27 December 2022, 09:00 WIB

Upaya Menjaga Keanekaragaman Hayati untuk Dunia yang Lebih Baik


Adiyanto | Weekend

AFP/Luis Tato
 AFP/Luis Tato
Ilustrasi: Sekumpulan Gajah di Kenya

Pekan lalu (7-19 Desember 2022)) digelar konferensi tentang keanekaragaman hayati (COP15) di Montreal, Kanada. Hasilnya, sejumlah negara sepakat untuk menghentikan perusakan alam demi keberlangsungan ekosistem hewan dan tumbuhan demi masa depan Bumi yang lebih baik.

Banyak yang memuji kesepakatan itu sebagai hal yang bersejarah. Sebagian berharap ambisi itu bisa tercapai. Namun, ada juga yang khawatir hal itu sekadar retorika, mengingat pertemuan sebelumnya di Jepang pada 2010 yang tidak sepenuhnya berhasil diwujudkan.

Tetapi fakta bahwa hampir 200 negara menandatangani perjanjian internasional untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati adalah sesuatu yang patut diacungi jempol. Sedikit yang mengira itu akan terjadi. Kini, tinggal implementasinya. “Dengan perkiraan 1 juta spesies terancam punah dan penurunan rata-rata 69% populasi satwa liar antara tahun 1970 dan 2018,  kita tidak boleh berhenti sejenak (untuk merawat alam,” demikian peringatan kepala lingkungan PBB, Inger Andersen, seperti dikutip The Guardian, Senin (26/12).

“Kita perlu mengubah hubungan antara manusia dan alam. Dan jika kita jujur, waktu tidak berpihak pada kita,” kata Andersen. “Kami telah mengeksploitasi alam dan inilah saatnya untuk mengurangi tekanan terhadapnya. Kami juga tahu itu adalah hal yang luar biasa dan alam sangat pemaaf. Jika kita memberikannya setengah kesempatan, ia akan bangkit kembali.”

Gerakan kesadaran untuk menjaga keanekaragaman hayati muncul pada tahun ini di seluruh dunia, seperti pengenalan kembali bison dan pembangunan kembali habitat untuk hewan itu di Inggris. Leonardo DiCaprio dan Ellie Goulding adalah dua selebritas yang menyatakan dukungan mereka untuk gerakan tersebut selama proyek dunia liar, Age of Extinction.

Memasuki tahun 2023, banyak yang mendapatkan inspirasi dari masa lalu, dengan peningkatan dalam pertanian regeneratif, kembalinya tanaman kuno seperti soba dan gandum Welsh, dan pemanfaatan sistem irigasi kuno. Beberapa  inovasi dalam konservasi juga dilakukan, termasuk memanfaatkan halte bus menjadi rumah bagi serangga penyerbuk dan pemanfaatan kecerdasan buatan.

Target dari perjanjian di COP15 antara laijn juga untuk menghilangkan, meminimalkan, mengurangi dan/atau memitigasi dampak spesies yang invasif terhadap keanekaragaman hayati. Di Jerman, misalnya, udang karang marmer telah menginvasi danau dan sungai, sementara ular mengancam kadal di Ibiza dan penyakit hama busuk telah menyerang tanaman jeruk di daratan Spanyol.

Kabar itu jelas tidak semuanya baik, mungkin yang paling mengkhawatirkan adalah hilangnya sejumlah besar burung liar secara global, seperti pelikan, skua dan anggota dari banyak spesies lainnya yang mati karena flu burung. "Hanya skalanya yang sulit dipahami," kata Gwen Potter, manajer di National Trust Inggris, yang bekerja di Kepulauan Farne, lepas pantai Northumberland, kepada Guardian.

Rekam jejak umat manusia dalam memperlakukan alam tidaklah baik. Tapi mungkin kesepakatan yang dicapai di COP15 dapat memberi kita harapan bahwa kita siap untuk mulai memperbaiki keadaan. Semoga tahun 2023 akan ada upaya bersama yang lebih serius lagi untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati. (M-3)

BERITA TERKAIT