31 January 2023, 21:01 WIB

Peran dan Posisi Penyiaran dalam Membangun Industri Sepak Bola Indonesia


mediaindonesia.com | Sepak Bola

MI/HO
 MI/HO
Pengamat sepak bola nasional Sigit Nugroho

PENGAMAT sepak bola nasional Sigit Nugroho mengatakan siaran sepak bola di Indonesia berperan penting membangun kemajuan sepak bola Indonesia, terutama dalam mendorong industri kreatif tanah air.

Hal itu dikatakan Sigit Nugroho saat memberikan keterangan k di acara seminar nasional bertajuk “Pembenahan Industri Sepak Bola Indonesia: Ekonomi dan Pembangunan Industri Kreatif” di Sutan Raja Hotel and Convention Centre, Bandung, Selasa (31/1).

Menurut Sigit, saat ini, potensi siaran sepak bola belum dimaksimalkan secara baik. Ia mencontohkan sistem pembayaran Liga 1 Indonesia oleh stasiun televisi yang dinilai sangat mahal, tetapi tidak dibarengi dengan pembangunan industri sepak bola. 

Baca juga: Lima Calon Ketua Umum PSSI Lolos Verifikasi

Dikatakan Sigit, pada awalnya, siaran sepak bola Indonesia tidak begitu menjanjikan dan kurang menarik. Namun, saat ini, keberadaan siaran sepak bola mulai dilirik para pengusaha dan stasiun televisi beramai-ramai membeli hak siar dengan nilai yang tinggi. 

“Mungkin saya perlu mengawali dengan fase pertama ketika siaran sepak bola di liga Indonesia itu sangat tidak bernilai. Jadi, klub-klub harus membayar stasiun TV hingga muncullah angka Rp10 miliar untuk pertama kali. Namun, harga tersebut melonjak naik hingga Rp100 miliar dan sekarang harganya signifikan naik hampir Rp230 miliar,” kata Sigit

Lanjut Sigit, naiknya nilai siaran televisi sangat baik, namun jika tidak dibarengi dengan industri yang baik maka sepak bola Indonesia akan jalan di tempat. Pasalnya, kemajuan industri sepak bola ikut ditentukan oleh pasar, dengan pasar dalam sepak bola adalah suporter. Untuk itu, ia menilai jika suporter tidak dibenahi, industri sepak bola pun akan ikut berdampak buruk. 

“Jadi angka ini sebenarnya bagus tetapi menjadi kurang bagus ketika tidak dibarengi dengan bangunan industri yang baik. Artinya mereka hanya bicara bagaimana sales pelaku sponsor, tetapi tidak mengedukasi pasar atau apa yang mau didagangkan, sepak bola bisa didagangkan tetapi suporternya tidak dibenahi dengan baik,” ujarnya.

Terkait suporter yang menjadi bagian dari industri sepak bola, Sigit mengakui PSSI selaku organisasi induk sepak bola Indonesia belum maksimal menanganinya. 

Padahal, sebagai orang pertama yang mendeklarasikan suporter sepak bola Indonesia, Sigit mengaku sudah memberikan banyak masukan kepada PSSI, namun masukan-masukan tersebut tidak diindahkan pengurus PSSI. 

“Memang sudah ada departemen suporter di PSSI, tetapi, menurut hemat saya yang berkecimpung mengurus suporter sejak awal, boleh dibilang generasi kesatu sepak bola Indonesia, saya melihat belum ada perbaikan yang signifikan dari pergerakan bagaimana mengatur, mengedukasi suporter. Apakah materi yang diberikan kepada PSSI itu menetes sampai ke bawah, saya tidak melihat itu,” ucapnya.

Selain itu, Sigit juga menyoroti pengaturan jam tayang liga 1 Indonesia yang diduga syarat dengan kepentingan bisnis tetapi mengabaikan keselamatan pemain dan suporter. 

Buat Sigit, waktu tayang tidak terlalu bermasalah asalkan pihak penyelenggara bisa memitigasi potensi terjadinya kericuhan di stadion seperti yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 135 orang. 

