Ilustrasi: Elizaveta Ezkova
Golgota
Tikamlah aku berkali-kali
sayatlah aku tanpa henti
tak akan kau dengar ratapku
tiada kau tahu letak sedihku
Di atas salib ini
raga hanya bayang
kelak akan kalian pahami
tubuh sejati tak pernah mati
Surakarta, 2022
September
Kita saling memesan tiket kepergian
aku menuju tiupan angin Timur
engkau melesat ke angin Barat
padahal tangan kita belum sempat berjabat
Aku mengayuh September ke arah titik nol
seperti seorang anak yang kembali ke rahim Ibu
kususuri lagi hening dan tuts-tuts minor sendiri
seraya kulupakan betapa bising isi pikiran manusia
Adapun kau semakin jauh ke Barat
menatap tinggi gedung yang menjulang
kau serupa anak remaja yang segera dewasa
sibuk mendaki petunjuk-petunjuk ke puncak bukit
September menjelma jembatan paling usang
hari-hari ialah perpisahan yang kian menjauhkan
bila nanti tak kita temui tempat peraduan
mungkin akan saling bersua di kisah berikutnya
Surakarta, 2022
Platonik I
Mencintaimu adalah jalan sunyiku
–sepenuhnya—
kutinggalkan tanggal-tanggal manis kenangan
kutanggalkan hari-hari penuh bahagia semu
agar kau dan aku menjadi sinonim paling merdu
Mencintaimu adalah jalan tabahku
kunikmati jarak melintang yang menganga
kucecap rindu yang timbul tenggelam menikamku
untuk kupahami rasa sabar yang sejati
Semakin aku mencintaimu
kian dalam penyangkalan diriku
tak ada lagi namaku dan sajakku
seperti angin yang menggugurkan helai kemarau
Semarang, 2022
Platonik II
Mencintaimu ibarat memeluk gugusan musim:
Panas. Dingin. Gugur. Semi. Kemarau. Penghujan
semua bias cuaca kau goreskan pada tubuhku
semua hangat dan bilur kutulis dalam sanjakku
Surakarta, 2022
Apabila Rindu
Apabila rindu dapat diumpamakan
selembar kertas putih yang kosong
setiap hari kutunggu goresan kata-katamu
setiap waktu kunanti risau ceritamu
sampai suatu saat tak ada lagi kata selain jumpa
Apabila rindu dapat diibaratkan
sebuah penantian pada tanda tanya
saban waktu kuinginkan jawaban kepastian
supaya dapat kupadamkan prasangka curiga
Apabila rindu dapat dilukiskan
sebagai goresan paling abstrak
susah untuk dipahami dan dimengerti
namun diam-diam menyimpan arti padamu
Semarang, 2022
Kopi Pluralisme
Di cangkir kopi hitam tersaji:
uap hangat yang mengepul menuju pekat
tersimpan campuran rasa utama:
pahit, asam, manis yang melebur bersama
tanpa saling ribut rasa mana yang paling nikmat
Barangkali…
kita harus belajar ulang dari secangkir kopi
arti pluralisme yang terus dicari
dan pelan-pelan saling menyadari:
kemajemukan ialah penyerahan peleburan diri
Surakarta, 25 Agustus 2022
Setelah 17 Agustus
Setelah tujuh belas Agustus…
umbul-umbul diturunkan kembali
panggung-panggung pertunjukkan kosong lagi
tumpeng dan senyum penduduk telah terusir wajah malam
tersisa sebuah tanya: masih adakah pekik merdeka bagi para tunawisma?
Tujuh belas Agustus telah berlalu…
televisi dan media massa sudah beralih topik berita
dilipatnya kembali peristiwa proklamasi dalam kaleidoskop
ditutupnya kabar para veteran dan pidato proklamator
semua kembali pada berita keruh elite negeri
di benakku tersimpan sebuah rindu:
masih adakah ruang pemberitaan tentang kebhinekaan?
Tujuh belas Agustus sudah pergi…
aku menggantungkan mimpi di bibir pagi
membayangkan awan-awan kembali cerah
ayam burung bersiul berkokok
tukang bangunan dan bocah-bocah berbagi senyuman
semua melangkah menempuh lajur kehidupan
seperti cita-cita Sapardi dalam sajaknya-sajaknya
Surakarta, 2022
Ilusi
Dari layar sajakku wajah kota terpantul:
bangkai kucing liar tersambit
para ibu menangis dalam mimpi
anak-anak berwajah lumpur
pemuda resah menunggu panggilan kerja
dan kaum gelandangan berselimut pancaroba
Kemudian…
sayup-sayup televisi memberitakan:
kota telah dibangun ulang
jalan-jalan terus mengalami perbaikan
kemiskinan telah sempurna berkurang
para penduduk mulai rajin tersenyum
Tuan...
kepada siapa aku harus percaya?
Surakarta, 2022
Dinihari
Tuan kami mengetuk lagi pintumu
berkali-kali agar Tuan semakin yakin
kamilah tubuh yang dahulu Engkau bagi
Surakarta, 2022
Baca juga: Sajak-sajak Ibnu Wahyudi
Baca juga: Sajak-sajak Sergey Yesenin
Baca juga: Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Thomas Elisa, lahir di Kota Surakarta, Jawa Tengah, 21 September 1996. Menulis puisi dan novel. Ia menamatkan pendidikan program Strata-1 Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta (tamat 2018). Telah menerbitkan novel fiksi anak berjudul Bangunnya Peri Merah (2017) dan Hadiah Tak Terduga (Guepedia, 2020). Kini, mengajar di SMK Katolik Kolese Mikael Surakarta. (SK-1)