Kau Putuskan, Aku Pun Terima
Kau sudah putuskan, aku pun begitu
melupakan dan menghapus kenangan,
merapal doa atau mengusap ini mata,
tebing-tebing terjal, jejak di tapal kuda.
Aku bisa saja meminta penyihir
menutup fitnah dalam riaknya air
pun juga dapat mengirimkan hadiah
saputangan wangi yang berharga.
Tak perlu erang menengok ke belakang
tak usah kau sentuh jiwa yang terkutuk
bersumpah demi taman para malaikat,
doakanlah ikon-ikon agar jiwa tenang,
habis sepuntung malam di perapian —
tak akan pernah kembali aku padamu.
1921
Raja Bermata Abu-Abu
Kemuliaan bagimu walau pupus harapan!
kemarin raja bermata abu-abu berpulang.
Malam musim gugur pengap memerah kesumba,
suamiku tiba di rumah, sembari berbisik tenang:
“Aku lihat, para prajurit menggotong raja dari perburuan,
tubuhnya ditemukan tergeletak di samping oak tua."
Oh, ratu yang malang. Alangkah muda usiamu!
Hanya dalam semalam sukmamu pun merana.
Di tungku perapian, aku mendapati cangklong
bergegas keluar mengais rejeki di pekatnya malam.
Kubangunkan perlahan putriku sejenak,
menatap lembut mata abu-abunya yang bening.
Di luar jendela, reranting poplar berdesir riuh:
"Raja pergi selamanya. Semoga tenang jiwanya..."
1910
Cinta
Serupa ular liliti bola
menyulap hati sendirian,
Seperti kicauan burung dara
hinggapi jendela yang berjelaga.
Cinta berkedip mata saat bulir embun beku,
tampak bagai pangeran sedang tertidur pulas...
namun tetap setia dan tenang ia menunggu
akan kabar sukacita dan damai.
Ia tahu bagaimana berparas manis
merapal doa-doa diiringi biola rindu,
aku gusar salah menebak arti kasih
sebab senyummu terlanjur asing bagiku.
1911
Sebuah syair adakalanya terdengar seperti sebuah lonceng kematian.
Hidup Sederhana dan Bijaksana
Aku belajar hidup sederhana dan bijaksana,
menatap langit dan berdoa kepada Tuhan,
mengembara jauh sebelum petang tiba,
menghilangkan kecemasan yang sia-sia.
Saat kemuning berdesir di jurang derita
dan seikat akar kuning memerah terkulai,
aku akan menulis ayat-ayat penuh sukacita
Tentang kehidupan singkat, fana, dan indah.
Setiba di rumah, seekor kucing berbulu halus
menjilati telapak tangan lalu mendengkur manis,
api unggun masih menyala, menerangi malamku
menjulang tinggi dari menara di tepian danau.
Sesekali kudengar tangisan bangau
terbang merendah dan memecah sunyi di atap
jika kau berkeinginan mengetuk pintu rumahku,
barangkali aku tak akan pernah mendengarmu.
1912
Kita
Siapa kita?
apa bertemu di sini
atau pernahkah berbagi kasih?
1943
Janganlah Heran Jika Mendengar Lonceng Kematian
Janganlah heran jika sebuah syair adakalanya
terdengar seperti sebuah lonceng kematian.
Di sini sepi! Aku sudah di tepian Acheron
tiga perempat pembacaku ada di sini.
Teman-temanku! Mereka masih tersisa beberapa,
yang paling terakhir, aku lebih menyayanginya...
oh, betapa pendeknya perjalanan, namun
kenangan terasa begitu panjang sekali.
1958
Baca juga: Sajak-sajak Fahira Rayhani
Baca juga: Sajak-sajak Maria Regine
Baca juga: Sajak-sajak Renggi Putrima
Anna Andreyevna Gorenko, lebih dikenal dengan nama pena Anna Akhmatova. Ia adalah seorang penyair modernis Rusia, kelahiran Velykyi Fontan Cape, Kekaisaran Rusia (kini; Odessa, Ukraina), 23 Juni 1889 dan meninggal di Domodedovo, Moskwa Oblast, Rusia, 5 Maret 1966. Akhmatova menyaksikan perubahan zaman di negaranya. Dia selamat dari dua perang dunia, Revolusi Rusia dan Pengepungan Leningrad oleh tentara Nazi Jerman. Akhmatova menulis puisi pertamanya pada usia 11 tahun dan sampai akhir hidupnya dia tidak berhenti belajar puisi. Pengalih bahasa dari bahasa Rusia ke bahasa Indonesia oleh Iwan Jaconiah. Ilustrasi: Potret Anna Akhmatova, tinta di atas kertas, 32.2 x 22.8 cm, 1912, karya Yuri Annenkov. (SK-1)