Ilustrasi: Max Savva
Berjalan ke Barat
Kalender mati suri, jangan bertanya
tentang jam, menit, dan detik
hari hari perlahan bergegas
masih terlihat menuju barat.
Pengelana buta aksara,
pembalut luka menganyam duka lara
dalam birunya langit sepi pecandu.
Begitu banyak orang lalu lalang
makin terasa sendirian
ada yang mamanggil namaku;
menjajakan diri dari sudut trotoar kota tua.
Ya, suatu hari tersesat di Warsawa
ransel di bahu, perut diserang kelaparan.
Teruslah berjalan ke barat
petualang tak reda oleh derita para pelintas!
2023
Meminjam Mata Allah
Di balik genderang ada benderang
menyimpan seribu pengharapan
tarian keberkahan merawat dedaunan luruh...
di pantai landai lautan tenang
Kau biarkan aku meminjamnya tanpa cela
jutaan tahun bersusun menentukan ijab bumi
kupinjam mata Allah untuk meneropong diri
dari mana mau ke mana untuk apa?
Mata hati dilimpahi cahaya,
penciuman harum membasuh udara pantai
membelah dada keimanan yang memberikan hidup.
Pada-Mu kugenggam pagi
di pantai benderang yang hening
Duh...
2023
Jangan Bunuh Purnama
Darah mengalir dalam kegelapan
mencari ujung ujung sepi
Purnama terbunuh!
Ada seseorang membawa parang
tak ada yang tahu ke mana arah perginya
kecuali pelambai pemeluk cahaya
tanpa peduli pada sumbernya
Purnama mati tak bernisan!
Orang hanya mengingat kapan ia datang
dan bilamana ia pergi
kematiannya hanya rutinitas
tangisnya beku dalam nafas mempelai
ada yang menyapa lewat puisi, lirik lagu,
dan tembang tembang tua yang memuja
Tak ada yang peduli kapan ia mati
sebab ia sekadar datang dan pergi
2021
Teruslah berjalan ke barat sebab petualang tak reda oleh derita para pelintas!
Sinetron Sambo
Palu hakim diketuk, Sambo mati
orang-orang ejakulasi bersama-sama
lalu bertos dan berlalu dengan riang
tidur pulas setelah hasrat terpuaskan
jaksa dicibir hakim dielu-elukan
layaknya pahlawan pulang perang
dengan bedil memerah
sepertinya bulan penyucian,
kain kafan hukum tergelar di pengadilan Sambo.
Bagaimana nasib artis dan
aktor lainnya dalam sinetron ini?
Sebuah pertanyaan yang sungguh bodoh
peradilan jadi tontonan,
media massa panen raya setiap hari,
atas nama kebebasan menyiarkan berita...
Siapa peduli siapa?
Peradilan sudah jadi tontonan
hukum tiba-tiba jadi pembicaraan
penjaja jamu dan pelacur jalanan
pintu pengadilan dijebol
orang-orang berkaos seragam
menyanyikan lagu untuk tersangka, pujaan hati mereka
seraya mempersembahkan buah tangan tanda cinta.
Para pengompor melepaskan syahwatnya
atas nama kemanusiaan berseliweran di layar kaca.
Lalu di mana kemartabatan lembaga peradilan,
yang kini seolah-olah ada di ketiak media massa
hakim diam-diam menyimak dan memamahinya untuk menjatuhkan putusan
semboyan hukum sebagai lokomotif pembangunan tinggal slogan kosong!
Rasa keadilan anak bangsa
yang selama ini diasuh hukum penjajah,
semakin terjajah dalam pikiran
para penegak hukum dan pencari keadilan.
Balas dendam atas nama hukum dilegalkan,
benar-benar salah asuhan.
Sinetron Sambo belum usai,
masih akan ada babak lanjutan
media massa akan terus panen raya
sinetron Sambo lainnya bagai dogeng sebelum tidur!
2023
Haiku
Langit tahajud, bening
cahaya mata hati
riuhnya hening
2023
Baca juga: Puisi-puisi Remy Sylado
Baca juga: Puisi-puisi Iwan Jaconiah
Baca juga: Puisi-puisi Yevgeny Yevtushenko
Yesmil Anwar, kriminolog dan penyair, lahir di Jakarta, 11 September 1954. Pendiri Kerabat Pengarang Bandung (KPB) di era 1980-an. Menulis esai-esai kajian hukum, seni dan budaya, serta persoalan sosial sejak 1975. Buku kumpulan puisinya, antara lain Dari Sebuah Pengabdian (Logoz Publishing, Bandung, 2014) dan Bunga Ilalang (Pustaka Haikuku, Bandung, 2017). Dedikasinya dalam dunia akademisi membawa dia meraih penghargaan Rucita Wicara dari Universitas Padjadjaran. Sehari-hari, berdomisili dan berpuisi di Bandung, Jawa Barat. (SK-1)