21 May 2023, 13:00 WIB

Puisi-puisi Rifdal Annafis


Sajak Kofe | Sajak Kofe

Ilustrasi: Obed Luitnan
 Ilustrasi: Obed Luitnan
   

Pekan Kesekian di De Café Resto, Pastry & Bakery 

Di langit yang tembaga, aku tahu ia akan menanyakan: 
“Tuhan, adakah lagi yang dapat kami kerjakan 
dengan tanpa mengingat kematian?” 

Ia sering setengah cemas 
maka ketika seseorang mengajak bertemu di sebuah kafe 
akhir minggu adalah waktu untuk bercakap-cakap 

Separuh jam, sebelum seseorang itu datang
kadang kesedihan selalu lebih dulu tiba 
lalu pelayan membawakan mocha frappuccino 
sambil berbisik; “Satu dua orang di sini mengkhawatirkamu.” 

Barangkali, ia tak ingin menyentuh minumannya 
seperti kenangan-kenangan kecil dan buruk. 

Ia kembali berbisik setengah tak terdengar 
“Tuhan, adakah lagi yang dapat kami kerjakan 
dengan tanpa mengingat kematian?” 

Setelah itu, burung-burung akan hinggap di kepala 
pohon-pohon dengan reranting menyerupai tangan anaknya 
melambai-lambai. Dan ia ingin sekali menangis. 

Sekejap kemudian, lelaki itu datang 
seorang pelayan membawakan salmon teriyaki dan gelato 
dengan senyum setengah ganjil; “Lihat, tidak ada hijau di mataku.” 

Tuhan seakan-akan menjauh 
maka sebelum pistol dikeluarkan, sebelum kenangan tentang anaknya 
membubung tinggi menuju langit-langit, dan kematian selalu pagi 
ia dengan gemetar menuruti. Tanda tangan adalah hari-hari buruk setelahnya. 

“Kalimantan kehilangan hutan, Kalimantan memerah darah. 
akan tiba waktu-waktu pengasingan,” ungkapnya pelan. 

Sumenep, 2022 


Di Sekujur Tubuh Pelabuhan Tua Rotterdam

“Sehari setelah kita sepakat tamasya 
pelabuhan tua ini adalah jalan rindu setelahnya.” 

Sebelum menaiki palka kapal 
kita bayangkan seabad sebelumnya 
sekarung kopi, pala, cengkih dan tembakau 
tiba dengan tergesa, dan laut bergemuruh 

Angin seakan-akan lambat 
sebelum layar dikibarkan 
mereka menyeduh secangkir 
“Toraja, betapa nikmatnya 
seperti bibir gadis-gadis.” 

Bercak darah nusa-antara masih harum
di batang belati di pinggang kelasi
“Kita menemukan harta karun paling murni, 
setelah kembali apalagi yang kita cari?”

Mereka tertawa. Keras sekali. 

Sumenep, 2022 


Kalimantan kehilangan hutan, Kalimantan memerah darah. Akan tiba waktu-waktu pengasingan! 


Hari-hari Kecil dan Ganjil 

"Hari ini menakjubkan," katamu. 
"Berjejer alat-alat berat dengan rapi di sebelah hutan," balasku. 

Sambil memungut daun-daun yang diterbangkan angin 
kita menutup mata dengan setengah bahagia 
“Adakah kesedihan yang lebih perih dari janji dan kata-kata?” 

Di sebelah dinding rumah 
New York menyekap 
atau Makau yang dingin 
berlarian lewat celah-celah pohon 
menembus dada-dada kami, atau hanya mereka? 

Tetapi hanya ini sebetulnya yang aku bayangkan: 
“Anak orang utan yang bergelantung kepanasan, beruang madu 
yang gagal menyelamatkan anak, atau-atau macan dahan yang 
kehilangan rumah.” 

Dan kita hanya menangis, sekeras-kerasnya. 

Sumenep, 2022 


Tentang Way Mengaku 

Sepanjang senin yang janggal 
di Liwa, tempat matahari menjelma 
kematangan adalah doa-doa 

Setelah Hindia memercayai musang putih 
dengan ekspresi sederhana memamah kopi 
yang ingin menjadikannya kawan puisi 

Kemungkinan, ia menjadikannya ibu 
dari imigrasi kota-kota yang tak pernah suasa 

Dan petani, demi menyembunyikan pangkal perut 
dari setiap bunyi kepedihan 
menjadikannya tempat berpulang 

Di jalan kecil menuju perdu akhirnya kita tahu: 
“Sesuatu akan kehilangan makna, setelah kota-kota 
terjaga dengan nada yang tak biasa.” 

Sumenep, 2022 


Setelah Langit Jakarta, Hari Ungu Apalagi yang Kita Punya? 

Sepagi ini, Jakarta dalam balut cangkir khas Etopia selatan 
mengepulkan ruap kopi Harrar. Membubung tipis sebelum gerimis 
di seberang meja dengan ornamen kupu-kupu, setelah seseorang 
memesan rindu dengan sedikit pedas, seperti bibir ayah 

Seseorang lainnya, menyeruput kopi khas Toraja dengan bimbang 
ada hal-hal kecil yang mungkin mengendap ke dasar cangkir 
misalnya kesedihan setelah pembabatan hutan-hutan 

Sedang saya, dengan sisa kantuk semalaman 
membuka hari pada pertanyaan kesekian: 
“Hari ungu apalagi yang kita punya, 
setelah kebun kopi dan hutan-hutan bertamasya 
menjadi Jakarta setelahnya?”

Langit diam. Hanya terdengar bunyi klakson 
di luar, kemacetan tiba, seperti pikiran. 

Sumenep, 2022 

 

Baca juga: Sajak-sajak Ade Putra
Baca juga: Sajak-sajak Tiara Nabila
Baca juga: Sajak-sajak Tegar Ryadi

 

 

 

 


Muhammad Rifdal Ais Annafis, Lahir di Sumenep, Jawa Timur, 16 Februari 2001. Buku kumpulan puisinya, Artefak Kota-kota di Kepala (2021). Puisi-puisi di sini merupakan karya yang terangkum dalam 50 peserta pilihan kurator pada Lomba Cipta Puisi dalam rangka Festival Pesona Kopi Agroforestry 2022. Lomba ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bekerjasama dengan Media Indonesia. Kini, sedang berkuliah dan bergiat sastra di Yogyakarta. Ilustrasi header: Obed Luitnan, Timbangan Hukum. (SK-1) 

BERITA TERKAIT