GENERASI muda yang terlahir di era digital harus menyadari bahwa multikulturalisme atau keberagaman budaya di ruang digital tidak dapat diabaikan dan harus dihargai. Upaya peningkatan kecakapan digital harus terus dilakukan agar warga digital dapat memetik lebih banyak manfaat positif dan terhindar dari dampak negatif digitalisasi.
Hal tersebut menjadi perbincangan dalam webinar tentang “Generasi Muda Tebar Demokrasi dan Toleransi di Ruang Digital”, Selasa (30/8), di Makassar, Sulawesi Selatan, yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin Sartika Sari Wardanhi menjelaskan, hak digital adalah hak mengekspresikan diri secara aman, privat, terjamin dan sustainable di dunia digital. Selain itu juga dikenal freedom of net, yakni sebuah kebebasan dalam menyuarakan pendapat melalui internet.
“Demokrasi yang baik dan ideal adalah demokrasi yang menjamin kebebasan sekaligus menuntut pertanggungjawaban setiap warga negara atas setiap perkataan dan tindakannya di dalam berdemokrasi. Jadi, ketika ada hak pasti muncul kewajiban juga,” ujarnya.
Sartika pun mengingatkan agar saat berselancar dan berinteraksi di dunia digital harus tetap ingat norma dan kaidah yang berlaku. Selain itu, berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sayangnya, banyak yang abai dan hal itu terlihat dari maraknya kasus kejahatan siber. Berdasarkan data Kepolisian RI atau Polri, pada April 2020-Juli 2021 tercatat sebanyak 973 kasus kejahatan siber yang didominasi kasus provokatif, konten kebencian dan ujaran kebencian.
“Ini menjadi track record buruk karena bermedia sosial bukannya memberikan faedah seperti memudahkan mendapat informasi dan berkomunikasi, namun ternyata dampak negatifnya ada dan karenanya harus lebih bijak memanfaatkan teknologi informasi ini untuk menghindarkan hal-hal buruk seperti ujaran kebencian tadi,” tuturnya.
Ketua bidang Ekonomi Digital dan UMKM Sobat Cyber Indonesia Muhammad Miqdad Nizam Fahmi menambahkan, berdasarkan data Hootsuite dan We Are Social bulan Februari 2022, penggunaan internet dan media sosial (medsos) di Indonesia berkisar 8 jam 36 menit per orang per hari.
Ironisnya, porsi waktu terbanyak digunakan untuk bermedsos yaitu 3 jam 12 menit, sedangkan untuk membaca atau literasi hanya sekitar 1 jam 47 menit.
“Ini kan timpang, internet yang harusnya bisa dipakai untuk mencari informasi dan belajar tapi ternyata paling besar untuk bermain medsos. Ini harus disadari dan bersama-sama kita mengevaluasi diri,” tukasnya.
Dia melanjutkan, Indonesia akan mengalami bonus demografi pada kurun tahun 2030-2040, yaitu kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan mendominasi. Indonesia harus berkaca pada Jepang yang juga pernah mengalami bonus demografi pada 1950 dan bisa memanfaatkannya dengan baik. Sehingga, ketika bonus demografi berakhir pada 1970, Negeri Matahari Terbit tumbuh melejit menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Uni Soviet.
Baca juga : Ini Cara Unduh Video Youtube Mudah Antiribet Tanpa Aplikasi
“Lalu apakah Indonesia juga akan mampu punya perekonomian yang sama dengan Jepang? Itu tergantung kita. Untuk itu, ayo mulai dari yang paling kecil, bangga dengan budaya lokal, tonton budaya lokal. Kalau kreatif, buat konten di YouTube dan akun Instagram yang isinya budaya lokal, agak receh tidak apa-apa, yang penting nilai-nilai budaya lokal dipertahankan dan tidak melanggar norma,” tandasnya.
Pemeriksa Fakta Senior Bentang Febrylian menyoroti maraknya peredaran hoaks alias kabar bohong, di mana berdasarkan survei dailysocial, 44% responden mengaku sulit mendeteksi hoaks. Istilah hoaks sendiri berasal dari kata hocus yang berarti mengelabui.
Bentang mengingatkan akan dampak dari hoaks yang bisa memicu perpecahan dan membingungkan.
“Kita masuk di era post truth, era pasca kebenaran di mana seseorang seringkali mempercayai sebuah informasi meskipun informasi tersebut tidak berdasarkan fakta atau data tapi lebih ke kedekatan emosional. Misalnya hanya melihat latar belakang atau karena saudara,” tuturnya.
Dia melanjutkan, hoaks juga bisa memicu ketakutan, misalnya hoaks yang berkaitan dengan penculikan anak, gempa dan tsunami susulan. Selain itu, hoaks juga membuat fakta sulit dipercaya, menurunkan reputasi, hingga memakan korban jiwa.
Ada beberapa tips cara membedakan informasi yang benar dan hoaks, antara lain selalu perhatikan URL-nya, pastikan judul dan isinya berhubungan, periksa waktu pemberitaan, periksa foto dan video yang disematkan, teliti sumber asli, dan bandingkan dengan sumber lain.
“Masih banyak masyarakat yang terkecoh dengan URL yang mendompleng media-media arus utama, misalnya kompas.blogspot.com,” ungkapnya.
Dengan hadirnya program Gerakan Nasional Literasi Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI diharapkan dapat mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif.
Kegiatan itu khususnya ditujukan bagi para komunitas di wilayah Sulawesi dan sekitarnya yang tidak hanya bertujuan untuk menciptakan Komunitas Cerdas, tetapi juga membantu mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih unggul dalam memanfaatkan internet secara positif, kritis, dan kreatif di era industri 4.0.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama GNLD Siberkreasi juga terus menjalankan program Indonesia Makin Cakap Digital melalui kegiatan-kegiatan literasi digital yang disesuaikan pada kebutuhan masyarakat. (RO/OL-7)