Tak bisa dipungkiri, Simone de Beauvoir dimafhumi dunia sebagai ikon feminis terkemuka. Tak hanya itu, ia juga dilabeli sebagai intelektual, filsuf eksistensialis, aktivis politik, dan ahli teori sosial. Risalahnya yang sangat terkenal berjudul The Second Sex diterbitkan pada 1949. Di dalamnya ada mantra yang populer di kalangan feminis 'One is not born, but rather becomes, a woman'.
Pada masanya, de Beauvoir menjadi inspirasi banyak orang atas kehidupan cintanya yang sangat tak konvensional. Ribuan pria dan perempuan berkirim surat padanya untuk meminta nasihat tentang seks dan seksualitas.
Ada sekitar 20.000 surat yang menjadi bukti Simone de Beauvoir memicu emosi dunia. Bukan sekedar surat penggemar biasa, layang itu menyiratkan tema yang sangat intim. Pembaca tulisan (pengagum) de Beauvoir meminta pandangannya dalam segala hal, mulai dari pernikahan, simpanan, disorientasi seksual, seks, aborsi, hingga perselingkuhan.
Memang kehidupan seorang de Beauvoir jauh dari kata sederhana. Itu pula yang membuat pada pembacanya mengadukan masalah mereka. Seringkali berupa rahasia terdalam yang dianggap tabu.
Salah satunya, seorang perempuan Inggris berusia 36 tahun mengiriminya surat yang berisi pengakuan mengejutkan. Surat itu bertahun 1962, lima tahun sebelum homoseksual didekriminalisasi di Inggris.
“Saya adalah apa yang disebut cabul, lesbian. Teman saya dan saya telah saling mencintai selama bertahun-tahun. Bisakah Anda memberi saya nama dokter yang dapat melakukan operasi bedah untuk mengubah saya menjadi seorang pria?" ungkap perempuan itu.
Jauh sebelum aborsi didekriminalisasi di Inggris pada 1967, seorang perempuan menulis Teriakan Putus Asa usai menjalani operasi ilegal di atas meja "kotor".
Korespondensi antara de Beauvoir dengan para audiensnya itu terungkap berkat riset yang dilakukan ahli sejarah di University of Texas, Judith Coffin. Dia menemukan surat-surat intim itu di Bibliothèque Nationale de France di Paris saat melakukan penelitian tentang The Second Sex.
Coffin menyebut de Beauvoir sebagai sosok yang sangat menghargai pembacanya dengan menyimpan surat-surat mereka. Coffin menyebut arsip surat itu sebagai "artefak budaya abad ke-20".
“Penulis mendapatkan surat, tetapi mereka tidak selalu menyimpannya. Ini adalah ilham, betapa dia peduli dengan pembacanya, mengapa dia menyimpan semua surat ini,” terang Coffin.
De Beauvoir adalah intelektual brilian sekaligus "bibi" yang teramat perhatian. Coffin mengaku terkejut saat mendapati sepertiga dari surat itu berasal dari pria. Padahal, de Beauvoir adalah tokoh feminis yang menentang wacana maskulinitas.
Coffin seringkali mendapati materi surat yang terlalu pribadi. Ia ngeri saat mengenali salah satu penulis surat sebagai ayah dari teman dekatnya. Ayah temannya ternyata menulis 10 halaman surat pada 1964 yang menceritakan kehidupan pribadinya yang gagal, menyimpan gundik yang usianya jauh lebih muda, dan cemburu ketika selingkuhannya selingkuh. Itulah sebabnya, Coffin menahan diri untuk tidak mengidentifikasi pengirim surat.
De Beauvoir diketahui menolak ikatan pernikahan, meski ia berhubungan dengan filsuf asal Prancis, Jean-Paul Sartre, sepanjang kurang lebih enam dekade. Penolakan itulah yang menginspirasi banyak surat.
"Anda adalah model bagi kita semua. Cinta tanpa kepicikan, tanpa kecemburuan," tulis seorang koresponden dalam suratnya.
Penulis surat berasal dari semua lapisan masyarakat, dari pekerja pabrik hingga dokter. de Beauvoir meninggal pada 1986, tetapi pembacanya masih menulis surat kepadanya. Surat-surat itu diletakkan di makam de Beauvoir di Montparnasse Paris. (WashingtonPost/M-2)