30 September 2022, 07:00 WIB

Kuyup di Arus Hidup 


Iwan Jaconiah  | Sajak Kofe

Ilustrasi: Toni Demuro
 Ilustrasi: Toni Demuro
   

Ilustrasi: Toni Demuro 

SASTRA dan politik selalu tak terpisahkan. Untuk membedakan keduanya cukuplah mudah, yaitu melalui pemaknaan “akal-nurani”. Akal ialah inti pikiran (significatio), sedangkan nurani tak lain yakni mata hati (conscientia). 

Sastra menggunakan “akal-nurani” untuk menghadirkan keindahan dan kemarahan. Sementara politik sebaliknya, “memanfaatkan” kemarahan dan keindahan sebagai tameng untuk meraih kuasa serta takhta. 

Sastra dalam politik atau politik dalam sastra. Itu tak bisa terhindarkan dalam tatanan bernegara. Berkaca pada sejarah dunia, tidak sedikit para penyair yang akhirnya terjun ke ranah politik sebagai negarawan. 

Sekadar menyebut nama penyair Prancis Alphonse de Lamartine (1790-1869). Ia tidak hanya dikenal sebagai pesastra di negerinya, namun juga sejarawan dan negarawan. Kumpulan puisi pertamanya berjudul Méditations poétiques (Meditasi Puitis, 1820) begitu populer. Menjadikannya sebagai salah satu tokoh kunci gerakan romantis dalam sastra Prancis²

Pada 1847, Lamartine menerbitkan bukunya berjudul Histoire des Girondins (Sejarah Kaum Girondin). Subjeknya adalah sejarah, terkait dengan Revolusi Prancis, tetapi objeknya politis, menjelang revolusi. 

Buku tersebut membuat Lamartine sangat disanjung di kalangan kanan, moderat, dan partai-partai “sayap kiri” di negerinya. Buku itu dianggap sebagai karya terbesar abad ke-19. Masih dibahas di sejumlah perguruan tinggi hingga kini. 

Setelah Revolusi Prancis 24 Februari 1848, Republik Kedua diproklamasikan di Paris. Lamartine menjadi kepala pemerintahan sementara untuk waktu yang singkat. Salah satu reformasi yang disahkannya selama bulan-bulan awal Republik Kedua ialah penerapan hak pilih universal laki-laki dan penghapusan perbudakan di wilayah Prancis. 

Perlu diketahui bahwa Republik Kedua itu didirikan setelah rakyat Prancis menggulingkan Monarki Juli yang dipimpin Raja Louis-Philippe (1773-1850). Peranan Lamartine sebagai seorang penyair dan negarawan begitu dahsyat. 

Penyair Indonesia eksil 

Di Indonesia, revolusi juga pernah terjadi pada 30 September - 1 Oktober 1965. Tragedi itu selalu memiliki ingatan-ingatan tersendiri bagi masyarakat. Akibat peristiwa tersebut, dampaknya sangat meluas ke berbagai tatanan sosial masyarakat. 

Tidak sedikit para pelajar, dosen, penyair, seniman, dan jurnalis yang terpaksa dicap “kiri” dan harus tertahan di negeri orang. Padahal, mereka saat itu sedang dikirim bertugas dan belajar oleh Republik sebelum dan sesudah peristiwa 1965 terjadi. 

Saya melihat, ada tiga kategori kaum “Indonesia eksil”. Contohnya di Moskwa, Rusia, tempat saya mengais ilmu. Pertama, mereka dikirim Orde Lama sebagai tenaga pengajar dan ahli. Mereka secara resmi mendapat posisi untuk mengajar bahasa Indonesia di universitas-universitas ternama di Moskwa. Salah satunya, penyair Intojo

Kedua, mereka adalah para pelajar yang dikirim untuk belajar, namun tidak bisa pulang pascaperalihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Contohnya, Y P Sudaryanto, salah satu mahasiswa ikatan dinas dahulu. Kini, ia adalah tokoh senior diaspora di Rusia. 

Dan, ketiga ialah mereka yang benar-benar berprofesi sebagai pengarang, sastrawan, dan seniman profesional. Mereka tergabung sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia yang pernah ada di Republik ini. Contohnya, sastrawan Utuy Tatang Sontani (1920-1979). 

Para penyair Indonesia yang hidup di luar negeri setelah peristiwa 1965 telah menjadi fenomena dalam sastra Indonesia. Mereka dikenal sebagai “penyair Indonesia eksil” dan setia berkarya di negeri orang dengan menggunakan bahasa Indonesia. 

Berikut ini karya-karya enam “penyair Indonesia eksil” terbaik¹. Mereka dulunya memutuskan untuk menetap di negeri seberang karena paspor mereka disita dan dicekal oleh rezim Orde Baru. Mereka tinggal di berbagai kota besar di Asia dan Eropa, seperti di Beijing, Paris, Amsterdam, Berlin, Praha, dan Moskwa. 

