28 October 2021, 07:16 WIB

Bahasa Daerah Sekarat, Jati Diri Bangsa Terancam


Galih Agus Saputra | Weekend

MI
 MI
Festival Bahasa dan Sastra yang dihelat Media Indonesia. 

Guru Besar Geolinguistik FIB, UI, Prof. Dr. Multamia RMT Lauder S.S., M.Mse., DEA menjelaskan kerapuhan eksistensi budaya Indonesia kini juga berhubungan dengan bahasa daerah. Diperkirakan sebanyak 266 bahasa daerah berstatus lemah dan 75 di antaranya berstatus sekarat. 

Sayangnya, kondisi kebahasaan itu jarang disadari oleh masyarakat. Minimnya jumlah penutur, dan tidak adanya sistem tulisan pada bahasa daerah juga menjadi kecenderungan yang muncul pada fenomena kerapuhan eksistensi budaya tersebut.

"Nah, dalam hal ini para ahli bahasa dapat membantu dengan membuatkan ortografi atau sistem ejaan supaya penduduk setempat bisa menuliskan adat istiadatnya, resep kulinernya, atau tata cara tradisi setempat," tuturnya, dalam gelar wicara virtual 'Urgensi Pelestarian Bahasa Daerah Sebagai Kekayaan Bangsa dan Penyokong Bahasa Nasional, yang menjadi rangkaian Festival Bahasa dan Sastra 2021 Media Indonesia, Rabu, (27/10).

Dengan adanya ortografi, lanjut Multamia, bahasa daerah bisa diturunkan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Bahasa daerah yang tidak memiliki ortografi pada gilirannya hanya akan bergantung pada transmisi lisan. Hal demikian dirasa tidak cukup kuat untuk mewariskan bahasa, terlebih dewasa ini juga ada tantangan lain, dimana sebagian orang mulai enggan menuturkan bahasa daerah.

"Untuk apa kita berbahasa daerah lagi? Untuk kerja yang diperlukan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, tidak perlu bahasa daerah. Nah, dia tidak menyadari, bahwa bahasa daerah itu ialah yang menentukan jati diri dia," ujar Multamia.

Multamia menyadari usaha mempertahankan eksistensi bahasa daerah bukanlah perkara yang mudah. Perlu adanya kesadaran dan pemahaman si penutur. Meski begitu, ia juga menjelaskan bahwa punahnya bahasa daerah berakibat pada hilangnya kekayaan warisan bangsa. 

Dalam paparannya, Multamia menjelaskan bahwa bahasa daerah yang jumlah penuturnya, sekurang-kurangnya 1000 orang, dapat dikategorikan sebagai bahasa yang masih memiliki daya hidup dan masih mungkin untuk direvitalisasi. Kurang dari 1000, proses revitalisasi akan terasa berat karena transmisi bahasa daerah dari generasi orangtua pada anak akan sangat minim.

Untuk langkah konservasi ini, hal lain yang tidak boleh dilupakan ialah kompleksitas situasi kebahasaan yang ada di Indonesia. Jika ditangani secara sporadis, kata Multamia, semua bahasa daerah yang semula terancam punah akan lebih cepat sekarat sehingga menuju kematian bahasa.

Sebagai upaya percepatan, lanjutnya, revitalisasi bahasa daerah dapat dimulai dengan bahasa sekarat terlebih dahulu, yang dari segi penutur, dapat dimulai dengan komunitas yang bertutur di bawah 500 orang. 

"Saya juga berterimakasih ke Badan Bahasa yang telah menyelesaikan pemetaan bahasa daerah. Tetapi yang saya inginkan itu juga penelitian sastranya setara dengan penelitian bahasa di seluruh Indonesia. Kalau kita bisa menemukan, dan mendeteksi di seluruh Indonesia ada 718 bahasa, minimal kita juga bisa mendapatkan informasi 718 sastra daerah. Sehingga kita betul-betul mendapatkan khazanah budaya itu secara komperhensif," imbuhnya. (M-2) 

BERITA TERKAIT