Ilustrasi: Toni Demuro
SASTRA dan politik selalu tak terpisahkan. Untuk membedakan keduanya cukuplah mudah, yaitu melalui pemaknaan “akal-nurani”. Akal ialah inti pikiran (significatio), sedangkan nurani tak lain yakni mata hati (conscientia).
Sastra menggunakan “akal-nurani” untuk menghadirkan keindahan dan kemarahan. Sementara politik sebaliknya, “memanfaatkan” kemarahan dan keindahan sebagai tameng untuk meraih kuasa serta takhta.
Sastra dalam politik atau politik dalam sastra. Itu tak bisa terhindarkan dalam tatanan bernegara. Berkaca pada sejarah dunia, tidak sedikit para penyair yang akhirnya terjun ke ranah politik sebagai negarawan.
Sekadar menyebut nama penyair Prancis Alphonse de Lamartine (1790-1869). Ia tidak hanya dikenal sebagai pesastra di negerinya, namun juga sejarawan dan negarawan. Kumpulan puisi pertamanya berjudul Méditations poétiques (Meditasi Puitis, 1820) begitu populer. Menjadikannya sebagai salah satu tokoh kunci gerakan romantis dalam sastra Prancis².
Pada 1847, Lamartine menerbitkan bukunya berjudul Histoire des Girondins (Sejarah Kaum Girondin). Subjeknya adalah sejarah, terkait dengan Revolusi Prancis, tetapi objeknya politis, menjelang revolusi.
Buku tersebut membuat Lamartine sangat disanjung di kalangan kanan, moderat, dan partai-partai “sayap kiri” di negerinya. Buku itu dianggap sebagai karya terbesar abad ke-19. Masih dibahas di sejumlah perguruan tinggi hingga kini.
Setelah Revolusi Prancis 24 Februari 1848, Republik Kedua diproklamasikan di Paris. Lamartine menjadi kepala pemerintahan sementara untuk waktu yang singkat. Salah satu reformasi yang disahkannya selama bulan-bulan awal Republik Kedua ialah penerapan hak pilih universal laki-laki dan penghapusan perbudakan di wilayah Prancis.
Perlu diketahui bahwa Republik Kedua itu didirikan setelah rakyat Prancis menggulingkan Monarki Juli yang dipimpin Raja Louis-Philippe (1773-1850). Peranan Lamartine sebagai seorang penyair dan negarawan begitu dahsyat.
Penyair Indonesia eksil
Di Indonesia, revolusi juga pernah terjadi pada 30 September - 1 Oktober 1965. Tragedi itu selalu memiliki ingatan-ingatan tersendiri bagi masyarakat. Akibat peristiwa tersebut, dampaknya sangat meluas ke berbagai tatanan sosial masyarakat.
Tidak sedikit para pelajar, dosen, penyair, seniman, dan jurnalis yang terpaksa dicap “kiri” dan harus tertahan di negeri orang. Padahal, mereka saat itu sedang dikirim bertugas dan belajar oleh Republik sebelum dan sesudah peristiwa 1965 terjadi.
Saya melihat, ada tiga kategori kaum “Indonesia eksil”. Contohnya di Moskwa, Rusia, tempat saya mengais ilmu. Pertama, mereka dikirim Orde Lama sebagai tenaga pengajar dan ahli. Mereka secara resmi mendapat posisi untuk mengajar bahasa Indonesia di universitas-universitas ternama di Moskwa. Salah satunya, penyair Intojo.
Kedua, mereka adalah para pelajar yang dikirim untuk belajar, namun tidak bisa pulang pascaperalihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Contohnya, Y P Sudaryanto, salah satu mahasiswa ikatan dinas dahulu. Kini, ia adalah tokoh senior diaspora di Rusia.
Dan, ketiga ialah mereka yang benar-benar berprofesi sebagai pengarang, sastrawan, dan seniman profesional. Mereka tergabung sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia yang pernah ada di Republik ini. Contohnya, sastrawan Utuy Tatang Sontani (1920-1979).
Para penyair Indonesia yang hidup di luar negeri setelah peristiwa 1965 telah menjadi fenomena dalam sastra Indonesia. Mereka dikenal sebagai “penyair Indonesia eksil” dan setia berkarya di negeri orang dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Berikut ini karya-karya enam “penyair Indonesia eksil” terbaik¹. Mereka dulunya memutuskan untuk menetap di negeri seberang karena paspor mereka disita dan dicekal oleh rezim Orde Baru. Mereka tinggal di berbagai kota besar di Asia dan Eropa, seperti di Beijing, Paris, Amsterdam, Berlin, Praha, dan Moskwa.