Pertama, Soeprijadi Tomodihardjo, penyair, prosais, dan jurnalis. Ia lahir di Kediri, Jawa Timur, 1933. Menerbitkan beberapa kumpulan puisi dan cerita pendek (cerpen). Salah satu puisinya berjudul Suara Anak Semang, sedangkan kumpulan cerpennya berjudul Cucu Tukang Perang

Soeprijadi muda adalah mantan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ia pernah mengikuti rombongan 15 jurnalis PWI untuk meliput ke Beijing selama sebulan pada Oktober 1965. Situasi memanas di Tanah Air, ia memutuskan untuk tak pulang. 

Ia menerima tawaran kerja sebagai penerjemah di kantor berita setempat. Dari Beijing, Soeprijadi muda lalu pindah dan tinggal di Jerman. Karya-karyanya dimuat dalam Mimbar, Arena, dan Kreasi, baik dengan menggunakan nama asli maupun samaran. Berikut sajaknya. 

Anekdot-anekdot 

anekdot-anekdot 
sesamar kabut 
mengendap di tiap sudut 

mulut-mulut tergagap 
kata-kata terpelanting 
mencari rumusan 

desus kata menyindir 
rasa dengki mengalir 
bukan ronta terakhir 

kursi-kursi tak goyang 
muka tebal tak hilang 
deru angin tak kencang 

anekdot-anekdot 
di mulut badut 
masih terus menghibur 
hati yang hancur 
generasi yang tidur 

ah, revolusi 
demikianlah memang 
begitu damai dan tenang 

Kedua, Nurdiana, penyair perempuan. Menulis puisi dan esai. Karya-karyanya banyak dimuat di Kreasi. Sajak-sajaknya yang terkenal, antara lain Teluk Ha Long, Adat Hidup, Demi Laba, dan Tiran. Berikut salah satu sajaknya. 

Tiran 

Ada malaikat 
bukan akhirat 
tapi di bumi. 

Konglomerat-konglomerat 
cepat mencuat 
karena restunya. 

Berapa rakyat 
ditimpa kiamat 
di tangan sang Tiran? 

Ketiga, ialah Satyadharma alias ST Caniago, lahir di Sumatra Utara, pada 1930. Pendidikan akhirnya ia tempuh di Akademi Perguruan, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia mulai menulis sajak-sajaknya pada 1955. Satyadharma juga menjadi salah satu pendiri Stichting Budaya Amsterdam pada awal 1989. Berikut salah satu sajaknya. 

Nama 

Buat apa nama 
bagiku yang begini tua 

aku hanya ingin 
meninggalkan jejak 
walau samar-samar tampak 
meninggalkan belang 
seperti ngaum harimau meradang 

karena embik kambing 
hanya menimbulkan kasihan orang 

Sajak Anekdot-anekdot, Tiran, dan Nama memiliki tema yang kuat. Masing-masing penyair menghadirkan kritik tidak hanya terhadap rezim, namun juga diri sendiri. Satyadharma, misalnya, mempertanyakan apalah arti nama di saat usianya kiat peot dan menua. 

Sederhana dan realis 

Berbeda dengan tiga penyair awal, tiga penyair selanjutnya ini memiliki tema yang khas, sederhana, namun filosofis. Mereka begitu kuat mengusung tema realisme sosial sebagai ideologi dalam berkarya. 

Pertama, Agam Wispi, lahir di Langkat, 31 Desember 1930 dan wafat di Amsterdam, 1 Januari 2003. Ia adalah seorang penyair dan redaktur kebudayaan di sejumlah surat kabar di Medan, dari 1952 sampai 1957. Pada 1958-1959, ia pergi belajar jurnalistik di Berlin. 

Pada Mei 1965, Agam diundang ke Vietnam selama beberapa bulan dan sempat bertemu dengan Ho Chi Minh. Namun sejak itu, ia tidak bisa pulang ke Indonesia. Agam bermukim di Tiongkok, Jerman, dan Belanda. Berikut sajaknya. 

