26 October 2021, 05:15 WIB

Ternyata Hal Ini yang Memicu Kerusakan Bahasa


Galih Agus Saputra | Weekend

MI
 MI
Suasana gelar wicara daring Journalist on Duty di Instagram Media Indonesia. 

Potensi keterancaman bahasa selalu berkelindan dengan keterancaman bahasa akibat dari pilihan bahasa (linguee choice). Dalam konteks kebudayaan secara umum, pilihan-pilihan demikian memang selalu ada di semua lini kehidupan, tak terkecuali pada bahasa.

Fenomena demikian menurut Akademisi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Brawijaya, Sonny Sukmawan juga tengah dihadapi generasi penerus bangsa Indonesia, terutama mereka yang tergolong sebagai generasi muda. Permasalahannya adalah, apakah pilihan-pilihan itu memberikan sokongan yang kuat untuk pemertahanan bahasa atau justru mengancam?

"Kita bisa membuat kesimpulan bersama bahwa globalisasi hingga perkembangan teknologi informasi memiliki peluang besar untuk mengancam eksistensi bahasa apapun. Namun, kita harus yakin sebenarnya, kalau istilah Jawa-nya empan papan (sadar akan kedudukan -red), menggunakan bahasa dalam konteks yang tepat, saya rasa apapun pilihan bahasa kita akan saling menguatkan, bisa berjalan bersama," tuturnya.

Sonny yang pada kesempatan ini menjadi pembicara dalam diskusi 'Bahasa Daerah nan Hampir Punah' sebagai rangkaian dari Indonesia Sejati: Festival Bahasa dan Sastra menambahkan, keterancaman bahasa dewasa ini juga didukung faktor utama yakni bad language (bahasa yang buruk).

"Ini adalah hal yang serius, yang mana dapat ditemukan dalam konteks komunikasi sehari-hari, baik lisan maupun tulis. Yang paling sederhana, yang paling sering kita gunakan adalah bahasa gawai. Misalnya, ketika kita menggunakan pronomina sapaan untuk diri. Kita menggunakan 'a' dan 'q', 'aq', 'akika', dan seterusnya, nah ini adalah bentuk-bentuk awal ancaman bahasa," imbuh Sonny, dalam diskusi yang disiarkan lewat program Journalist on Duty, di Instagram Media Indonesia, Senin, (25/10) itu.

Bagi Sonny, bahasa demikiian tidak masalah jika penggunaannya berada dalam tataran intim. Permasalahan terlihat bila bahasa demikian dibawa dalam konteks yang lebih luas atau formal. Wilayah rambat teknologi komunikasi yang ada dewasa ini juga dirasanya turut memperkuat potensi kerusakan bahasa.

Meski demikian, Sonny menjelaskan bahwa saat ini kita masih memiliki optimisme dan harapan, dari masyarakat adar di berbagai daerah. Sejauh yang ia amati, upaya mempertahankan bahasa yang terintegrasi itu hampir dilakukan secara keseluruhan oleh masyarakat adat, di mana salah satu contohnya dapat dilihat dari keberadaan masyarakat Tengger, yang hidup kawasan pegunungan Bromo, Jawa Timur.

Sampai hari ini, kata Sonny, masyarakar Tengger masih bersedia dan setia menjalankan setiap budaya, salah satunya bahasa daerah dalam konteks tutur sehari-hari, bahkan dalam konteks tutur ritual. Apa yang menjadi rahasia kebertahanan bahasa Jawa atau dialek Tengger itu adalah kesediaan dan kesetiaan orangtua yang mentransmisikan bahasa mereka kepada anak-anak. 

"Kita berbicara Tengger sebagai sebuah wilayah yang dulu pernah 'terisolasi', walapun sekarang sangat terbuka. Kita berbicara sebuah komunitas tutur yang sangat terbatas dan sederhana. Kita tidak berbicara di kota. Kita tidak berbicara di daerah 'maju'. Tantangannya kurang lebih seperti itu," kata Sonny, memberikan sedikit gambaran komunitas yang selama ini menjadi bahan kajiannya.

Dalam pandangan Wakil Ketua Panitia Indonesia Sejati: Festival Bahasa dan Sastra, Soelistijono, bahasa daerah sendiri pada dasarnya merupakan akar dari bahasa nasional. Ketika berkunjung ke daerah timur, misalnya, maka seseorang akan segera melihat masyarakat yang memiliki Bahasa Indonesia yang sangat bagus, baik dari logat hingga struktur yang enak didengar.  

