23 January 2022, 05:30 WIB

Waspada Flexing


(Pro/M-1) | Weekend

Dok.MI
 Dok.MI
Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Rhenald Kasali

DI sejumlah medsos dan platform video berbagi, konten pamer kemewahan atau flexing banyak dijumpai. Sosok-sosok yang dijuluki sultan dan crazy rich menjadikan acara belanja, isi rumah, bahkan isi lemari sebagai konten.

Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Rhenald Kasali, mengungkapkan, meski banyak yang menggunakan flexing untuk sekadar cari perhatian, ada pula yang memang bertujuan untuk market signalling.

“Karena memang di keilmuan ini flexing ini ada teorinya yang disebut sebagai market signalling atau strategi mengirim sinyal kepada pasar. Teori itu sudah ada sejak tahun 60-an. Namun, sejak adanya media sosial cara itu menjadi semakin populer karena memang banyak yang berhasil menarik perhatian pasar dengan cepat,” tuturnya kepada Media Indonesia, Rabu (19/1).

Lewat flexing, jelas Rhenald, para sosok itu memiliki tujuan ingin cepat mendapat kepercayaan masyarakat. Dengan begitu, segala produk yang mereka jual atau promosikan diharapkan cepat laku.

“Ini bagian dari fenomena artifisial yang memang tengah terjadi saat ini dan ke depan menurut saya akan selalu ada yang menggunakan flexing sebagai strategi marketing,” tambahnya.

Lebih lanjut, menurutnya, flexing mungkin hanya berhasil mencapai tujuan untuk waktu singkat. Untuk yang sekadar mencari perhatian pun lambat laun akan ditinggalkan masyarakat karena jenuh meski akan tetap ada masyarakat yang gampang terbuai.

Sementara itu, untuk yang menggunakan flexing untuk marketing juga diperkirakan akan cepat tersaingi dengan bisnis baru lainnya. Karena itu, Rhenald menekankan lebih baik membangun kredibilitas jangka panjang.

“Orang-orang yang flexing ini mungkin akan berhasil dalam waktu singkat, tapi besar kemungkinannya juga mereka akan menghilang dengan cara dan waktu yang cepat juga. Usaha-usaha baru, bisnis bisnis baru, startup-startup baru, mereka harus punya ketekunan dan benar-benar membangun dengan solid usahanya,” tutur Rhenald.

Di samping menekankan soal pentingnya etos kerja dan tidak ada kekayaan instan, pria 61 tahun ini mengingatkan soal pen­tingnya bersahabat dengan alam. Meski mengikuti kemajuan teknologi, manusia semestinya memang peduli akan kondisi alam yang semakin memprihatinkan.

Karena itu, di kawasan seluas lima hektare yang menjadi tempat Rumah Perubahan, ia membiarkan sebagian besarnya sebagai ruang terbuka. Selain menanam beragam jenis tumbuhan, penulis buku Disrup­tion ini melepas berbagai binatang.

“Saya melepas burung hantu, biawak, ada juga rusa. Semua supaya bisa hidup dan berkembang biak di sini,” ujarnya.

Rhenald berharap kesadaran akan lingkungan semakin meningkat, khususnya setelah pandemi. Ia mengatakan, setelah pandemi, akan semakin banyak orang yang merindukan area-area hijau dan terbuka dan kegiatan yang lebih menyatu dengan alam. (Pro/M-1)

VIDEO TERKAIT :

BERITA TERKAIT