Ilustrasi: Vasily Perov
Boneka
Kami mengeluarkan boneka dari mobil parajurit
menyelamatkan nyawanya dari perang
tiga perwira — para pria pemberani —
meninggalkan ia sendirian di benteng.
Mengikat seutas tali di lehernya;
ia, putus asa untuk melarikan diri
menatap parit-parit yang rusak,
menggigil dingin dalam balutan kimono
ada kayu di tanah perlahan terbakar.
Boneka yang tidak mati ialah tahanan
hari itu, semua orang bisa saja tewas
namun ia ada di sini, seperti boneka…
ketika mengingat kekalahan mereka,
ada rasa pahit, putus asa, dan takut di matanya.
Aku tidak melihat kawah sedalam tiga depa
atau mayat di tungku perapian yang menyala —
aku hanya mendapati celah mata yang sipit,
sanggul rambut yang diikat menjadi simpul,
dan boneka yang tergantung di atas sutra
terpilin-pilin dari balik pecahan kaca.
1939
Tanah Air
Aku melayari tiga lautan luas
terbentang di antara kota-kota
menudungi permadani meridian
yang lebar dan penuh bersahaja.
Namun saat granat terakhir
terangkat di telapak tangan,
sesingkat-singkatnya kau perlu ingat
semua yang tersisa di kejauhan.
Kau tidak ingat negara besar
yang dikunjungi dan dipelajari,
kau hanya ingat tanah airmu —
seperti yang kau lihat semasih kecil.
Tiga birch tumbuh di sebidang tanah,
jalan panjang membentang di luar hutan,
kapal-kapal berderit di sungai kecil,
dan willow rendah sepanjang tepi berpasir.
Di sinilah kita cukup beruntung terlahir,
di mana selama sisa hidup sampai mati,
kita pasti menemukan segenggam tanah subur
untuk melihat tanda-tanda kehidupan di bumi.
Ya, kau dapat bertahan hidup dalam panas,
dalam badai petir, dan dalam cuaca beku.
Ya, kau bisa saja kelaparan dan kedinginan
untuk pergi ke peristirahatan abadimu...
tetapi seumur hidup, kau tidak dapat
mewariskan tiga birch ini kepada siapa pun.
1941
Aku akan datang menemuimu meski diriku harus menanggung hukuman seumur hidup.
Aku, Si Paling Keras Kepala dari Semuanya…
Aku, si paling keras kepala dari semuanya
tidak mengiraukan segala fitnah
tidak mengandalkan jemari sendiri.
Siapa yang memanggilmu "Anda"?
Aku pasti lebih jujur dan
lebih muda dari yang lain
aku tidak ingin dosa-dosamu digunakan
untuk memaafkan atau menghakimi.
Aku tidak memanggilmu "perempuan"
tidak pernah memetik bunga bersamamu
di matamu aku tidak terlihat murni
seperti kekanak-kanakan.
Aku tidak menyesal memilikimu dalam mimpi
aku belum pernah menunggu bertahun-tahun,
sekiranya kau bukan perempuan ideal bagiku
yang datang sebagai diri seseorang yang lain.
Aku tahu lebih baik bermimpi daripada malu
kata-kata licik lebih jujur
sebagai tempat berlindung saat malam tiba
sebab bahasa selalu saja dipenuh kegairahan.
Jikalau memang begitu aku harus menahanmu,
bukan karena ditolak,
namun kau harus mengetahui sosok lain.
Bukan berarti aku belum
menemukan seseorang yang lebih baik,
kau pemalu, begitulah yang terjadi…
tidak perlu mengasihani
jika memang harus begitu.
Aku akan menahanmu,
namun tidak akan melukaimu
memanggil namamu perempuan.
Aku ingin memasuki bola matamu,
namun bukan lingkar biru kosong
bersedih atau bergairah
semua terlahir secara murni.
Bukan dengan bening mata tertutup
bukan pula secara kekanak-kanakan,
namun murni sebagai perempuan
yang insomnia di malam buta…
Takdir menjelma sebuah kemalangaan
aku enggan peduli siapa menghakimi kita.
Aku akan datang menemuimu
meski diriku harus menanggung
hukuman seumur hidup.
1941
Baca juga: Puisi-puisi Anna Akhmatova
Baca juga: Brodsky dan Cinta Tak Sampai
Baca juga: Puisi-puisi Natalya Gorbanevskaya
Konstantin Simonov (Saint Petersburg, 28 November 1915 - Moskwa, 28 Agustus 1979), penyair, penulis, dan dramawan Rusia. Ia menerjemahkan karya-karya sastrawan dunia seperti Ernest Hemingway dan Arthur Miller. Perang menjadi tema utama dalam karya-karyanya sehingga dihadirkannya dalam novel epik berjudul Yang Hidup dan Yang Mati (1959). Simonov mendedikasikan sebuah puisinya berjudul Tunggulah Aku (1941) untuk kekasihnya, aktris Valentina Serova. Puisi itu diadaptasikan ke dalam film dengan judul yang sama Tunggulah Aku (1943) garapan sutradara Alexander Stolper di Studio Central United Film, Almaty, Kazakhstan. Kumpulan puisi terkenalnya Posledneye Leto (Musim Panas Terakhir) diterbitkan kembali oleh Penerbit Ast, Moskwa, 2011. Puisi-puisi di sini dialihbahasakan oleh Iwan Jaconiah, penyair dan editor puisi Media Indonesia. Ilustrasi header: Vasily Perov, Troika (1866), cat minyak pada kanvas, 123,5 х 167,5 cm, koleksi Tretyakov Gallery, Moskwa. (SK-1)