07 March 2022, 15:53 WIB

Visi Matt Reeves dan Batman yang Melodrama


Fathurrozak | Weekend

Warner Bros
 Warner Bros
The Batman

Sutradara Matt Reeves menjadikan waralaba baru dari Batman sebagai salah satu tolok ukur film pahlawan super mendatang. Ide tentang menyeret skandal sistem pemerintahan dan hukum di Gotham menjadi yang paling menarik dari seri terbaru yang kali ini diperankan Robert Pattinson sebagai Bruce Wayne/Batman.

Skandal itu sekaligus menjadi teka-teki yang perlu dipecahkan oleh Wayne, yang kali ini tampil dengan persona ‘emo’-nya. Untuk mengungkapnya, Bruce dituntun oleh Riddler (Paul Dano), karakter yang memberikan film ini nuansa film misteri pembunuh berantai.

Riddler secara konsisten mengincar tokoh-tokoh besar Gotham, termasuk walikota Don Mitchell (Rupert Penry-Jones), komisaris polisi Pete Savage (Alex Ferns), dan jaksa Gil Colson (Peter Sarsgaard). Dalam setiap aksi pembunuhannya, Riddler meninggalkan pesan sebagai bagian dari teka-teki yang harus dituntaskan Batman.

Baik Batman maupun Riddler, keduanya adalah sama-sama vigilante. Sama-sama ingin mengubah Gotham menjadi lebih baik. Bedanya, satu berkenan membantu aparat hukum formal, satunya bertindak lebih ekstrem dengan menghabisi para pejabat korup sekaligus mengumpulkan para penggemar lewat aksinya yang disiarkan secara daring.

Salah satu yang paling menarik dari garapan Reeves di sini adalah meski ketika sosok Batman tidak muncul di layar, efektivitas narasi film tetap terjaga. Hal itu antara lain karena ada keseimbangan porsi di antara banyaknya tokoh-tokoh dalam The Batman.

Selina/Cat Woman (Zoe Kravitz) berperan dengan apik dalam aksi laganya. Ia menjadi sidekick Batman yang lebih sering muncul ketimbang Alfred (Andy Serkis). Multidimensi karakter Selina, yang seolah di tengah-tengah antara karekter Batman dan Riddler, juga turut menumbuhkan tarik-ulur emosi antara Batman dengan apa yang tengah diungkapnya.

Skanda yang berkutat di antara para pejabat politik, penegak hukum, taipan, yang juga tentunya melibatkan mafia, menjadi sajian paling substansial di The Batman. Bagaimana setelah penangkapan kartel narkoba Sal Maroni, seolah keadilan sudah dipulihkan. Padahal, itu hanyalah kamuflase  yang tercipta dari negosiasi di belakang layar.

 

Krisis eksistensial

Di samping ‘daddy issue’ yang menjadikannya emosional, pertemuan Wayne dengan karakter-karakter di sekelilingnya memantik krisis eksistensial dalam dirinya. Dalam upaya mengungkap misteri dari Riddler, Wayne belakangan mengetahui bagaimana keluarganya turut berperan dalam kebobrokan Gotham. Robert Pattinson yang awalnya sempat diragukan banyak kalangan, mampu berperan dengan apik sebagai Batman yang melodrama dan tengah dilanda krisis eksistensialnya.

Sementara itu, desain produksi dari James Chinlund memberikan nuansa Gotham yang kelam dengan situasi politiknya.  Ia menyempurnakan dimensi yang lebih gelap di film ini, sejalan dengan narasi dan persona yang ingin dihadirkan Reeves. Demikian pula scoring yang digarap Michael Giacchino, mulai dari Ave Maria sampai bubuhan lagu Something in The Way-nya Nirvana.

Greig Fraser (Dune) yang berperan sebagai sinematografer juga mampu menawarkan bahasa visual yang cukup kreatif, seperti ketika adegan Penguin (Collin Farrel) yang terjungkal lalu Batman menghampirinya. Arahan Fraser mampu memberikan sisi estetik dari dunia yang kelam.

Sebenarnya The Batman cukup menjadi ‘paket lengkap’ sebagai film superhero yang bisa disebut sebagai tolok ukur film-film pahlawan super DC di masa mendatang dengan gaya dan pilihan kreatif sutradaranya. Sayangnya, durasi yang teramat panjang, sekitar 3 jam, justru ditutup dengan babak akhir yang terasa kurang serasi. Ada kesan terkatung-katung, yang barangkali juga disengaja.  (M-2)

BERITA TERKAIT