SEJARAH kelam pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap berpaham komunis pada 1965 tak hanya menyisakan trauma pada orang-orang yang telah dewasa kala itu dan menyaksikannya secara langsung. Trauma akan pembantaian yang terjadi mengendap dan terus hadir hingga ke generasi-generasi selanjutnya. Kepentingan politik oknum pemerintahan dan militer kala itu memengaruhi perjalanan hidup banyak orang, termasuk anak-anak yang orangtuanya menjadi korban pembantaian.
Kenyataan pahit tersebut menjadi salah satu hal yang muncul dengan gamblang pada novel Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati. Novel karya Ni Made Purnama Sari ini mengangkat kisah berlatarkan kehidupan masyarakat Bali di era awal 1970-an. Masa ketika masyarakat Bali tengah berjuang melalui transisi pascatragedi 1965 dan masuknya turisme modern ke Pulau Dewata.
Tak menerabas jauh dengan menghadirkan kisah berlatarkan informasi politik di era tersebut, penulis justru menggambarkan kengerian yang terjadi saat itu lewat kisah seorang anak lelaki bernama Putu. Kisah hidup Putu yang malang menjadi gambaran fakta yang sangat mungkin juga terjadi pada anak-anak lain di Indonesia yang hidup di era tersebut.
Putu merupakan anak semata wayang yang hidup di perdusunan Bali. Di sana ia hanya hidup berdua dengan neneknya yang ia panggil Ninik. Telah ditinggalkan sebelum usianya genap tiga tahun membuat Putu tak pernah mengenal atau mengingat sosok kedua orangtuanya.
Sepanjang hidupnya, Putu tidak pernah mendapatkan penjelasan memuaskan tentang alasan orangtuanya pergi meninggalkannya. Dari Ninik, ia hanya sering mendengar jawaban ketus yang mengatakan orangtuanya telah mati. Sementara itu, dari tetangga dan keluarga besarnya ia kerap dicibir sebagai anak haram yang lahir dari hasil perkosaan. Ayahnya disebut beraliran kiri dan kabur saat pembantaian ‘Gestok’ turut terjadi di Bali.
Putu hidup dalam kemiskinan dan keterasingan. Bersama Ninik, ia berusaha melanjutkan hidup yang begitu berat bagi anak seusianya. Hanya satu hal yang dapat membuat hidupnya jadi bersemangat, yaitu ketika dirinya pergi latihan menari tradisional.
Lewat pertemuannya dengan para maestro seni tradisi tari dan gamelan, Putu seakan diberkati karunia keindahan sepanjang hidupnya. Bersama Pak Wayan Kaler, sang maestro tari, ia berkesempatan merasakan pentas dari panggung ke panggung di hotel mewah yang mulai bermunculan di Bali. Ia juga bisa berkeliling dusun di Bali hingga memahami ciri khas gerak tari tradisional yang berbeda di setiap sudut Bali.
Hingga akhirnya Putu berkesempatan untuk menjalani kesempatan menjanjikan lainnya seperti memahat dan mengenyam pendidikan di sekolah seni bergengsi di Bali. Namun, perjalanan hidup Putu tampaknya tak pernah begitu mulus. Masa lalu dan asal-usulnya yang menyesakkan terus menghantui kehidupan Putu yang haus kasih sayang.
Putu akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan Bali, kampung halamannya, untuk menekuni dunia tari tradisional dengan caranya sendiri. Puluhan tahun ia mengembara, ingatan tentang masa lalu akhirnya membuatnya tergerak untuk kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiranny tersebut.
Meski tak mudah, kepulangannya tersebut ternyata menjadi momen penting yang menjawab banyak pertanyaan di kepalanya sejak kecil. Tentang asal-usulnya, apa yang terjadi dengan orangtuanya, hingga bagaimana orang yang ada di kehidupannya saat kecil menaruh harapan besar terhadapnya.
Diluncurkan pertama kali di acara Ubud Writers and Readers Festival 2022, novel ini tidak hanya berisi tentang kehidupan sederhana Putu. Cerita hidup Putu yang berlatarkan Bali di periode awal 1970-an juga menghadirkan berbagai kisah seputar Bali di era tersebut. Kehidupan masyarakatnya, pergerakan kegiatan kesenian dan budayanya, perkembangan dunia pariwisatanya, hingga pembangunan kota-kotanya.
"Di awal dekade 1970-an itu Kuta masih terbilang asri. Hotel berjumlah hitungan jari. Begitu juga dengan restoran-restoran elite. Warung Made di sekitar jalan Seminyak yang kelak amat tersohor masihlah berupa lapak kaki lima yang menjual menu tipat cantok, gado-gado bumbu kacang ala Bali." (Halaman 28)
Novel ini terdiri atas tiga bagian. Setiap bagian menceritakan periode berbeda dalam kehidupan Putu. Ketika ia masih belum bertemu Pak Wayan Kaler, ketika ia mulai aktif menjadi penari anak profesional, hingga ketika ia dewasa dan kembali ke Bali.
