Finlandia dan berbagai kampus ternama di Tanah Air.
Cerita pencarian siswa tak kalah menarik. Sejumlah orang disebar ke berbagai pelosok Aceh, baik di perbukitan maupun di pesisir pantai. Syarat yang ditentukan Baidhowi tidak terlalu sulit. Tak harus juara kelas, bahkan nilai rapor pun tak perlu bagus. Yang penting, anak-anak itu mau dan ada restu orangtua.
Namun, kemudian terbukti, syarat yang tidak terlalu sulit itu menjadi tantangan yang sangat menguras energi dan pikiran para pendidik. Betapa tidak, sekolah dicita-citakan menghasilkan manusia unggul, sedangkan inputnya ialah anak-anak yang penuh trauma, baik akibat konflik maupun bencana dahsyat yang menelan sekitar 300 ribu warga Aceh. Bahkan, ada anak yang nilai bahasa Indonesia nol alias tidak bisa membaca.
Yang juga menarik, sejumlah relawan perekrut calon siswa menemukan fakta jumlah calon siswa di daerah tertentu melebihi kuota. Bahkan, seorang warga sempat menyandera relawan dan memaksa agar anak mereka bisa masuk kuota (hal 54). Ada juga orang kaya atau pejabat yang memaksakan anaknya untuk masuk Sukma, tetapi langsung ditolak. Maklum, Sukma menawarkan pendidikan gratis sekaligus asrama. Ada pula yang meminjam rumah tetangga agar dikira miskin.
Kisah perekrutan tenaga pendidik juga tak kalah menarik, terutama ketika rekrutmen berlangsung di tingkat lokal yang memerlukan tiga kali seleksi. Bahkan, nilai kelulusan harus diturunkan dari 8, 7, hingga 6. Itu pun yang terjaring hanya 80 calon pendidik, jauh dari kebutuhan yang berjumlah sekitar 140 orang. “Gawat juga kalau terus mengompromikan,” pikir Baidhowi. Akhirnya, dia pun memutuskan rekrutmen digelar di Jakarta (hal 58).
Masalah minimnya tenaga pendidik lokal akhirnya memang teratasi setelah pihak Yayasan Sukma mengadakan perekrutan di Jakarta. Namun, apakah persoalan lalu beres? Ternyata tidak karena ada hal yang kurang disadari tim perekrut, yaitu para pendidik asal Aceh menganggap kehadiran pendidik dari Jawa sebagai semacam “penjajahan”.
Muncullah ungkapan “kita” dan “mereka”. Suatu sikap yang bertentangan dengan filosofi sekolah yang ingin menghadirkan toleransi dan keberagaman. “Orang Jawa ini nanti kita pulangkan saja atau kita bunuh, kita buang ke laut?” (hal 65). Bisa jadi, itu hanya ungkapan kekesalan sesaat. Namun, tetap saja ucapan itu tidak enak didengar.
Hanya segitukah ceritanya? Tidak ternyata sebab ada juga fitnah yang menyebutkan bahwa Sukma merupakan kependekan dari “Sekolah untuk Kristenisasi Masyarakat Aceh”. Suasana serupa tidak hanya muncul di satu lokasi sekolah, tetapi juga merata baik di Pidie, Bireuen, maupun Lhokseumawe.
Kaya cerita
Buku karya Fenty Effendy yang sudah menulis sejumlah biografi tokoh nasional ini ternyata sangat menarik. Buku yang kaya cerita, banyak drama, dari yang menguji kesabaran guru menghadapi anak didik yang murung mengingat masa lalu, bandel, tidur sepanjang guru mengajar, tidak disiplin, dan yang memancing tawa. “Pernah pula dia lihat semua tempat tidur kosong, kolongnya pun kosong, lalu dia membuka lemari, eh anak asuhnya tertidur di situ…” (hal 85).
Ada juga cerita menegangkan tentang Sekolah Sukma Pidie yang nyaris dibakar massa karena sempat berkukuh mengeluarkan 11 siswa yang mencoba menyontek saat ujian nasional. Makin menegangkan karena sikap guru yang teguh pada keputusan belakangan diveto oleh Surya Paloh sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan.
