Setelah tertidur sekitar 12 tahun, kini label rekaman yang punya tempat khusus bagi para musikus indie era pertengahan 2000, Aksara Records, bangun lagi. Kembalinya Aksara Records tahun ini salah satunya ditandai dengan merilis album penuh terbaru Ardhito Pramono, Wijayakusuma, pada Rabu (13/7).
Dalam perjalanan kembalinya Aksara Records, co-founder Hanindita Sidharta mengatakan salah satu pemicunya adalah dorongan yang begitu persisten dari musikus muda Kurosuke, moniker dari Christianto Ario.
“Saya sudah berteman cukup lama dengan Ario. Saya memang gatal untuk balik lagi ke musik, dan Ario sangat persisten membujuk saya. Bilang harus balik. Setelah cukup mengamati skena musik indie yang berkembang saat ini, dan ternyata seru dan keren-keren, akhirnya memutuskan kembali lagi,” cerita Hanin saat konferensi pers di Bartisserie, Jakarta Selatan, Rabu, (13/7).
Pada periode pertengahan 2000-an, beberapa kelompok musik seperti White Shoes and the Couples Company (WSATCC), The Brandals, dan Sore adalah sederet nama yang turut diorbitkan Aksara. Kini, Aksara Records versi 2.0 ditandai dengan wajah-wajah baru. Musikus gelombang awal yang turut bergabung di bawah naungan Aksara saat ini adalah Kurosuke, Ardhito Pramono, dan Bilal Indrajaya.
“Di Aksara, kami mengeluarkan karya bukan berdasarkan tren. Itu statement Aksara yang juga sudah dipegang dari dulu. Aksara punya legacy yang cukup kaya. Besar harapan, kami bisa melanjutkan legacy itu setelah terputus cukup lama. Semangatnya adalah sama-sama mendukung seniman dan musikus hebat dengan cara yang kami bisa. Di era semua serba bisa sendiri, justru kami ingin mengembalikan semangat kolektif di musik,” tambah Ario yang kini juga turut membidani Aksara Records.
Proyeksi setahun mendatang, Aksara pun masih ingin fokus pada tiga musikus yang dinaunginya saat ini. Baru setelah itu mereka akan berencana mencari musikus muda yang menurut mereka bisa merepresentasikan Aksara Records, dengan potensi yang dimiliki si musikus tersebut.
“Tanpa terkecuali ya. Bisa musikus elektronik, tradisional, tidak menutup jenis musik apa pun,” kata Ario.
“Kami menerima segala jenis musik. Ya secara kualitasnya tentu harus baik. Mulai dari penulisan lagu yang baik, produksinya juga baik, aransemennya, ya keseluruhannya. Yang kami lihat pada dasarnya adalah kualitas musik yang bagus. Secara karyanya dipikirkan dengan benar-benar matang, dan semangat bermusiknya yang kami lihat,” tambah Hanin.
Melanjutkan penjelasan Hanin, Ario menegaskan Aksara Records tidak punya barometer yang mutlak terkait musikus yang bakal dinaungi label rekaman tersebut. Tapi ia menegaskan, seni, fitrahnya adalah subjektifitas. Sebab itu, musik-musik yang akan diproduksi dan musikus yang dinaungi juga berdasar penilaian subjektif Aksara.
“Ada kaidah kesenian yang diperhatikan. Misal, ada musikus usia 18 tahun potensial. Itu bisa diasah atau enggak. Kami juga enggak serta merta, misal, yang lagi tren hip hop lalu cari musikus hip hop. Tapi lebih ke bagaimana si musikus dan karyanya dalam jangka panjang ke depan bisa juga punya impak secara kebudayaan.” (M-2)