15 June 2022, 20:31 WIB

Gelar Karya Seni Fasilkom UI Ajak Masyarakat Kenali Wastra Indonesia


Devi Harahap | Weekend

MI/Devi Harahap
 MI/Devi Harahap
Dua motif kain tenun Sumba, Hinggi Mahang Katiku Tau (kanan) dan Lau Pahudur

Indonesia adalah negara kepulauan yang diberkahi dengan beragam identitas budaya, salah satunya adalah wastra atau yang dikenal dengan kain tradisional. Masing-masing daerah memiliki ciri khas wastra dengan kearifan lokal yang dapat dibedakan dari bahan, simbol, warna, ukuran, hingga material yang digunakan.

Meski wastra atau kain tradisional telah menjadi salah satu identitas budaya di Indonesia yang sarat akan makna budaya Nusantara, masih banyak masyarakat yang kurang akrab dengan istilah tersebut. Hal ini membuat eksistensi wastra kian tergerus oleh perkembangan zaman.

Eksistensi wastra Indonesia ini mengemuka dalam talk show “Berkain Budaya Indonesia” pada acara Gelar Karya Seni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (Fasilkom UI) dengan tema "Merawat Keberagaman Dengan Berkesenian" yang diselenggarakan di Makara Art Center (MAC) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada Rabu (15/6).

Talk Show seni ini menghadirkan sejumlah pakar dan pegiat wastra Indonesia Benny Gratha dan Anita Setiawati, serta dipandu oleh Zastrow Al-Ngatwi seorang budayawan sekaligus Kepala Makara Art Center UI, yang akan menumbuhkan semangat agar semakin mencintai warisan Budaya Indonesia.

Zastrow Al-Ngatwi menjelaskan wastra merupakan lembaran kain. Tak hanya batik, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki beragam jenis kain tradisional yang telah masuk menjadi warisan budaya Nusantara.

“Wastra itu dari bahasa sansekerta yang artinya lembaran kain tradisional, di Indonesia ada beragam jenis wastra yang menjadi warisan budaya Nusantara misalnya batik, tenun, songket, ulos, lurik, kain ikat dan masih banyak lagi,” ujar Zastrow Al-Ngatwi.

Benny Gratha seorang pakar wastra Indonesia menjelaskan setiap daerah memiliki wastra dengan ciri khas dan keunikan yang menjadi pembeda, seperti bahan yang dipakai, simbol, ukuran, warna, teknik pembuatan, historis, serta filosofi di baliknya.

“Wastra itu kain tradisional Indonesia yang memiliki cara pembuatan dan motif berbeda-beda. Setiap daerah pasti punya pola dan motif wastra yang berbeda, jadi setiap daerah punya spesifik sendiri,” jelas Benny Gratha.

Keragaman dalam warstra berasal dari proses akulturasi budaya dari para pendatang yang kemudian diadaptasi dan dipadukan dengan budaya lokal, baik dengan organisasi, kelas sosial, atau religi sehingga melahirkan beragam pola.

“Jadi para perajin tidak asal dalam membuat pola dan simbol, karena itu juga memiliki historis dan terinspirasi dari beragam akulturasi budaya. Kalau di Jawa ada batik jumputan dengan teknik tritik, kalau orang Melayu itu ada songket dari benang emas, di Indonesia bagian timur itu ada tenun ikat gongsi,” lanjutnya.

Benny juga menjelaskan pembuatan 3 jenis wastra yaitu batik, songket, dan tenun yang memiliki teknik sangat berbeda. Seperti kain batik yang telah tercatat sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 2 oktober 2019, dibuat dengan cara menggambar pola di atas kain menggunakan canting.

“Perbedaan utama dari batik, songket, dan tenun itu ada di teknik pembuatan motifnya. Kalau batik itu dari kain mori polos kemudian digambar pakai canting dengan menorehkan cairan malam atau lilin pada sebagian pola di kain mori lalu di jahit jadi motif-motif yang beragam bentuk,” katanya.

Sedangkan kain tenun, dibuat dari bahan kain kapas atau sutra alam sehingga memiliki tekstur yang lebih halus saat dikenakan, sedangkan songket dibuat dari benang pakan menggunakan teknik anyam.

“Kalau kain tenun itu bermacam-macam ada tenun misalnya ada tenun ikat pakan, ikat lungsi, ikat ganda yang dibuat dengan kain kapas atau sutra alam dan biasanya memiliki beragam jenis warna dalam satu helai kain tergantung dari proses pencelupan pewarna benang,” jelasnya.

“Ada tenun songket yang dibuat dari benang pakan dan menggunakan alat tenun yang tegak atau vertikal, dibuatnya dengan menggunakan teknik anyaman dari benang pakan jadi biasanya hanya punya satu warna,” lanjutnya.

Anita Setiawati sebagai penggiat wastra yang telah mengoleksi 500 kain tradsional ini mengatakan kain-kain tradisional Indonesia perlu dinilai secara utuh sebagai karya, mulai dari proses pembuatannya hingga tahap pemakaiannya.

“Saat kita memakainya, saya berharap wastra tidak hanya terasa sebagai kain penutup tubuh, melainkan proses kreatif, penuh makna, dan ketelatenan dari tangan-tangan perajin yang berjasa melestarikan kain adat Indonesia,” imbuhnya.(M-4)

BERITA TERKAIT