PERLINDUNGAN para pekerja Indonesia, khususnya perempuan, dari ancaman kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja dinilai sudah sangat urgen. Kasus pegawai perempuan di Cikarang yang diajak staycation untuk perpanjang kontrak atau pelecehan karyawati pabrik garmen di Jepara, hanyalah puncak gunung es dari fenomena kekerasan seksual di tempat kerja.
Itu harus disikapi serius mengingat angkatan kerja perempuan sebagai kelompok yang rentan di dunia kerja cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perempuan pekerja pada 2022 mencapai 52,74 juta atau 38,98% dari total pekerja di Indonesia.
Apalagi, ada sejumlah sektor dengan pekerja perempuan yang dominan seperti industri garmen dengan kasus kekerasan seksual yang terbilang tinggi. Untuk itu, aturan tentang perlindungan dari kekerasan seksual di tempat kerja harus terus dikuatkan.
Karena itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menerbitkan aturan terbaru, yakni Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.
Aturan itu merupakan pembaruan dari Surat Edaran (SE) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Terlebih, diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual membuat perlu adanya sinkronisasi dan penguatan pedoman teknis mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada SE tersebut.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah berharap Kepmenaker itu dapat memberikan acuan dalam upaya pencegahan, penanganan, dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja. Dengan begitu, lingkungan kerja yang kondusif, harmonis, aman, nyaman, dan bebas dari tindakan kekerasan serta pelecehan seksual dapat terwujud.
Baca juga: Kekerasan Seksual Bermodus Perpanjang Kontrak terhadap Karyawati di Cikarang Sudah Jadi Rahasia Umum
“Pedoman pencegahan seksual ini amat urgen. Kasus perpanjangan kontrak di Cikarang sebagai fenomena gunung es. Kami harus siap memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan,” ungkap Menaker, belum lama ini.
Kehadiran satgas
Kepmenaker No 88/2023 memiliki sejumlah ruang lingkup, di antaranya hal-hal terkait dengan kekerasan seksual di tempat kerja, upaya pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja, hingga pengaduan, penanganan, dan pemulihan korban pelecehan serta kekerasan seksual di tempat kerja. Kepmenaker juga memuat pembentukan, fungsi, dan tugas Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.
“Di Kepmenaker ini mempertegas adanya satgas yang menerima aduan dari korban baik manajemen, serikat pekerja/serikat buruh atau kedua pihak. Kedua pihak bisa jadi pelaku kekerasan seksual dan Kepmenaker tidak membeda-bedakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan,” jelas Ida.
Baca juga: Butuh Solusi Atasi Kekerasan Seksual di Industri Garmen
Pada Kepmenaker itu, semua stakeholder berperan mencegah kekerasan seksual di tempat kerja. Pengusaha, misalnya, berperan menyusun dan menginformasikan kebijakan serta memastikan tidak terjadinya tindak kekerasan seksual di tempat kerja.
Dalam pemulihan korban, perusahaan juga bertanggung jawab, antara lain memastikan korban tidak mendapat tindakan balasan dari pihak yang diadukan. Selain itu, perusahaan wajib menjamin korban tidak menderita kerugian akibat kekerasan seksual di tempat kerja, seperti penurunan pangkat dan penolakan promosi.
Untuk mendukung implementasi aturan itu, stakeholder ketenagakerjaan yang terdiri atas unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh telah mendeklarasikan komitmen bersama untuk melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja. Deklarasi digelar di Kantor DPP Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Jakarta, Kamis (1/6).
“Deklarasi bersama ini sangat penting karena keberhasilan pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja bisa terwujud jika ada komitmen dan persepsi sama dari pelaku hubungan industrial,” tutup Menaker. (RO/S-3)