10 January 2023, 14:30 WIB

Siklus Sepak Bola Indonesia: Terus Gagal Juara karena PSSI Bobrok


Akmal Fauzi | Sepak Bola

BAY ISMOYO / AFP
 BAY ISMOYO / AFP
Suporter sepak bola Indonesia saat hadir di Stadion GBK pada Semifinal leg pertama melawan Vietnam.

ADA siklus di sepak bola Indonesia. Ketika gagal juara, muncul desakan pelatih harus mundur, diikuti kritik kebobrokan pengurus PSSI. Kritikan berlanjut ke kualitas kompetisi yang buruk.

Namun, ketika ada turnamen atau kejuaraan lain yang akan diikuti timnas Indonesia, kritikan itu menghilang. Lalu, Indonesia kembali gagal jadi juara, kritikan itu pun muncul kembali. Terus berputar seperti itu. Tak ada perubahan.

Di Piala AFF 2022, Indonesia gagal melaju ke final usai takluk dari Vietnam di semifinal dengan agregat 0-2. Capaian yang menurun dari edisi 2020 saat skuad Garuda melaju ke final namun kalah dari Thailand. Saat itu, kritikan ke timnas Indonesia persis terjadi seperti saat ini.

Shin Tae-yong yang belum pernah mempersembahkan trofi untuk Indonesia dituntut mundur. Kemudian kritikan mengarah ke kualitas kompetisi yang buruk, penuh intrik hingga persoalan pembinaan usia muda. Ujungnya, Revolusi PSSI.

Pengamat sepak bola sekaligus Koordinator Save Our Soccer (SOS), Akmal Marhali menilai siklus itu akan terus berlanjut karena tidak ada perubahan yang terjadi di sepak bola Indonesia. Menurutnya, Liga 1, Liga 2 dan Liga 3 hanya sekedar jalan. Regulasi yang berbelit hingga kualitas wasit yang buruk jadi persoalan.

Berdasarkan data dari Footyrangkings, peringkat kompetisi sepak bola di Indonesia ada di urutan ke-26 Asia atau ke-12 untuk Zona Timur. Peringkat itu jauh dari Thailand (posisi 4 Zona Timur) dan Vietnam (posisi 6 Zona Timur).

“Sepak bola kita sudah semakin tertinggal. Bahkan sebantar lagi kita bisa saja disalip Kamboja, Myanmar dan Laos,” kata Akmal saat dihubungi, Selasa (10/1).

Baca juga: Ini Penyebab Kekalahan Indonesia dari Vietnam, Menurut Shin Tae Yong

Tak hanya itu, kualitas kompetisi juga buruk akibat intrik yang terjadi termasuk persoalan pengaturan skor. Indonesia harus berkaca dari Vietnam yang masyarakatnya juga sangat fanatik dengan sepak bola. Akmal mengatakan, pada era pertengahan 2000-an, kasus perjuadian dan pengaturan skor marak terjadi di Liga Vietnam. Namun perlahan mereka berbenah dengan memperbaiki kualitas kompetisi dan pembinaan usia muda.

Soal pembinaan usia muda, Akmal menyebut Indonesia sangat lemah. Di level SSB yang harusnya diajarkan sisi teknik justru sudah ditanamkan lebih mengedepankan juara. Pemain usia muda seriing dieksploitasi berlebihan, apalagi ketika mereka meraih gelar di level kelompok umur. “Setelah juara, mereka habis ketika masuk ke senior. Tidak berkembang,” kata Akmal.

Akibatnya, naturalisasi jadi langkah cepat yang diambil. Kendati demikian, pemain naturalisasi menurut Akmal tidak memberikan solusi. Hal itu terlihat dalam laga melawan Vietnam kemarin. Kehadiran Jordy Amat yang dinilai mampu bertahan dengan baik bermain tidak padu dengan pemain lainnya.

Kelemahan itu juga dilihat pelatih Vietnam Park Hang-seo. Menurut pelatih Korea Selatan itu, tiga bek sejajar yang diisi Jordy Amat, Rizky Ridho dan Fachruddin Aryanto jadi kelemahan skuad Garuda dari hasil analisis yang dilakukan bersama tim pelatih. Tim berjuluk Prajurit Bintang Emas itu kerap mengeksploitasi lini pertahanan Indonesia lewat umpan lambung langsung ke belakang bek Indonesia.

Gol pertama Nguyen Tien Linh pada menit ke-3 berawal dari umpan lambung kapten timnas Vietnam, Do Hung Dung. Nguyen Tien Linh sudah berlari membuka ruang di antara dua bek tengah timnas Indonesia, Jordi Amat dan Rizky Ridho. Dia sukses mengontrol bola di kotak penalti dan melepaskan tembakan kaki kanan.

“Kami memasang dua striker, menyerang (mengirim bola) ke titik di antara bek, dan mencoba memperebutkan bola di sana. Ruang belakang timnas Indonesia cukup lemah. Kami mengeksploitasi titik itu dan kita bisa lihat Tien Linh mencetak gol (pertama)," kata Park Hang-seo dilansir Zingnews.

Impian Indonesia menjadi juara Piala AFF untuk pertama kalinya kembali pupus. Momentum Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada 16 Februari mendatang untuk mengganti ketua umum dan anggota eksekutif diharapkan bisa memulai perbaikan sepak bola Indonesia. Jangan ada lagi siklus gagal juara, kritik dan Revolusi PSSI. (OL-4)

BERITA TERKAIT