02 October 2022, 07:00 WIB

Sajak-sajak Thomas Elisa 


Sajak Kofe | Sajak Kofe

 Ilustrasi: Elizaveta Ezkova
  Ilustrasi: Elizaveta Ezkova
   

Ilustrasi: Elizaveta Ezkova 

Golgota 

Tikamlah aku berkali-kali 
sayatlah aku tanpa henti 
tak akan kau dengar ratapku 
tiada kau tahu letak sedihku 

Di atas salib ini 
raga hanya bayang 
kelak akan kalian pahami 
tubuh sejati tak pernah mati 

Surakarta, 2022 

 

September 

Kita saling memesan tiket kepergian 
aku menuju tiupan angin Timur 
engkau melesat ke angin Barat 
padahal tangan kita belum sempat berjabat 

Aku mengayuh September ke arah titik nol 
seperti seorang anak yang kembali ke rahim Ibu 
kususuri lagi hening dan tuts-tuts minor sendiri 
seraya kulupakan betapa bising isi pikiran manusia 

Adapun kau semakin jauh ke Barat 
menatap tinggi gedung yang menjulang 
kau serupa anak remaja yang segera dewasa 
sibuk mendaki petunjuk-petunjuk ke puncak bukit 

September menjelma jembatan paling usang 
hari-hari ialah perpisahan yang kian menjauhkan 
bila nanti tak kita temui tempat peraduan 
mungkin akan saling bersua di kisah berikutnya 

Surakarta, 2022 


Platonik I 

Mencintaimu adalah jalan sunyiku 
–sepenuhnya— 
kutinggalkan tanggal-tanggal manis kenangan 
kutanggalkan hari-hari penuh bahagia semu 
agar kau dan aku menjadi sinonim paling merdu 

Mencintaimu adalah jalan tabahku 
kunikmati jarak melintang yang menganga 
kucecap rindu yang timbul tenggelam menikamku 
untuk kupahami rasa sabar yang sejati 

Semakin aku mencintaimu 
kian dalam penyangkalan diriku 
tak ada lagi namaku dan sajakku  
seperti  angin yang menggugurkan helai kemarau 

Semarang, 2022 

 

Platonik II  

Mencintaimu ibarat memeluk gugusan musim:
Panas. Dingin. Gugur. Semi. Kemarau. Penghujan
semua bias cuaca kau goreskan pada tubuhku
semua hangat dan bilur kutulis dalam sanjakku 

Surakarta, 2022 


Apabila Rindu 

Apabila rindu dapat diumpamakan 
selembar kertas putih yang kosong 
setiap hari kutunggu goresan kata-katamu 
setiap waktu kunanti risau ceritamu 
sampai suatu saat tak ada lagi kata selain jumpa 

Apabila rindu dapat diibaratkan 
sebuah penantian pada tanda tanya 
saban waktu kuinginkan jawaban kepastian 
supaya dapat kupadamkan prasangka curiga 

Apabila rindu dapat dilukiskan 
sebagai goresan paling abstrak 
susah untuk dipahami dan dimengerti 
namun diam-diam menyimpan arti padamu 

Semarang, 2022 


Kopi Pluralisme 

Di cangkir kopi hitam tersaji: 
uap hangat yang mengepul menuju pekat 
tersimpan campuran rasa utama: 
pahit, asam, manis yang melebur bersama
tanpa saling ribut rasa mana yang paling nikmat 

Barangkali… 
kita harus belajar ulang dari secangkir kopi 
arti pluralisme yang terus dicari 
dan pelan-pelan saling menyadari: 
kemajemukan ialah penyerahan peleburan diri 

Surakarta, 25 Agustus 2022 


Setelah 17 Agustus 

Setelah tujuh belas Agustus… 
umbul-umbul diturunkan kembali 
panggung-panggung pertunjukkan kosong lagi 
tumpeng dan senyum penduduk telah terusir wajah malam  
tersisa sebuah tanya: masih adakah pekik merdeka bagi para tunawisma? 

Tujuh belas Agustus telah berlalu… 
televisi dan media massa sudah beralih topik berita 
dilipatnya kembali peristiwa proklamasi dalam kaleidoskop 
ditutupnya kabar para veteran dan pidato proklamator 
semua kembali pada berita keruh elite negeri 
di benakku tersimpan sebuah rindu: 
masih adakah ruang pemberitaan tentang kebhinekaan? 

Tujuh belas Agustus sudah pergi… 
aku menggantungkan mimpi di bibir pagi 
membayangkan awan-awan kembali cerah 
ayam burung bersiul berkokok 
tukang bangunan dan bocah-bocah berbagi senyuman 
semua melangkah menempuh lajur kehidupan 
seperti cita-cita Sapardi dalam sajaknya-sajaknya 

Surakarta, 2022 


Ilusi 

Dari layar sajakku wajah kota terpantul: 
bangkai kucing liar tersambit 
para ibu menangis dalam mimpi 
anak-anak berwajah lumpur 
pemuda resah menunggu panggilan kerja 
dan kaum gelandangan berselimut pancaroba 

Kemudian… 
sayup-sayup televisi memberitakan: 
kota telah dibangun ulang 
jalan-jalan terus mengalami perbaikan 
kemiskinan telah sempurna berkurang 
para penduduk mulai rajin tersenyum 

Tuan... 
kepada siapa aku harus percaya? 

Surakarta, 2022 

 

Dinihari 

Tuan kami mengetuk lagi pintumu 
berkali-kali agar Tuan semakin yakin 
kamilah tubuh yang dahulu Engkau bagi 

Surakarta, 2022 

 

Baca juga: Sajak-sajak Ibnu Wahyudi 
Baca juga: Sajak-sajak Sergey Yesenin 
Baca juga: Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

 

 


Thomas Elisa, lahir di Kota Surakarta, Jawa Tengah, 21 September 1996. Menulis puisi dan novel. Ia menamatkan pendidikan program Strata-1 Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta (tamat 2018). Telah menerbitkan novel fiksi anak berjudul Bangunnya Peri Merah (2017) dan Hadiah Tak Terduga (Guepedia, 2020). Kini, mengajar di SMK Katolik Kolese Mikael Surakarta. (SK-1) 


 

BERITA TERKAIT