Ilustrasi: Broy Godoy
Selimut Duka
Terkapar sejumlah tisu,
lantai kusam yang masam,
menyisakan dingin termaktub,
pada malam resah, sebab
sunyi datang tinggal sepi.
Tidur berselimut duka,
menenggak air mata jatuh,
basahi luka; ingatan berjamur,
berharap gugur segala rindu,
kusepak debu biar angin sendu.
Jakarta, 2022
Wajar atau Kurang Ajar
Aku pikir kecantikanmu kurang ajar,
menyelinap masuk ke kepalaku,
menjadi ingatan-ingatan tak wajar.
Tubuh molekmu terpaku
di meja berserakan kata kelabu,
mencari secarik kertas putih berdebu,
menjadikan rindu sebagai sebait lagu.
Lantunkan nada maha sendu,
keinginan jemari biarkanlah kaku,
kenangan dan genangan belum berlalu
diinjak, dilupakan, atau dibiarkan saja begitu.
Jakarta, 2022
Ilalang dan Senja
Aku rela mati serupa ilalang,
dicabik segerombolan domba lapar,
dan bersemayam di perut yang kenyang.
Barangkali gairah senja hilang,
habis makna dalam secangkir kopi,
merapal kompilasi musik indie,
ah, aku setengah mati kau buat begini!
Jakarta, 2022
Kentut
Puisiku terdengar lirih,
persis suara kentutmu,
teduh merintih sedih.
Kata-kata kian meringkuk,
meninggalkan tawa yang terlukis
momen kala jemari dan kaki ditekuk
menyentuh perlahan, pipi yang terkukus.
Sunyi mampir perlahan,
mata rindu sambut rembulan,
menjadikan api asmara menyala,
membakar rasa malu; kini puisiku
dan kentutmu, bercampur abu di jemala.
Jakarta, 2022
Terbasmi Ingatan
Buat apa cinta beradu,
bila hati dan kepala tak bersatu.
Ruang dada ringkih tanpa bunga,
jika kata dan makna tiada bersua.
Kasihmu berkelanan bikin mati suri
ingatan-ingatan purba pun terbasmi.
Jakarta, 2022
Mata Pecundang
Aku mengingatmu
serupa mata pecundang,
mengoyak dan melebur mimpi
Ada gerimis terkulai di tepi jalan;
bertopang dagu, tak sempat dengar lagu,
rintih hatinya menjelma irama maha sendu.
Jakarta, 2022
Dalam sapuan memori petang, jemari-jemari saling mengutuk.
Menanti Puan
Bukan keinginan sendiri
meludahimu dengan puisi,
namun lama kumenanti,
hanya perasaan tiada dan ilusi.
Perlahan-lahan mengetuk pintu hati,
untuk menawarkan sebuah kasih dini.
Detik demi detik terlewati,
ada bayang tercetak di sini,
menggeletak huruf dan notasi
Ihwal sepasang mata pemalu,
mengungkap cinta campur ragu.
Jakarta, 2022
Lenyap Senyap
Menyapa belatung yang sibuk,
memilah tikus tewas membusuk,
selaiknya anak hari berguguran,
tanpa kesan berlabuh di ini mata,
tak ada makna meringkuk di kakinya.
Memenggal kata merangkai dusta,
yang menyelinap di bibir sebagai janji,
kerap sulit ditepati akhirnya mati menjadi,
bangkai dikerubungi lalat tak berbudi,
mencumbui bakteri hingga pula lenyap,
seiring waktu berjejalan, pergi senyap
Jakarta, 2022
Redam Geram
Kusematkan doa-doa,
pada jaket jins yang lusuh,
tentang siang tak lagi terik,
dan ihwal malam tiada gigil.
Meredam geram kekasih,
yang merekati alunan melodi,
kisah menyelinap di kaki berdebu,
merasuki kalbu sebagai cinta semu.
Menambal lubang hati,
ketika puisi kutulis kembali;
rindu menyapa begitu lembut,
di antara rambutmu yang jelita,
angin petang menyisakan asa,
berguguran di tubuh yang ringkih,
aku menjauhi sunyi mendekapi pantai,
saat debur ombak menantang tebing tinggi.
Jakarta, 2022
Malam Gelisah
Malam gelisah, lama tak berdesah,
ranjang tuk berdua tak bersua kisah,
kurindu bibirmu mengigit bak bocah
yang sedang asyik menyantap bolu.
Kerinduan perlahan tewas di mata,
kau menjauh untuk memilih waktu,
berjalan selaik memegang belati,
menikam perutku yang lapar ini.
Darah mengalir bercampur air mata,
cinta bergelimang dusta di bantal,
tempat kau kecup kening seorang pria,
yang terlelap lalu terbangun.
Mentari masih saja menyinari,
walau jiwaku mendekap hampa.
Jakarta, 2022
Si Bebal
Di kepalaku yang bebal;
ada celeng-celeng menulis puisi.
Anjing-anjing syahdu bernyanyi
dan kucing-kucing bermadu setiap pagi.
Sedang tubuh penetrasi
menikam bayangan sendiri.
Ah! Si bebal bermodal motivasi.
Jakarta, 2022
Tewas
Terperosok ke jurang,
menganga penuh dosa,
membiak bangkai manusia,
dikerubungi para belatung
yang sedia menyantap luka.
Tangisan penyesalanmu,
selayaknya gumpalan debu,
bergumul di lekuk bibir berabu.
terbebas janji yang kini pergi.
Darah amis menyeruak,
mengental di ujung hidung,
menyentak terngiang-ngiang,
dalam sapuan memori petang,
jemari-jemari saling mengutuk,
siapa lebih dahulu bergegas pergi,
hanya akan menyisahkan yang tak pasti.
Jakarta, 2022
Baca juga: Sajak-sajak Antonius Tanan
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Ardhi Ridwansyah, menekuni dunia tulis-menulis, kelahiran Jakarta, 4 Juli 1998. Alumnus S1 Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta (2020). Puisi-puisinya tersebar di sejumlah media daring dan surat kabar. Salah satu puisinya berjudul Memoar dari Takisung termaktub dalam buku antologi puisi Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019, Kalimantan Selatan. Sehari-hari bekerja sebagai wartawan di sebuah media massa di Jakarta. (SK-1)