ASOSIASI Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto mengatakan berbicara mengenai masalah proses dari hilirisasi dan pelarangan ekspor, ini satu hal yang sangat berbeda. Dia mengatakan bila dikatakan pelarangan ekspor akan memancing terjadinya hilirisasi, konsep ini tidak sejalan.
"Artinya tidak paralel, atau tidak bisa dikatakan itu benar sepenuhnya," kata Ronald dalam diskusi publik INDEF "Larangan Ekspor Bauksit dan Dampaknya", Rabu (1/6)
Dia menjelaskan hilirisasi adalah proses panjang untuk bauksit yang sudah dilakukan sejak Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengamanatkan pelarangan ekspor mineral mentah. Kemudian Undang-undang Minerba nomor 4 tahun 2009 oni diberlakukan pada Januari 2014.
Baca juga: Indonesia Tegaskan Siap Pasok Baterai Kendaraan Listrik ke AS
"Yang terjadi kemudian adalah bahwa yang bisa mengejawantahkan perintah undang-undang nomor 4 itu hanya 1 perusahaan yaitu PT PT Well Harvest Winning (WHW) Alumina Refinery, di bawah Harita Group. Bayangkan dari 2009-2014, ada lebih dari 70 pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), lebih dari 40 pemegang Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), tapi yang bisa merealisasikan hanya satu," kata Ronald.
Dia katakan betapa sulitnya pada saat itu untuk mendapatkan investor, karena biayanya cukup mahal untuk membangun smelter pemurnian bauksit.
Baca juga: Penghiliran Industri SDA Dorong Transaksi Berjalan ke Level Positif
Sementara sebenarnya sejak penambangan material mentah hingga menjadi bauksit telah melalui banyak proses, seperti yang dilakukan dari sejak penambangan sampai menjadi bauksit, itu sudah ada proses seperti regrading, sizing, dan lain sebagainya yang bisa memproses dari material mentah sebanyak ukuran berat 1 juta menjadi menjadi 500 ribu.
"Inilah loncatan antara benefisiasinya/ peningkatan nilai manfaat. Bukan kita menjual tanah negara begitu saja, karena sudah ada proses hingga menjadi bentuk bauksit. Hanya memang prosesnya belum setinggi kalau diproduksi lebih lanjut ke alumina. Tapi untuk prosesnya juga bukan pekerjaan ingan karena loncatannya dari bauksit langsung alumina. Tidak ada tingkatan yang bisa kita buat bertahap," kata Ronald.
Sehingga biaya yang dikeluarkan juga loncat, sampai kepada pemurnian di dalam smelter itu sendiri. Sehingga kalau bauksit atau alumina itu dipanaskan sedikit lagi maka akan menjadi di aluminum.
"Jadi proses panjangnya ada di alumina. Kalau nanti di aluminium tinggal butuh power plant yang besar," kata Ronald.
Berlakunya larangan ekspor bauksit mulai 10 Juni 2023, maka seolah seperti mengulang mengulang kasus-kasus lama yang sebetulnya sudah terdeteksi. Sebab dengan adanya pelarangan ekspor bauksit mentah, belum tentu akan timbul hilirisasi, terutama apabila tidak ada dukungan dari pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah, terkait akses pendanaan, dan area operasi.
"Sebab bila pengusaha saja sebagai pemegang kendali usaha diserahkan tugas yang begitu berat tanpa ada bantuan dari pemerintah rasanya nonsense," kata Ronald.
Kalau dihubungkan dengan keberhasilan di pengolahan nikel yang hanya sampai pada feronikel, dia katakan prosesnya tidak bisa disamaratakan. Di sektor nikel hingga ke feronikel, investasinya tidak terlalu mahal dibandingkan bauksit.
"Kami di sektor pemurnian bauksit di WHW tahap pertama hampir 10 tahun juga belum terlihat (hasil), karena ada biaya yang terus berkembang, perubahan teknologi harus disesuaikan dan lain sebagainya," kata Ronald.
Berkaca dari China, kata Ronald, dimana industri pemurnian dan pemrosesan bauksit menjadi aluminium, dibantu peran pemerintah untuk industri, melalui insentif pendaan melibatkan BUMNnya, ditunjuk area operasinya, sarana prasarana sudah dibangun, dan pengusaha tinggal bangun smelter dan pabrik.
Sedangkan pengusaha bauksit di Indonesia, kata dia, sejak mengurus perizinan sampai proses seolah dilepas di hutan belantara. Ditambah perusahaan juga sering mendapat ancaman/ serangan dari oknum di daerah setempat.
"Kami waktu di WHW, proses baru kira-kira 20% sudah dibakar areanya. Mungkin karena tidak suka kalau ada China-nya masuk dan sebagainya. Ini proses panjang yang akan menjadi traumatik bagi investor-investor untuk datang. Sampai hari ini WHW di proyek 1 itu belum kembali modalnya," kata Ronald. (Try/Z-7)