Ilustrasi: Grant Fuhst
Bohongi Saja Diriku
Bohongi saja diriku
berikan aku janji palsumu
suguhi senyum di topengmu.
Bohongi saja diriku
kejujuran membuatku pilu;
jika ketulusan akan pisahkanku darimu
itu artinya aku harus rela melepasmu.
Bohongi saja diriku
sebab aku telah kehilangan
diriku dalam kebohonganmu
kini aku, ialah aku, untukmu.
Tanpamu, aku serupa tungku tanpa api
tanpamu, aku bagai pena tanpa tinta
tanpamu, apa aku tetap jadi diriku?
Juni 2022
Pantai
Rumahku di pantai,
tempat aku duduk menengadah
mengistirahatkan sejenak resah,
tak mau menghentikan langkah
gontai yang belum jua usai.
Di pantai, kubentangkan hati rapuh
perih merintih, luka-luka sebabkan duka
dengan air laut kubasuh luka yang basah,
belum mengering namun kubawa melangkah.
Di pantai, aku tak pernah duduk sendiri
berdiskusi dengan sepi yang berdiam diri
berdamai dengan dosa, tak pernah terlupa.
Tuhan menunjukkan rumahku di pantai
untuk kembali mengetuk pintu dalam diri
menghibur agar siap melangkah lagi
mengajariku kasih-Nya yang tak bertepi
Rumahku di pantai, kemanapun pergi
aku akan kembali mencari damai di hati.
30 Oktober 2022
Sangsi
Sebesar cintaku padamu, jangan kau sia-siakan
setulus hatiku mengasihimu, jangan kau acuhkan
Kasih tak tahu lagi apakah masih bisa aku beri
tak tahu aku, bisakah aku mencinta sebesar ini
Aku tahu kau pembohong tapi tak kupedulikan
tak setia tapi sekiranya kau baik-baik saja.
Jadi, sadarlah mencintaimu buatku tak merugi
mengasihimu, sama selayaknya diriku sendiri.
Tapi untukmu, jika kau lewatkan ini
aku sangsi kau bisa bertemu sepertiku lagi
1 Juni 2022
Mungkin ini namanya cinta; berpendar namun membakar, lembut namun menusuk, dan suci namun menodai.
Tak Pernah Pergi Walau Tersakiti
Rasanya tepat jika aku melepaskanmu
genggaman ketidakpastian tak berani kuminta lagi
kasih sayangmu amat terasa, namun kau tak pernah tegas.
Rasanya benar jika aku memadamkan saja
harapku yang buta dan keyakinanku membara
kasihku bagimu cukup lama menyala.
Mungkin ini namanya cinta
berpendar namun membakar
lembut namun menusuk
suci namun menodai.
Sudahlah kau tahu aku milikmu
tak terucap, kutahu kau merasakannya
walau ragu, namun tak ada cara menafikannya
Bolehkan aku berdoa;
semoga suatu saat matamu terbuka
aku selalu ada, selalu cinta
tak pernah pergi walau tersakiti
tak pernah marah walau merasa kalah.
Februari 2022
Aku Mungkin Tak Mengertimu
Kalut
apakah cinta itu benar-benar
bisa dirasakan sebelah pihak saja
apakah benar sayang itu
tidak ada arti dari tatapan mata,
sentuhan, tertawaan,
dan kejujuran berbalut canda?
Bimbang
apakah ini hanyalah jalan buntu searah
palsu berkedok harap dan semu berjubah nyata?
Haruskah kubilang saja
bilang satu, bisa hilang dua
diam sekarang, bisa hilang selamanya
memang mahal harganya?
Sepadankah jika dibayar dengan ketenangan hatiku
yang terlanjur kutaruh padamu
segala yang tidak pasti dan
mungkin tidak dimengerti?
11 Agustus 2021
Baca juga: Puisi-puisi Sultan Musa
Baca juga: Puisi-puisi Okki Siolemba
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Dimas Ghazi Purraharjo Mokoginta, lahir di Jakarta, 16 Juli 1991. Menamatkan pendidikan dari University of Melbourne, Australia. Menulis dan membacakan puisi-puisi di sejumlah komunitas, salah satunya pada acara pembacaan puisi bersama Safe Space Indonesia 2023 di Jakarta Selatan. Sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan IT. Ilustrasi header: Grant Fuhst, Black Picture Number Eighteen. (SK-1)