Ilustrasi: Yopi Cahyono
Paku Payung Kehidupan
Kendati dipalu aku harus kuat
meyakinkan selembar maksud.
Sang tukang nampak berkeringat
musebabnya panas nan sengat
demi kata kasih yang diterima
terucap dari mulut keluarga.
Jumlahku tak satu, melainkan sejuta
setunggal hanyalah sebuah tugas.
Menancap selama-selamanya
atau sekadar keperluan pesta
akulah paku payung kehidupan.
Malang, Oktober 2022
Kemiskinan
Untuk mencetak gambar
kita cukup mengisi tinta, tetapi
menduplikat uang berlembar
tak cukup sekadar dengan tinta:
perlu tenaga, usaha, dan doa
—kerja, kerja, kerja!
Kata-kata bisa kita rangkai
bangunan bisa dirancang
dan ilmu bisa dipelajari
tetapi relasi tak tiba sendiri.
Kata-kata bekal berkomunikasi
kepercayaan menjadi wadahnya
ilmu sebagai penghubung
bila semuanya dimiliki,
orang baik akan mendatangi.
Kemisikinan bukan oleh tak beruang,
sebab rejeki datang dari relasi
yang dilahirkan dari silaturahmi;
keluasan ilmu dan kejernihan hati.
Malang, Oktober 2022
Lagu Sengsara
Tenang saja, tak usah khawatir
tekanlah tombol check out di keranjang belanjamu.
Pastikan semua kebutuhan sudah terpenuhi,
sebanyak-banyaknya.
Tak usah khawatir, ada paylater
tak perlu berpikir bagaimana membayar hari ini.
Dengan paylater kau bisa melunasi sesuka hati
—nanti, esok, bahkan di kemudian hari.
Ingat, ukurlah semua dan putuskan dengan daya!
Jangan ikuti keinginan semata!
Jangan larut pada nafsu belaka!
Semua bisa sangat berbahaya.
Bila tak bisa mengendalikannya,
kau akan dinyanyikan lagu sengsara,
yang selalu siap meneror di setiap waktu.
Malang, Oktober 2022
Sengsara Pangkat Dua
Di masa muda yang terang,
dia sadar menyesali pilihan;
berdalih kebutuhan, menipu untuk foya-foya,
secara halus merebut harta orang tuanya.
Sering kali, dia dandan di malam Minggu.
Menyiapkan busana terbaik,
menggunakan minyak wangi
guna memikat lawan jenis.
Ini kali, tak ada cara lain lagi,
percaya terhadap orang tua hilang,
sebab kuliah telah ditelantarkannya.
Walau sebenarnya, tetua di rumah
memang sudah tak punya pilihan.
Dia takut dijauhi teman-teman,
bila tak bergabung menikmati
malam Minggu di ruang gelap,
yang dipenuhi musik jedag-jedug.
Tak kehabisan akal, dia putuskan
untuk menekan tombol pinjam.
Bila habis, tekan lagi, lagi, dan lagi
sampai semua berpangkat dua.
Menghapus sengsara yang terlanjur berpangkat dua.
Dia menggaruk kepala tiada henti,
sebab tak bisa membayar pinjaman.
Memutar otaknya untuk mencari cara
menghapus sengsara yang terlanjur berpangkat dua.
Dia membagi, mengkali, mengurangi.
Segala perhitungan sudah dilakukan.
Namun, tak ditemukan satu pun cara.
Sengsara sudah berpangkat dua
semakin hari semakin berlipat.
Dia merasa buntu dan menjadi
malu, bisu, kemudian lumpuh.
Pada akhirnya, memutuskan bunuh diri.
Malang, Oktober 2022
Agama Nongkrong
Nongkrong itu bukan agama.
Untuk apa kau rutin melakukannya.
Untuk apa kau takut meninggalkannya.
Tak ada pahala dan dosa sebagai balasannya.
Komunikasi tak harus di warung kopi.
Silaturrahmi bisa di mana saja.
Sungguh paling bangkrut, mereka
yang kultus pada waktu dan tempat.
Bukan Vatikan tempat ibadah paling nikmat.
Bukan juga Makkah satu-satunya tempat ibadah.
Di mana pun kita bersujud—tunduk dan pasrah kepada Yang Maha Kuasa.
Itulah ibadah yang seharusnya terwujud.
Malang, Oktober 2022
Tetesan Air Keran
Pagi-pagi sekali,
suara motor dipanaskan
pada waktu bersamaan,
kudengar suara seorang guru muda
walaupun hawa dingin
semangatnya begitu membara
laiknya api membakar manusia.
Menit-menit berluruh kemudian
suara itu hilang bersamaan
namun, masih terdengar
sisa semangat membara
dari tetesan air keran
yang luruh di bak permandian.
Pagi kembali hampa
tanpa suara; apa dan siapa
sunyi, sepi, dan tak satu pun bunyi.
Malang, Oktober 2022
Ramai
Hidupku begitu ramai,
tambah bergumam, pagi apa lagi
terdiam aku di palang pintu kamar
mendengar suara; tong kosong nyaring
Aku bersabar dari segala
pemberian, perempuan untukku
Tak ada ketakutan di tiap sudut. Menjauh juga
dalam keberanian, menanti kusebut satu nama
Tak kaget sedikit pun, amun aku terbungkuk.
Panggilan siapa itu? Ah! Sekuat tenaga aku berkata: Ibu! Ibu!
Malang, 18 September 2022
Pagi Buntung
Ke mana kenyataan
yang biasa menamparku?
lelap tidur ini bukan keinginan.
Air panas berwarna kelam
nan pahit membayangkan
di suatu masa nan suram.
Kucari jawabnya
ternyata ia kalah bertarung pada malam
taruhannya tangan, menyeramkan memang.
Ia muncul di sudut desa
terlihat tak berlengan.
Pagi buntung dimakan kusta
serakah menggerogoti perlahan
menutup semua giat
memanggil semua pulang
untuk pertanggungan
seimbang hampa timbang;
kiri celaka, kanan bahagia selamanya.
Malang, 18 September 2022
Perdu Merah
Hutan rindang panas
hangat air-airnya mengalir
bunyi-bunyian mengeras
semacam pasar malam
saat pengunjung merebut antrean
Perdu hutan memerah
siaga menusuk tubuh-tubuh
yang agung disematkan pada diri
Kala mobilisasi,
perputaran tanpa kendali
uang-uang berhambur
bakar-bakar agar tak rugi.
Menang, aku menang!
Malang, 18 September 2022
Baca juga: Sajak-sajak Saras Dewi
Baca juga: Sajak-sajak Ade Mulyono
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Muhammad Farhan Azizi, lahir di Negara, Jembrana, Bali, 8 Januari 1998. Menulis puisi dan esai. Alumnus S1 Pendidikan Bahasa Arab, Universitas Muhammadiyah Malang (2022), Jawa Timur. Kini, beraktivitas sastra di Malang. (SK-1)