Setiap bagian dalam cerita selalu dihadirkan penulis dengan deskripsi yang detail dan kental dengan penggambaran suasana dan alam Bali. Tak sedikit ia menghadirkan personifikasi dan kiasan yang begitu kuat. Menghadirkan gambaran keindahan sekaligus kerumitan yang selaras dengan jalan pikiran Putu.
Penulis menghadirkan narasi sebuah cerita fiksi dengan keindahan bak bait-bait puisi dengan makna yang mengajak pembacanya berpikir.
"Alih-alih sebuah sungai berikut jutaan bebunyian yang teredam dalam tenang alirannya—larungan napas waktu yang hendak bermuara ke samudra lepas dan bersamanya tersimpan janji kehidupan, serta rahasia kelam maut atas dunia yang fana—yang kau saksikan sekarang, yang hanya selemparan batu jaraknya, tak lain gelembung buih di permukaan pasir yang meletup pecah bersusulan sebelum lantas digerus oleh ombak pasang yang baru." (Halaman 74)
Lewat perjalanan hidup Putu, penulis juga menghadirkan sekilas gambaran tentang perjuangan para seniman Bali di era tersebut. Perjuangan untuk berkesenian sebagai bentuk persembahan bagi para dewa, semesta, hingga untuk kepentingan mereka sendiri sebagai manusia. Ada pula persilangan antara pelaku seni yang mempertahankan idealismenya dan yang mulai mengendurkan idealismenya demi mendukung jalannya pariwisata serta pemasukan untuk kantong pribadi.
Pembaca juga akan mendapatkan informasi tentang tarian-tarian tradisional Bali yang sejatinya sangat kaya dan beragam. Bahkan, satu jenis tarian saja bisa memiliki sajian dan ciri berbeda ketika ditampilkan di dusun yang berbeda.
"Tak perlu waktu lama bagi Putu untuk menyadari jenis tari apa yang paling disukainya. Tari Topeng, tentu saja. Tapi, tari ini juga banyak sekali macamnya, misalnya tari Topeng Tua gambaran seorang lelaki sepuh, Topeng Keras yang ekspresif, Topeng Dalem nan karismatik, juga Topeng Lucu atau Topeng Monyer Manis yang baru dikembangkan 1950-an di Denpasar." (Halaman 46)
Selain itu, novel ini memiliki sudut pandang yang unik. Terdapat dua sudut pandang utama, yakni sudut pandang Putu kecil dan ketika ia telah berusia lebih dari setengah abad. Namun, keduanya dihadirkan dalam bentuk penceritaan orang ketiga yang serbatahu.
MI/Duta
Diksi dan lukisan Bali
Sepanjang cerita, penulis banyak menghadirkan penjelasan dan dialog dengan menyertakan kata-kata, frasa, hingga kalimat kiasan, dan pepatah dalam bahasa Bali. Perkataan-perkataan yang mungkin sangat familier bagi masyarakat Bali di era tersebut.
Penggunaan bahasa daerah Bali membuat novel ini memiliki nuansa lokal dan tradisional yang sangat kental. Pembaca akan dibuat merasa lebih dekat dengan masyarakat Bali yang dihadirkan lewat cerita. Namun, ketiadaan catatan kaki atau glosarium amat mungkin membuat pembaca yang tidak memahami bahasa Bali sedikit kesulitan. Dibutuhkan usaha lebih untuk mencari makna kata atau kalimat berbahasa Bali yang kerap muncul di novel ini.
Nuansa Bali yang juga semakin kuat terasa dengan disertakannya delapan lukisan bertema budaya, kesenian, dan masyarakat tradisional Bali dalam novel. Lukisan-lukisan tersebut tak sekadar hadir sebagai hiasan, tetapi juga sebagai ilustrasi cerita hidup Putu dan kehidupan Bali yang dihadirkan penulis.
Ilustrasi-ilustrasi tersebut dibuat secara khusus oleh Erica Hestu Wahyuni, pelukis asal Yogyakarta. Ilustrasinya yang penuh warna dan memiliki garis modern membuat novel dengan suasana cerita muram tersebut terasa lebih ringan.
Bagi pencinta novel fiksi yang kental dengan latar belakang sejarah, isu sosial, dan politik di suatu wilayah, Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati bisa menjadi pilihan untuk menambah daftar bacaan. Novel ini dapat menjadi pelengkap imajinasi dan gambaran perkembangan pulau dewata sebagai rumah dan saksi kelahiran para maestro seni di Tanah Air. (M-2)