Pertama, Soeprijadi Tomodihardjo, penyair, prosais, dan jurnalis. Ia lahir di Kediri, Jawa Timur, 1933. Menerbitkan beberapa kumpulan puisi dan cerita pendek (cerpen). Salah satu puisinya berjudul Suara Anak Semang, sedangkan kumpulan cerpennya berjudul Cucu Tukang Perang.
Soeprijadi muda adalah mantan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ia pernah mengikuti rombongan 15 jurnalis PWI untuk meliput ke Beijing selama sebulan pada Oktober 1965. Situasi memanas di Tanah Air, ia memutuskan untuk tak pulang.
Ia menerima tawaran kerja sebagai penerjemah di kantor berita setempat. Dari Beijing, Soeprijadi muda lalu pindah dan tinggal di Jerman. Karya-karyanya dimuat dalam Mimbar, Arena, dan Kreasi, baik dengan menggunakan nama asli maupun samaran. Berikut sajaknya.
Anekdot-anekdot
anekdot-anekdot
sesamar kabut
mengendap di tiap sudut
mulut-mulut tergagap
kata-kata terpelanting
mencari rumusan
desus kata menyindir
rasa dengki mengalir
bukan ronta terakhir
kursi-kursi tak goyang
muka tebal tak hilang
deru angin tak kencang
anekdot-anekdot
di mulut badut
masih terus menghibur
hati yang hancur
generasi yang tidur
ah, revolusi
demikianlah memang
begitu damai dan tenang
Kedua, Nurdiana, penyair perempuan. Menulis puisi dan esai. Karya-karyanya banyak dimuat di Kreasi. Sajak-sajaknya yang terkenal, antara lain Teluk Ha Long, Adat Hidup, Demi Laba, dan Tiran. Berikut salah satu sajaknya.
Tiran
Ada malaikat
bukan akhirat
tapi di bumi.
Konglomerat-konglomerat
cepat mencuat
karena restunya.
Berapa rakyat
ditimpa kiamat
di tangan sang Tiran?
Ketiga, ialah Satyadharma alias ST Caniago, lahir di Sumatra Utara, pada 1930. Pendidikan akhirnya ia tempuh di Akademi Perguruan, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia mulai menulis sajak-sajaknya pada 1955. Satyadharma juga menjadi salah satu pendiri Stichting Budaya Amsterdam pada awal 1989. Berikut salah satu sajaknya.
Nama
Buat apa nama
bagiku yang begini tua
aku hanya ingin
meninggalkan jejak
walau samar-samar tampak
meninggalkan belang
seperti ngaum harimau meradang
karena embik kambing
hanya menimbulkan kasihan orang
Sajak Anekdot-anekdot, Tiran, dan Nama memiliki tema yang kuat. Masing-masing penyair menghadirkan kritik tidak hanya terhadap rezim, namun juga diri sendiri. Satyadharma, misalnya, mempertanyakan apalah arti nama di saat usianya kiat peot dan menua.
Sederhana dan realis
Berbeda dengan tiga penyair awal, tiga penyair selanjutnya ini memiliki tema yang khas, sederhana, namun filosofis. Mereka begitu kuat mengusung tema realisme sosial sebagai ideologi dalam berkarya.
Pertama, Agam Wispi, lahir di Langkat, 31 Desember 1930 dan wafat di Amsterdam, 1 Januari 2003. Ia adalah seorang penyair dan redaktur kebudayaan di sejumlah surat kabar di Medan, dari 1952 sampai 1957. Pada 1958-1959, ia pergi belajar jurnalistik di Berlin.
Pada Mei 1965, Agam diundang ke Vietnam selama beberapa bulan dan sempat bertemu dengan Ho Chi Minh. Namun sejak itu, ia tidak bisa pulang ke Indonesia. Agam bermukim di Tiongkok, Jerman, dan Belanda. Berikut sajaknya.
Kepada Penyair Asahan
asahan, syukurlah kau punya tuhan tempat mengadu
di dunia eksil penyair adalah yatim-piatu
sasaran fikiran mapan yang kaya tabu
asahan, syukurlah kau punya tuhan tempat berlindung
kau menghidupkan kata, hantu nomenklatura
menghidupkan pentung
sassus hasutan, diktator kecil seribut kaleng kosong
asahan, penyair adalah pendahulu semangat zaman
tak ada tokoh politik berani minta maaf
kepada mandelstam
karena serangkum sajaknya mati disiksa
di siberia buangan
Kedua, Alan Hogeland alias Kamaludin Rangkuti, lahir di Binjai, 19 Oktober 1931. Ia menyelesaikan sarjana muda dalam bidang Bahasa dan Sastra Indonesia dan sempat mengikuti studi di Fakultas Hukum, Universitas Sumatra Utara³.
