Wayang yang telah ditetapkan UNESCO pada 2003 sebagai Warisan Mahakarya Dunia Tak Ternilai dalam Seni Bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) perlu terus dilestarikan. Usaha melestarikan wayang di Indonesia bukan hanya melalui pelatihan dalang dan penatahan wayang pada generasi muda, melainkan juga dengan mengalihwahanakan wayang ke media-media seni lainnya, mulai dari film, sastra, komik, hingga animasi.
Hal yang tak kalah penting adalah kehadiran ruang-ruang publik semacam museum, sebuah wadah bagi masyarakat untuk bisa mengakses kekayaan wayang Indonesia. Museum Wayang yang dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah berperan penting. Namun, jangan pula dilupakan upaya dan kecintaan pribadi-pribadi semacam Gregory Churchill, seorang ahli hukum yang juga kolektor wayang Indonesia, asal Amerika Serikat.
"Rumah Greg penuh dengan wayang. Dalam surat wasiat Greg, koleksinya diwariskan ke lembaga yang saya dirikan, Lontar. Greg selalu menghargai karya seseorang dalam koleksi dia. Selalu ada nama pemahat dan dalang yang membuat dan memainkan wayang tersebut. Greg selalu mencari representatif dari wayang di berbagai daerah," ungkap John H. McGlynn, Co-Founder Yayasan Lontar, dalam jumpa pers dari rangkaian acara A Lasting Legacy: The Smiling Semar from America, yang digelar di Salihara Community Art Centers, Jakarta Selatan, Minggu (4/12).
Yayasan Lontar menginisiasi acara tersebut untuk mengenang kepergian Gregory Churchill (1947-2022), seorang ahli hukum yang berjasa besar dalam reformasi hukum di Indonesia. Tetapi, yang tak kalah penting adalah kecintaan Greg, terhadap seni wayang di Indonesia. Greg telah mengoleksi tidak kurang dari 8.000 wayang dalam berbagai jenis dari berbagai daerah di Indonesia dan disimpan di kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
"Beliau (Greg) sadar bahwa koleksi wayang ini akan rusak dan akan punah karena dibuat dari kayu dan kain, maka dari itu didokumentasikan dalam bentuk digital dan foto sampai detil," ungkap Hanuri Setiadi, yang bekerja sama dengan Greg selama 25 tahun dan mengenal Greg saat dirinya bekerja di dokumentasi hukum.
"Greg merasa ada yang terlupakan dari wayang yaitu ukirnya. Kenapa dia kumpulkan wayang, karena dia menghargai wayang dan dia menghargai pengukir wayang tersebut. Makanya dia menulis nama pengukirnya di setiap karya wayang. Koleksi wayang Greg ini dinamakan MukaMukaMu," lanjutnya.
Hanuri menambahkan maksud dari MukaMukaMu berangkat dari orang baru yang Greg temui dan ia merasakan pernah bertemu atau melihat orang tersebut sebelumnya. Sebab, menurutnya ia merasakan ada kemiripan antara wayang koleksinya dengan orang-orang yang ditemuinya.
Rangkaian acara ini terdiri dari Pertunjukan Wayang Golek Cepak dengan maestro dalang Ki Warsad dari Indramayu, Jawa Barat, lalu diskusi bertajuk "A Lasting Legacy Tantangan Preservasi Wayang di Masa Depan, hingga pemutaran film dokumenter berjudul Semar Mesem dari Amerika (The Smiling Semar from America) yang disutradarai oleh Eva Tobing dan supervisi John H. McGlynn dari Lontar.(M-3)