19 December 2022, 09:01 WIB

Krisis Keanekaragaman Hayati dan Ancaman Perubahan Iklim


Adiyanto | Weekend

AFPO/Pablo Cozzaglio
 AFPO/Pablo Cozzaglio
ilustrasi: Hutan masyarakat adat di Ekuador. Dunia kini mengalami krisis keanekaragaman hayati

Dalam setengah abad terakhir populasi satwa liar telah turun 69% secara global. Demikian menurut laporan yang dikeluarkan World Wide Fund for Nature (WWF), pada Oktober lalu. WWF adalah sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang menangani masalah-masalah tentang konservasi, penelitian, dan restorasi lingkungan.

Data mengkhawatirkan itu, diperparah dengan degradasi lahan, termasuk penggundulan hutan, erosi tanah, dan hilangnya wilayah alami terjadi di 40% daratan Bumi. Hal itu, menurut PBB, telah memengaruhi kehidupan setengah dari populasi umat manusia secara global. Angka-angka yang mengkhawatirkan ini menjadi latar belakang COP15 (konferensi tentang keanekaragaman hayati) yang digelar di Montreal, Kanada. Konferensi yang berlangsung 7-19 Desember 2022 ini bertujuan menyepakati kerangka kerja global baru untuk melindungi alam.

Para ilmuwan mengatakan para pemimpin dunia kini menghadapi tantangan krusial. Mereka perlu menyepakati cara bersama untuk melindungi keanekaragaman hayati pada 2030 guna melestarikan kehidupan tumbuhan dan hewan serta membantu memerangi ketidakseimbangan iklim.

“Taruhannya sangat tinggi: kita saat ini hidup dibayangi krisis keanekaragaman hayati,” kata Philippe Grandcolas, ahli entomologi dan direktur penelitian di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional (CNRS) Prancis., seperti dilansir France24.

“Keanekaragaman hayati sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Mereka memastikan bahwa kita dapat memberi makan diri kita sendiri, memiliki akses ke air minum, dan memainkan peran utama dalam kesehatan kita. Namun, yang terpenting, keanekaragaman hayati memainkan peran yang sangat diperlukan dalam stabilitas planet ini,” imbuhnya.

Saat ini, 70% ekosistem di seluruh dunia berada dalam kondisi degradasi, sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia – tingkat penurunan yang digambarkan sebagai “belum pernah terjadi sebelumnya dan berbahaya” oleh Platform Kebijakan-Ilmu Antarpemerintah tentang Layanan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (IPBES).

Selain itu, lebih dari 1 juta spesies terancam punah. Vertebrata, meliputi mamalia, ikan, burung, reptil, dan amfibi dan merupakan 5% dari semua spesies hewan, kondisinya kini sangat terancam. “Laporan kami sebelumnya menemukan bahwa telah terjadi penurunan 68% di antara total populasi [vertebrata] selama 50 tahun,” kata Pierre Cannet, direktur advokasi dan kampanye di WWF Prancis. Pada 2022 angka itu meningkat menjadi 69%. “Kehilangan satu persen dalam dua tahun sangat besar. Untuk spesies yang sudah memiliki populasi kecil, itu bisa berarti kepunahan,” imbuhnya.

Ketidakseimbangan iklim

Menurut IPBES, faktor pendorong yang paling signifikan dari krisis keanekaragaman hayati adalah perubahan dalam penggunaan lahan dan fragmentasi ruang alam, terutama karena pertanian. Ini diikuti oleh penangkapan ikan berlebihan, serta perburuan liar.

“Dalam sebagian besar kasus, ada banyak faktor yang berperan,” kata Grandcolas. “Tapi ketidakseimbangan iklim menjadi ancaman paling signifikan. Semakin meningkat, semakin mengganggu ekosistem dan berdampak pada flora dan fauna,” tegasnya.

Ada banyak contoh dampak ini. Dalam 30 tahun terakhir populasi gajah di hutan Afrika, misalnya,  telah turun hingga 86%. Meenurut WWF penyebab utamanya adalah perburuan dan perdagangan di pasar gelap, sehingga menyebabkan kematian 20.000 hingga 30.000 gajah per tahun. Namun siklus kekeringan dan banjir yang berulang juga berdampak pada akses ke air bersih – sumber daya vital bagi spesies ini karena setiap hewan mengonsumsi sekitar 150 hingga 200 liter per hari. Tanpanya, kelangsungan hidup mereka terancam.

Demikian pula, penyu belimbing di Suriname telah mengalami penurunan populasi hingga 95% dalam 20 tahun terakhir. Hal ini sebagian disebabkan oleh perusakan habitat mereka yang disebabkan oleh campur tangan manusia dan penangkapan ikan secara ilegal. Tetapi ketidakstabilan iklim juga mengganggu tingkat reproduksi mereka karena kenaikan permukaan laut telah menghancurkan dan mengganggu pantai tempat penyu bertelur.

“Saat ini ada beberapa spesies yang diklasifikasikan punah akibat perubahan iklim,” kata Camille Parmesan, direktur penelitian di CNRS dan penulis laporan pertama tentang hubungan antara perubahan iklim dan keanekaragaman hayati, yang diproduksi oleh IPBES dan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC) pada tahun 2021. (M-3)

BERITA TERKAIT