“Soal tragedi Kanjuruhan mungkin kita bisa memilah satu persatu, jadi tidak selalu lapangan yang mungkin dianggap jadul, itu tidak layak untuk jadi bahan tayangan sepak bola yang baik, memang sebaiknya terstruktur tetapi ketika materi yang ada seperti itu sebenarnya itu bisa dimitigasi,” ungkap Sigit.

“Ketika ada problem yang sudah kelihatan di depan mata ya dimitigasi, diubah apakah jamnya, apakah pengamanan, SOP-nya, menurut saya sangat buruk. Kita memiliki hanya satu orang yang memiliki lisensi security dari FIFA dan itu tidak dimaksimalkan sayang sekali ya, Pak Nugroho namanya,” sambungnya.

Dijelaskan mantan komentator Liga Premier Indonesia (LPI) ini, dengan pengalaman dan pengakuan FIFA itu tidak dimanfaatkan oleh PSSI dalam memitigasi potensi-potensi terjadinya konflik antar suporter saat pertandingan big mathc antar dua klub yang menjadi rival, seperti Arema FC kontra Persebaya atau Persija Jakarta kontra Persib Bandung. 

“Jadi dia ini punya sertifikasi yang luar biasa yang sebenarnya bisa dimanfaatkan, bagaimana kerusuhan suporter itu bisa terjadi dia bisa mengalkulasi dari awal, oh berarti kita harus geser jamnya, oh berarti big match tidak boleh ada penonton tamu, atau oh berarti seandainya ada,” jelasnya. 

Sigit pun mencontohkan laga-laga big match antar Boca Junior dan River Plate di Liga Argentina. Dua tim ini dikenal sebagai musuh bebuyutan namun kedua suporter klub bisa nonton berberangan tanpa ada kerusuhan, karena pihak penyelenggara liga mampu mengelola sepak bola dengan baik dan melibatkan semua unsur yang dinilai memiliki kompetensi dalam penanganan masalah tersebut. 

“Saya pernah ke Argentina nonton yang namanya Boca Junior dengan River Plate, dua suporter yang bermusuhan, rivalitasnya luar biasa tapi bisa nonton bareng. Saya belajar apa sih sebenarnya, ternyata pola pengamanannya. Jadi setengah jam selesai pertandingan mereka keluar, tapi yang satu nggak boleh keluar ke mana-mana sampai dikawal helikopter sampai bersih,” bebernya. 

Untuk itu, kata Sigit, banyak cara yang bisa dilakukan PSSI dalam memitigasi terjadinya kerusuhan antar suporter di stadion maupun di luar stadion. 

Hal itu, kata Sigit, bisa dilakukan dengan cara pengarahan tentara atau polisi untuk pengamanan di luar stadion. 

“Ini kan sebenarnya bukan hal yang sulit, kita punya tentara banyak, punya polisi banyak bisa dilakukan itu. Tetapi saya berkali-kali menulis tapi tidak masuk di ke PSSI. Saya sarankan perlunya fokus grup supaya kasus-kasus apapun, apakah itu teknis ataupun non teknis yang bisa dibahas. Kita mengambil komparasi dari sepak bola luar sehingga lebih maju dan saya pikir itu akan lebih positif bagi Indonesia,” jelasnya lagi.

Atas dasar itu, Sigit mengakui kehadiran Forum Akademisi Penggemar Sepak Bola Indonesia (FAPSI) sangat tepat, karena sejauh ini belum ada institusi yang berani membahas secara jelas permasalahan sepak bola Indonesia.

“Saya mengapresiasi sekali, karena jarang sekali satu institusi yang berani mengupas masalah ini," jelasnya

Secara segmented, lanjut Sigit, jika bicara secara akademis mungkin banyak orang tidak suka, tetapi apa yang akan disampaikan ini saya yakin memberikan kontribusi yang besar. 

"Karena masing-masing punya latar belakang yang kuat dengan materi apa yang disampaikan, jadi saya pikir ini perlu disupport oleh PSSI dan perlu diapresiasi,” tandasnya. (RO/OL-1)

BERITA TERKAIT