Kepada Penyair Asahan 

asahan, syukurlah kau punya tuhan tempat mengadu 
di dunia eksil penyair adalah yatim-piatu 
sasaran fikiran mapan yang kaya tabu 

asahan, syukurlah kau punya tuhan tempat berlindung 
kau menghidupkan kata, hantu nomenklatura 
       menghidupkan pentung 
sassus hasutan, diktator kecil seribut kaleng kosong 

asahan, penyair adalah pendahulu semangat zaman 
tak ada tokoh politik berani minta maaf 
      kepada mandelstam 
karena serangkum sajaknya mati disiksa 
     di siberia buangan

Kedua, Alan Hogeland alias Kamaludin Rangkuti, lahir di Binjai, 19 Oktober 1931. Ia menyelesaikan sarjana muda dalam bidang Bahasa dan Sastra Indonesia dan sempat mengikuti studi di Fakultas Hukum, Universitas Sumatra Utara³

Pada 1964, atas undangan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, ia berangkat ke Beijing menjadi tenaga pengajar di Universitas Beijing. Alan ambil bagian sebagai konsultan dalam penyusunan kamus Indonesia-Tionghoa. Pada 1985, ia pindah ke Belanda. Berikut dua puisinya. 

Yang Lapar 

Di panggung badut bersorak, 
Memindahkan duit penonton ke kantongnya, 
Di pentas negara koruptor menggalak, 
Memindahkan duit rakyat ke perutnya. 

Keduanya gembira, 
Lalu tertawa, 
Tak ada yang lucu, 
Mereka menari menurut lagu. 

Di seberang sana, 
Hidup tanpa lagu, 
Terjepit di celah batu, 
Semua membisu. 

Dua jenis kehidupan, 
Yang satu mewah berlebihan, 
Yang lain dahaga kelaparan. 

Bertanya sekuntum mawar, 
Apakah kaubiarkan mereka lapar? 

Sampai di Batasnya 

Kubuka jendela, 
Angin menerpa, 
Terasa segar, 
Tapi dada menggelegar. 

Sayup terdengar di telinga, 
"Kami kuyup di arus hidup." 

Keluh merayapi ladang-ladang yang lelah, 
Di bongkah-bongkah tanah kering merekah, 
Hidup tambah payah, tambah goyah, 
Meski bibir dan lidah terus menggugah. 

Segala tak berubah, 
Tidak berubah. 

Akan datang waktunya, 
Kesabaran sampai di batasnya. 

Dan terakhir ialah Awal Kembara. Ia lahir di Solo, Jawa Tengah, 1940. Mulai menulis sejak remaja dan karyanya  dimuat dalam ruangan Harian Rakyat Muda. Ia belajar di Akademi Sosial dan Politik di Jakarta dan juga di Akademi Bahasa dan Sastra Indonesia Multatuli, Jakarta. Pada 1965, ia mendapatkan beasiswa luar negeri untuk belajar ilmu sosial dan politik. Berikut sajaknya. 

Di Dalam Kubah 

aku yang terpental di sudut bumi ini 
beku dalam pencarian 
kuraba waktu 
dia menantang aku berpacu 

nafasku sesak 
dan aku berteriak 
tak ada jawab 
gema suaraku 
ditelan debu 

pelangi "persahabatan" menyumbat mulut 
     dan menutup mataku 
di tengah embun pagi dan bunga bermekaran 
dan ramainya dunia dalam kesibukan 
berdiri manusia buta, pekak dan bisu 
"dan itu adalah aku" 

Melalui karya-karya lawas enam penyair di atas, kita dapat melihat dan membaca kembali pemikiran “penyair Indonesia eksil” tersebut. Mereka menulis sebagai cara untuk menumpahkan ide-ide yang jernih dan bersih. Menjadikan sastra sebagai wadah pesan kemanusiaan. 

Agam dan para penyair lainnya hanya sebagian kecil dari perjalanan perpuisian Indonesia di negeri orang. Tentu, karya mereka tidak akan ditemukan dalam teks-teks buku pelajaran di sekolah atau di perguruan tinggi. Namun kiprah mereka sebagai manusia berbudaya, patut dan laik dikenang. 

Sebagaimana kejujuran hadir walau basah kuyup di arus hidup. Revolusi hanyalah bagian dari sejarah. Sebuah bangsa besar wajib menjadikan peristiwa-peristiwa di masa silam sebagai pedoman untuk membaca kembali arah mata angin menuju hari esok yang lebih cerah. Menggunakan “akal-nurani” dalam memaknai sastra dan politik sebaik-baiknya. (SK-1) 


 

Bacaan rujukan 

¹ Alham, Asahan (ed). Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil. Jakarta: Amanah Lontar, 2002. 
² Fortescue, William. Alphonse De Lamartine: A Political Biography. London: Palgrave Macmillan, 1983. 
³ Hogeland, Alan. Angin Menderu di Pucuk Bambu. Culemborg, Nederland: Stichting I.S.D.M (Instruksi, Studi, Diskusi, Manifestasi), 1992. 

 

 

 

 


Iwan Jaconiah adalah penyair, editor puisi Media Indonesia, dan kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin (Pentas Grafika, 2022), sebuah buku tentang kisah pelajar dan diaspora Indonesia dari Rusia. 

 

BERITA TERKAIT