Namun, para guru akhirnya bisa menerima veto tersebut setelah Surya Paloh datang ke Aceh dan meminta maaf kepada para pendidik di depan sejumlah tokoh masyarakat. Sikap itu disampaikan untuk meredam protes sejumlah pihak di Aceh yang kecewa 11 siswa dikeluarkan “hanya” karena berusaha menyontek. Namun, di saat yang bersamaan dia ingin melindungi keteguhan para guru dengan cara meminta maaf secara terbuka.
Keputusan guru untuk mengeluarkan 11 siswa yang mencoba menyontek tersebut tidak bisa diterima khalayak setempat. Saat itu mayoritas sekolah di Aceh (dan umumnya di seluruh Indonesia) “berhasil” meluluskan 90% (bahkan 100%) siswa walau mungkin ada yang melakukan tindakan tak terpuji.
Meski begitu, pihak sekolah berkeras, menyontek merupakan satu dari tiga hal yang diharamkan pihak sekolah: no cheating, no bullying, dan no smoking. Pihak sekolah pun siap dengan kenyataan hanya mampu meluluskan 20% hingga 30% siswa di masa itu.
Hal tersebut sesuai dengan prinsip Surya Paloh saat menggagas sekolah. “Dan anak-anak yang akan sekolah di sana harus paham Al-Qur’an. Ingat: harus paham! Bukan sekadar tahu membaca. Itu pertama. Yang kedua, mereka harus dipersiapkan untuk menjadi warga dunia. Bahasa Inggris-nya harus jempol,” tegas Surya kepada Rerie.
Sungguh tugas yang berat bagi Rerie yang juga menjabat Koordinator Penanganan Bencana Tsunami Media Group sebab dana masyarakat yang terkumpul lewat program Indonesia Menangis di Metro TV sebagian besar sudah disalurkan untuk membantu korban bencana. Sisa donasi yang ada diperkirakan hanya cukup untuk membangun sekolah dan segala keperluannya serta biaya operasional selama satu setengah tahun.
Fenty juga membuat flashback seorang siswa yang dikeluarkan akibat menyontek. Saat penulis menghadiri wisuda sekolah, dia menyaksikan pidato seorang siswi dalam bahasa Inggris yang fasih. Intinya, sang siswi menyampaikan pengakuan bahwa nilai UN-nya tidak terlalu bagus. Namun, dia bangga karena nilai tersebut didapat dari hasil usahanya sendiri, bukan hasil menyontek yang diharamkan di Sukma Bangsa.
Bukan sekadar kumpulan pendapat dan kesaksian, Fenty berhasil menghadirkannya seolah sedang terjadi kini dan di depan mata. Seperti ditulis Fenty, “Sebagian tata urutan waktu reportase ditiadakan agar pembaca bisa fokus menyelami pengalaman dan pembelajaran yang dipetik para narasumber.” (hal 290).
Sebagai pembaca, saya sebenarnya berharap ada cerita lebih dalam tentang kondisi Sukma saat ini, yang disajikan sekilas oleh penulis. Fenty menulis, “Tantangan ke depan adalah bagimana membuat Sekolah Sukma Bangsa bisa lebih mandiri dan terjaga keberlangsungannya. Kesepakatan awal dengan pemerintah daerah, pengelolaan sekolah diserahterimakan per tahun 2018. Namun, pemerintah setempat masih menundanya karena belum siap.”
Mungkin penulis sengaja membiarkan pembaca menebak-nebak apa yang akan terjadi pada Sukma Bangsa kini dan di masa depan sebab bagaimanapun para penggagas sekolah sudah berjuang mati-matian untuk mewujudkan mimpi mereka. Apakah Media Group akan dibiarkan sendiri menanggung tanggung jawab mendidik anak-anak Aceh? Apakah pemda dan pihak lain tidak akan tergerak untuk ikut mengambil tanggung jawab itu? Bukankah pendidikan menjadi tanggung jawab semua? (M-2)