23 June 2022, 16:00 WIB

Membaca Ibu, Puisi, dan Kopi 


Iwan Jaconiah  | Sajak Kofe

Ilustrasi: Sampul buku Maria Sopamena.
 Ilustrasi: Sampul buku Maria Sopamena.
   

SETIAP puisi senantiasa memiliki makna dan pesan tersirat bagi mereka yang menuliskannya. Puisi-puisi yang terlahir dari suatu rintihan jiwa, pengakuan, dan penindasan selalu akan dikenang abadi oleh para pembaca. 

Karya penyair berkewarganegaraan Amerika Serikat, Sylvia Plath (1932-1963), misalnya, memiliki pesan khusus lewat gaya puisi pengakuan yang membuatnya menjadi bagian utama dalam sastra Amerika. Cara Plath menyoroti ketidakadilan peran berbasis seks dan perawatan psikiatri membuatnya penting bagi sejarah. 

Salah satu puisi terkenalnya berjudul Bunga Poppy di Bulan Oktober. Meskipun puisi ini memberikan anggukan pada upaya bunuh diri Plath sendiri, namun hal itu adalah rujukan. Ia alamatkan kepada seorang gadis dalam ambulans yang hatinya disamakan dengan bunga poppy yang sedang memerah cerah dan mekar. 

Puisi tersebut juga merupakan contoh baik tentang bagaimana Plath dapat dipandang sebagai seorang modernis. Makna pesan begitu ekspresif dan hampir imagistik, semacam penampil gambar serbaguna. Terutama, dalam pendekatan estetik puisi yang berkembang sebelum Perang Dunia II. 

Setiap penyair memiliki cara tersendiri di dalam menerjemahkan pengalaman-pengalaman mereka. Begitu pula penulis puisi asal Maluku, Maria Sopamena. Ia berhasil mengabadikan pengalaman sehari-hari ke dalam karya. Semuanya terangkum lewat kumpulan puisi terbaru Maria berjudul Ona Poppy, Puan Ikal' (Jakarta: Teras Budaya, cetakan pertama Desember 2021). 

Judul buku tersebut mengingatkan kita kepada bunga poppy dalam puisi Plath, namun di sini Maria menghadirkan pesan dan tema berbeda dalam antologi puisinya. Poppy sendiri adalah sapaan Maria kecil. Ia menjadikan nama panggilan kesayangannya itu sebagai bagian penting dalam judul buku. 

Mengamati karya Maria, memberikan sebuah pesan keibuan. Ia mengusung tema universal. Sebagaimana juga selalu diusung penyair perempuan lainnya. Sekadar menyebut nama penyair asal Turki, Nilgun Marmara (1958-1987). Tema Marmara cukup lekat akan kehidupan rumah tangga, pergunjingan isi dapur, dan persoalan-persoalan sehari-hari.

Memang menarik untuk ditelaah sekaligus dicermati akan karya penyair perempuan sambil menyeruput secangkir kopi. Begitu pula, karya penyair Indonesia, seperti Avianti Armand. Lewat buku kumpulan puisinya Buku Tentang Ruang (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016), ia mengupas persoalan perempuan yang intuitif dengan pendekatan keakuannya. Mudah dipahami siapapun secara logis. 

Setiap penyair perempuan memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Maria, contohnya, juga mengusung ruang imajinasi sebagai kekuatan linguistik kognitif lewat karya. Ia menulis puisi, namun baru berani untuk menerbitkannya beberapa tahun belakangan ini. 

Perempuan kelahiran Ambon, 10 Maret 1975 itu sebelumnya telah meluncurkan buku kumpulan puisi pertamanya, Titik di Atas Koma (2020). Diterbitkan oleh penerbit indie yang sama di Jakarta. Mengusung tentang rintihan hati seorang ibu.

Bahasanya puitis, penuh makna, dan sederhana. 

Membaca buku Ona Poppy, Puan Ikal, memberikan gambaran memukau tentang persoalan sehari-hari yang Maria rasakan. Mulai dari rumor di meja makan, cuaca musim panas, kebutuhan pangan di dapur, sampai dengan suara jeritan hatinya sebagai sesosok ibu dua anak. 