Pada 1964, atas undangan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, ia berangkat ke Beijing menjadi tenaga pengajar di Universitas Beijing. Alan ambil bagian sebagai konsultan dalam penyusunan kamus Indonesia-Tionghoa. Pada 1985, ia pindah ke Belanda. Berikut dua puisinya.
Yang Lapar
Di panggung badut bersorak,
Memindahkan duit penonton ke kantongnya,
Di pentas negara koruptor menggalak,
Memindahkan duit rakyat ke perutnya.
Keduanya gembira,
Lalu tertawa,
Tak ada yang lucu,
Mereka menari menurut lagu.
Di seberang sana,
Hidup tanpa lagu,
Terjepit di celah batu,
Semua membisu.
Dua jenis kehidupan,
Yang satu mewah berlebihan,
Yang lain dahaga kelaparan.
Bertanya sekuntum mawar,
Apakah kaubiarkan mereka lapar?
Sampai di Batasnya
Kubuka jendela,
Angin menerpa,
Terasa segar,
Tapi dada menggelegar.
Sayup terdengar di telinga,
"Kami kuyup di arus hidup."
Keluh merayapi ladang-ladang yang lelah,
Di bongkah-bongkah tanah kering merekah,
Hidup tambah payah, tambah goyah,
Meski bibir dan lidah terus menggugah.
Segala tak berubah,
Tidak berubah.
Akan datang waktunya,
Kesabaran sampai di batasnya.
Dan terakhir ialah Awal Kembara. Ia lahir di Solo, Jawa Tengah, 1940. Mulai menulis sejak remaja dan karyanya dimuat dalam ruangan Harian Rakyat Muda. Ia belajar di Akademi Sosial dan Politik di Jakarta dan juga di Akademi Bahasa dan Sastra Indonesia Multatuli, Jakarta. Pada 1965, ia mendapatkan beasiswa luar negeri untuk belajar ilmu sosial dan politik. Berikut sajaknya.
Di Dalam Kubah
aku yang terpental di sudut bumi ini
beku dalam pencarian
kuraba waktu
dia menantang aku berpacu
nafasku sesak
dan aku berteriak
tak ada jawab
gema suaraku
ditelan debu
pelangi "persahabatan" menyumbat mulut
dan menutup mataku
di tengah embun pagi dan bunga bermekaran
dan ramainya dunia dalam kesibukan
berdiri manusia buta, pekak dan bisu
"dan itu adalah aku"
Melalui karya-karya lawas enam penyair di atas, kita dapat melihat dan membaca kembali pemikiran “penyair Indonesia eksil” tersebut. Mereka menulis sebagai cara untuk menumpahkan ide-ide yang jernih dan bersih. Menjadikan sastra sebagai wadah pesan kemanusiaan.
Agam dan para penyair lainnya hanya sebagian kecil dari perjalanan perpuisian Indonesia di negeri orang. Tentu, karya mereka tidak akan ditemukan dalam teks-teks buku pelajaran di sekolah atau di perguruan tinggi. Namun kiprah mereka sebagai manusia berbudaya, patut dan laik dikenang.
Sebagaimana kejujuran hadir walau basah kuyup di arus hidup. Revolusi hanyalah bagian dari sejarah. Sebuah bangsa besar wajib menjadikan peristiwa-peristiwa di masa silam sebagai pedoman untuk membaca kembali arah mata angin menuju hari esok yang lebih cerah. Menggunakan “akal-nurani” dalam memaknai sastra dan politik sebaik-baiknya. (SK-1)
Bacaan rujukan
¹ Alham, Asahan (ed). Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil. Jakarta: Amanah Lontar, 2002.
² Fortescue, William. Alphonse De Lamartine: A Political Biography. London: Palgrave Macmillan, 1983.
³ Hogeland, Alan. Angin Menderu di Pucuk Bambu. Culemborg, Nederland: Stichting I.S.D.M (Instruksi, Studi, Diskusi, Manifestasi), 1992.
Iwan Jaconiah adalah penyair, editor puisi Media Indonesia, dan kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin (Pentas Grafika, 2022), sebuah buku tentang kisah pelajar dan diaspora Indonesia dari Rusia.