Sementara jika dilihat dari kacamata Antropolog Koentjoroningrat, katanya, bahasa bisa menjadi salah satu cara untuk mengenal masyarakat, misalnya, masyarakat Jawa. Bagaimana orang Jawa itu bersikap bisa dilihat dari bahasanya. 

"Bahasa juga bisa diambil makna atau manfaatnya begitu membuat kebijakan. Sebenarnya, kalau pembuat kebijakan mengerti bahasa yang ada di Jawa Tengah atau Timur, itu bisa menilai dari situ. Aspek budaya sangat penting. Dengan memahami budaya suatu komunitas, kita akan bisa memahami bagaimana nilai-nilai yang dikembangkan masyarakat itu. Jadi ada makna yang bersifat konservasi atau mungkin untuk tindakan yang lebih ke arah pelestarin. Itu yang harus kita lihat mengapa bahasa daerah itu penting untuk terus kita kembangkan atau lestarikan," terangnya.

Kehilangan masa lalu

Bagi Sonny, kehilangan bahasa daerah berarti kehilangan masa lalu. Padahal masa lalu sendiri ialah koordinat untuk memahami masa sekarang. Dari masa lalu, bahkan kita akan belajar untuk tidak melakukan kesalahan di masa datang.

Sederhananya, lanjut Sonny, dalam konteks bahasa Jawa atau bahasa daerah lainnya, bahasa menjadi media untuk menyampaikan gagasan. Tetapi di samping menyampaikan gagasan, bahasa daerah ini juga mengajarkan bagaimana si pemakai untuk bertata krama. 

"Mungkin dalam pandangan pragmatis, misalnya, tingkatan dalam bahasa Jawa atau dikenal Udho Usuk itu adalah tingkat tutur yang tidak efektif sebagai sarana penyampaian ide. Ada yang mengatakan rumit, feodal, tidak familier, tidak gaul, tapi bahasa Jawa mengandung ajaran bahwa mereka yang memakai dapat mengendalikan emosinya karena tingkatan tutur itu benar-benar tidak efektif untuk ekspresi marah," terangnya.

Dalam konteks nasional, menurut Sonny, bahasa daerah ialah salah satu pemasok bahasa terbesar. Sayangnya, kadang kala kita kerap mengambil jalan pintas ketika berusaha memperkaya kosa kata.

Model yang dipakai umumnya ialah adaptasi, penyesuaian ejaan, atau bahasa yang bukan bahasa lokal. Maka dari itu, ke depan, ia berharap agar bahasa Indonesia lebih bernuansa atau bermuatan kedaerahan, lokal, dan bukan 'ke-Inggris-inggrisan'

Soelistijono menambahkan, bahasa Indonesia dan daerah dalam keluarga harus berjalan beriringan. Sebab di dalamnya ada aspek pelestarian dan kemajuan bahasa yang saling melengkapi.

Persoalan demikian tahun ini juga menjadi bagi bagian dari tema Indonesia Sejati dalam festival bahasa dan sastra yang diselenggarakan Media Indonesia. Menurut Soelistijono, Indonesia Sejati dipilih sebagai tema karena didorong kesadaran bahwa keragaman bahasa daerah yang dimiliki Indonesia banyak sekali.

"Badan bahasa menyebutkan sekitar 700 lebih bahasa daerah yang dimiliki, dengan tingkat kerawanan masing-masing. Mulai dari yang hampir punah, sekarat, punah, dan ada yang sangat eksis. Nah, itu penting sekali, karena kalau kita lihat bahasa Indonesia itu ditopang keragaman bahasa yang mewujudkan bahasa nasional. Sejatinya Indonesia seperti ini," tutur Soelistijono.

Adapun Indonesia Sejati: Festival Bahasa dan Sastra sendiri pada kesempatan ini digelar Media Indonesia dengan berbagai macam acara. Ada sayembara cerpen untuk para pelajar, mahasiswa, dan umum. Selain itu juga ada lelang puisi tulisan tangan para penyair, dan rangkaian gelar wicara dengan topik bahasa daerah. Puncak Indonesia Sejati: Festival Bahasa dan Sastra berlangsung pada 29 Oktober mendatang. (M-2) 

BERITA TERKAIT