20 October 2022, 08:00 WIB

Sajak-sajak Farhan Azizi 


Sajak Kofe | Sajak Kofe

Ilustrasi: Yopi Cahyono
 Ilustrasi: Yopi Cahyono
   

Ilustrasi: Yopi Cahyono

Paku Payung Kehidupan 

Kendati dipalu aku harus kuat 
meyakinkan selembar maksud. 
Sang tukang nampak berkeringat 
musebabnya panas nan sengat 
demi kata kasih yang diterima 
terucap dari mulut keluarga. 

Jumlahku tak satu, melainkan sejuta 
setunggal hanyalah sebuah tugas. 
Menancap selama-selamanya 
atau sekadar keperluan pesta 
akulah paku payung kehidupan. 

Malang, Oktober 2022 


Kemiskinan 

Untuk mencetak gambar 
kita cukup mengisi tinta, tetapi 
menduplikat uang berlembar 
tak cukup sekadar dengan tinta: 
perlu tenaga, usaha, dan doa 
—kerja, kerja, kerja! 

Kata-kata bisa kita rangkai 
bangunan bisa dirancang 
dan ilmu bisa dipelajari 
tetapi relasi tak tiba sendiri. 

Kata-kata bekal berkomunikasi 
kepercayaan menjadi wadahnya 
ilmu sebagai penghubung 
bila semuanya dimiliki, 
orang baik akan mendatangi. 

Kemisikinan bukan oleh tak beruang, 
sebab rejeki datang dari relasi 
yang dilahirkan dari silaturahmi; 
keluasan ilmu dan kejernihan hati. 

Malang, Oktober 2022 


Lagu Sengsara 

Tenang saja, tak usah khawatir 
tekanlah tombol check out di keranjang belanjamu. 
Pastikan semua kebutuhan sudah terpenuhi,
sebanyak-banyaknya. 

Tak usah khawatir, ada paylater 
tak perlu berpikir bagaimana membayar hari ini. 
Dengan paylater kau bisa melunasi sesuka hati
—nanti, esok, bahkan di kemudian hari. 

Ingat, ukurlah semua dan putuskan dengan daya!
Jangan ikuti keinginan semata! 
Jangan larut pada nafsu belaka! 
Semua bisa sangat berbahaya. 

Bila tak bisa mengendalikannya, 
kau akan dinyanyikan lagu sengsara,
yang selalu siap meneror di setiap waktu. 

Malang, Oktober 2022 


Sengsara Pangkat Dua 

Di masa muda yang terang, 
dia sadar menyesali pilihan; 
berdalih kebutuhan, menipu untuk foya-foya, 
secara halus merebut harta orang tuanya. 

Sering kali, dia dandan di malam Minggu. 
Menyiapkan busana terbaik, 
menggunakan minyak wangi 
guna memikat lawan jenis. 

Ini kali, tak ada cara lain lagi, 
percaya terhadap orang tua hilang, 
sebab kuliah telah ditelantarkannya. 
Walau sebenarnya, tetua di rumah 
memang sudah tak punya pilihan. 

Dia takut dijauhi teman-teman, 
bila tak bergabung menikmati 
malam Minggu di ruang gelap, 
yang dipenuhi musik jedag-jedug

Tak kehabisan akal, dia putuskan 
untuk menekan tombol pinjam. 
Bila habis, tekan lagi, lagi, dan lagi 
sampai semua berpangkat dua. 

Menghapus sengsara yang terlanjur berpangkat dua. 

Dia menggaruk kepala tiada henti, 
sebab tak bisa membayar pinjaman.  
Memutar otaknya untuk mencari cara 
menghapus sengsara yang terlanjur berpangkat dua. 
Dia membagi, mengkali, mengurangi. 

Segala perhitungan sudah dilakukan. 
Namun, tak ditemukan satu pun cara. 
Sengsara sudah berpangkat dua 
semakin hari semakin berlipat. 

Dia merasa buntu dan menjadi 
malu, bisu, kemudian lumpuh. 
Pada akhirnya, memutuskan bunuh diri. 

Malang, Oktober 2022 


Agama Nongkrong 

Nongkrong itu bukan agama.
Untuk apa kau rutin melakukannya. 
Untuk apa kau takut meninggalkannya. 
Tak ada pahala dan dosa sebagai balasannya. 

Komunikasi tak harus di warung kopi.
Silaturrahmi bisa di mana saja.
Sungguh paling bangkrut, mereka 
yang kultus pada waktu dan tempat. 

Bukan Vatikan tempat ibadah paling nikmat. 
Bukan juga Makkah satu-satunya tempat ibadah. 
Di mana pun kita bersujud—tunduk dan pasrah kepada Yang Maha Kuasa.
Itulah ibadah yang seharusnya terwujud. 

Malang, Oktober 2022 


Tetesan Air Keran 

Pagi-pagi sekali, 
suara motor dipanaskan  
pada waktu bersamaan, 
kudengar suara seorang guru muda  
walaupun hawa dingin  
semangatnya begitu membara 
laiknya api membakar manusia. 

Menit-menit berluruh kemudian  
suara itu hilang bersamaan  
namun, masih terdengar 
sisa semangat membara 
dari tetesan air keran 
yang luruh di bak permandian. 

Pagi kembali hampa 
tanpa suara; apa dan siapa 
sunyi, sepi, dan tak satu pun bunyi. 

Malang, Oktober 2022 


Ramai 

Hidupku begitu ramai, 
tambah bergumam, pagi apa lagi  
terdiam aku di palang pintu kamar 
mendengar suara; tong kosong nyaring 

Aku bersabar dari segala 
pemberian, perempuan untukku 

Tak ada ketakutan di tiap sudut. Menjauh juga 
dalam keberanian, menanti kusebut satu nama 

Tak kaget sedikit pun, amun aku terbungkuk. 
Panggilan siapa itu? Ah! Sekuat tenaga aku berkata: Ibu! Ibu! 

Malang, 18 September 2022


Pagi Buntung 

Ke mana kenyataan 
yang biasa menamparku? 
lelap tidur ini bukan keinginan. 
Air panas berwarna kelam 
nan pahit membayangkan 
di suatu masa nan suram. 

Kucari jawabnya 
ternyata ia kalah bertarung pada malam 
taruhannya tangan, menyeramkan memang. 

Ia muncul di sudut desa 
terlihat tak berlengan. 

Pagi buntung dimakan kusta  
serakah menggerogoti perlahan  
menutup semua giat 
memanggil semua pulang 
untuk pertanggungan 
seimbang hampa timbang; 
kiri celaka, kanan bahagia selamanya. 

Malang, 18 September 2022 


Perdu Merah 

Hutan rindang panas 
hangat air-airnya mengalir 
bunyi-bunyian mengeras 
semacam pasar malam 
saat pengunjung merebut antrean 

Perdu hutan memerah 
siaga menusuk tubuh-tubuh 
yang agung disematkan pada diri 

Kala mobilisasi, 
perputaran tanpa kendali 
uang-uang berhambur 
bakar-bakar agar tak rugi.

Menang, aku menang! 

Malang, 18 September 2022 

 

Baca juga: Sajak-sajak Saras Dewi
Baca juga: Sajak-sajak Ade Mulyono
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

 

 

 


Muhammad Farhan Azizi, lahir di Negara, Jembrana, Bali, 8 Januari 1998. Menulis puisi dan esai. Alumnus S1 Pendidikan Bahasa Arab, Universitas Muhammadiyah Malang (2022), Jawa Timur. Kini, beraktivitas sastra di Malang. (SK-1) 

 

BERITA TERKAIT