Tengok saja puisi Aku, Kopi, dan Fajar (hlm 36). Bunyinya: Aku bukan pecinta kopi/ tapi fajar menghujam pinar/ menantang selaput mata/ aku seruput penuh birahi// Entah kenapa/ mungkin pagi ini/ seduhan aroma kopi/ menggeliat manja tanpa henti// Aku, kopi, dan fajar/ bercumbu sesaat/ menggelitik sunyi/ tak berkawan//

Begitu pula, puisi metafora Maria lainnya berjudul Koja (hlm 55). Mengedepankan unsur kognitifnya. Berikut pertilan puisi tersebut: Ah, kopi hitam/ sepahit lekuk hayat/ cicipi dengan sukma/ gairahkan raga// Ah, jahe merah/ sehangat pusaran napsi/ nikmat dengan hening/ buana tersipu// Ah, koja/ terpukau aku//

Hubungan antara penyair dan lingkungan begitu kuat. Maria mampu menerjemahkan kopi dan jahe sebagai kekuatan imajinatif. Dua unsur itu saling mengikat erat sehingga membuat puisi tersebut seakan memiliki roh dan jiwa sendiri. 

Linguistik kognitif 

Menilik puisi Koja secara lebih mendalam, misalnya, patut kita berkaca pada teori representasi yang mendorong munculnya linguistik kognitif. Teori tersebut dijabarkan oleh filolog dari Universitas Yale, Wallace Chafe (1927-2019). Ia menyatakan bahwa manusia mampu berhubungan dengan lingkungannya sebab kemampuan untuk berimajinasi dan menciptakan representasi tentang dunia sekitarnya. 

Lewat kajian Chafe, maka dapat diterjemahkan bahwa struktur pencitraan skematik dan pemetaan metaforis menjadi penting dalam puisi Koja. Maria memaknai objek yang dilihat atau hal yang dirasakannya. Artinya, apa yang ia alami telah berhasil dituangkan ke dalam puisi sebagai sebuah pencitraan skematik. 

Kopi sebagai kebutuhan sehari-hari. Senantiasa disuguhkan setiap pagi, siang, dan malam. Begitu pula jahe yang selalu digunakan sebagai penambah cita rasa dalam kopi. Nah, menariknya diksi kopi di sini bisa bermakna kehidupan yang penuh liku-liku. Terkadang manis dan kadang pula pahit. 

Maria tidak sekadar mengadopsi linguistik kognitif, namun ia juga mengungkapkan hal-hal menggelitik yang dirasakannya secara pribadi. Tengok saja sebuah puisi lainnya berjudul Tianmar (hlm 60). Bunyinya: Cinta tak biasa/ menemukan jalan takdir/ tanpa sepatah kata/ menembus getaran sukma/ menjelma pada rindu/ menua bersama/ Tianmar, itu kita//. 

Lewat puisi Tianmar, ada pesan khusus bahwa sebuah keluarga merupakan harta terindah di dunia. Apapun keadaannya, baik suka maupun duka, maka tempat berteduh adalah rumah. Sudah pasti, Maria sebagai seorang ibu ikut berperan sebagai penyejuk rumah bagi anak-anaknya yang senantiasa bersandar dan bercengkrama erat. 

Kumpulan puisi Ona Poppy, Puan Ikal memuat 60 puisi. Maria menuliskan setiap puisi tanpa titimangsa. Hal ini memberikan penafsiran berbeda dari setiap pembaca. Perihal latar belakang tempat dan tahun penulisannya. Memang disengajakan atau dibiarkan kosong begitu saja. Meski begitu, setiap puisi mengandung pesan secara berbeda-beda.

Maria telah menghadirkan ide-ide cemerlang, tidak terikat bentuk, dan tidak berpatok pada suatu tema tertentu. Itu menjadikan karya-karyanya kian kaya sehingga laik untuk ditelaah oleh mahasiswa, dosen, dan penikmat puisi di Republik ini. 

Kini, Maria menambah daftar panjang perjalanan penyair hebat asal Maluku. Ia adalah generasi berbeda setelah sederet nama-nama sebelumnya. Sebut saja, D W Syaranamual (1926-1950), F L Risakotta (almarhum), Yvonne de Fretes, dan Dino Umahuk. 

Ada kekuatan dan kelembutan Maria tuangkan secara jujur, sederhana, dan lurus. Inilah kekuatan seorang ‘Puan Ikal’ dari Maluku yang kini berdomisili di Manado, Sulawesi Utara sebagai seorang sutradara. Ia memilih puisi ibarat mendayung kole-kole. Ya, untuk melayari samudra kata-kata yang adakalanya bergelombang api. (SK-1) 

 

Baca juga: Sajak-sajak Fanny Poyk

Baca juga: Sajak-sajak Revina Indrianti

Baca juga: Sajak-sajak Anna Akhmatova

 

 

 

 

Iwan Jaconiah adalah penyair, editor puisi Media Indonesia, dan penulis buku Hoi!, sebuah kumpulan puisi tentang kisah diaspora Indonesia di Rusia. 

BERITA TERKAIT