Dampak rendahnya pemahaman atas nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika mengakibatkan seseorang tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber. Selain itu, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah pada segregasi sosial atau perpecahan atau polarisasi di ruang digital.
"Selain itu, tidak mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital, membedakan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi," tutur Pengajar IT SMKN 13 Pandeglang Muhamad Abduh, dalam diskusi literasi digital yang digelar Kominfo, dalam keterangan tertulisnya, Mingu (30/7).
Ia mengatakan, era banjir informasi membawa serta kotoran berupa sampah seperti hoaks, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik. Kehadiran sampah informasi itu akan membuat tersumbatnya arus komunikasi yang sehat antar-individu, dan dalam skala tertentu mampu meruntuhkan keutuhan dan kesatuan bangsa.
Baca juga: Pemilu tidak Boleh Lagi Memecah Persatuan Bangsa
Adapun motivasi penyebaran hoaks di media sosial dan aplikasi percakapan, menurut Muhamad Abduh, bisa karena sekadar partisipasi, butuh pengakuan, motif ekonomi, provokasi, dan propaganda. "Dari kelima alasan, motif provokasi dan propaganda dianggap paling membahayakan persatuan bangsa," imbuhnya.
Dalam diskusi luring bertajuk 'Menghidupi Persatuan Indonesia: Jangan Mudah Terprovokasi di Era Luapan Informasi' itu, Muhamad Abduh juga memberikan cara mengidentifikasi hoaks, seperti biasanya menggunakan judul yang bombastis, menggunakan alamat website yang mirip dengan media besar, dan ada unsur pencocokan atau cocokologi.
"Lalu, tidak mencantumkan nama penulis, mencatut tokoh dan institusi terkenal, Too Good To Be True, meminta untuk di-share dan diviralkan, serta memanipulasi foto dan keterangan gambar,” rinci Muhamad Abduh.
Baca juga: Kecakapan Digital Diperlukan agar Aman saat Berselancar di Internet
Dari perspektif berbeda, Plt Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik (Diskomsantik) Kabupaten Pandeglang R Gunara Daradjat menegaskan, mudahnya orang mendapatkan informasi dan komunikasi harus diimbangi dengan menjaga etika digital.
"Perkembangan era digital ini memudahkan orang untuk mengakses informasi. Adanya etika digital membantu seseorang untuk mengarahkan sikap dan perilaku. Etika menjadi sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan individu atau kelompok untuk berbuat baik," jelas Gunara.
Menurut Mom influencer Ana Livian, provokasi atau hasutan hanya akan membuat orang terpancing untuk marah. Hasutan juga dapat berujung pada amuk massa, bahkan pertumpahan darah. Untuk itu, demi persatuan bangsa, ia meminta masyarakat menghindari provokasi.
"Cek kembali kebenaran informasi, berpikir logis, waspada dengan orang yang terindikasi merusak, fokus pada pemikiran yang positif, atur emosi sertai dengan doa, hindari kampanye hitam politik, blokir dan laporkan akun meresahkan, serta sebarkan berita baik dan informasi literasi digital,” sebut Ana Livian.
Untuk diketahui, diskusi literasi digital pada lingkup komunitas merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam program Indonesia #MakinCakapDigital (IMCD). IMCD diinisiasi Kemenkominfo untuk memberikan literasi digital kepada 50 juta orang masyarakat Indonesia hingga 2024. (Z-6)