15 March 2023, 18:43 WIB

Menkes Sebut Harga Mahalnya Harga Obat di Indonesia Berkaitan Biaya Pendidikan Kedokteran


M Iqbal Al MAchmudi | Humaniora

Antara/Anis Efizudin
 Antara/Anis Efizudin
Ilustrasi penjualan obat

MENTERI Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, tingginya harga obat di dalam negeri bukan karena pajak, namun ada keterkaitannya dengan biaya pendidikan kedokteran yang mahal.

Ia memaparkan seorang dokter membutuhkan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) untuk bisa praktik, namun STR dan SIP tidak lah murah, yaitu sekitar Rp6 juta per orangnya dan per tahun penerbitan STR dan SIP mencapai 77 ribu peserta.

"Aku kan bankir, 77 ribu dikali Rp6 juta kan Rp430 miliar setahun. Oh, pantas ribut," ucap Budi Budi dalam Public Hearing di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, (15/3).

Baca juga : 3 Ribu Daftar Inventarisasi Masalah di RUU Kesehatan

Tidak sampai disitu, untuk mendapatkan STR seorang dokter membutuhkan 250 Satuan Kredit Partisipasi (SKP) yang didapatkan dengan cara mengikuti seminar dan hanya mendapatkan 4 STR sekali seminar dengan biaya seminar sekitar Rp1 juta. Sehingga jika seseorang yang ingin lulus harus menanggung biaya tersebut.

"Jadi kalau ada 250 SKP per tahun, menjadi Rp62 juta, dikali 140 ribu jumlah dokter, itu kan Rp1 triliun lebih. Kan kasihan dokternya, karena mereka harus membayar kalau dokternya nggak bayar, nanti dibayarin orang lain, dan obat jadi mahal karena sales and marketing expenses jadi naik. Menderita juga rakyatnya," ungkapnya.

Baca juga : Lolos Uji Klinis, OMAI Fitofarmaka Bisa Diresepkan Dokter

Tingginya harga obat pun menjadi efek domino dari tingginya STR dan SIP yang membebankan dokter untuk praktik. Sehingga, harganya pun dipengaruhi dari faktor biaya penjualan dan pemasaran yang dibebankan pada harga obat. 

Perbandingan harga obat di dalam dan luar negeri termasuk signifikan, jika obat di dalam negeri harga normalnya Rp4 ribu namun di luar negeri hanya Rp1.000.

"Kalau beda pajak, bedanya persen dong, 20 persen, 30 persen. Kalau di luar negeri Rp1.000, di Indonesia Rp4 ribu, itu namanya kali lipat, bukan persen lagi jadi empat kali, tiga kali, itu enggak mungkin urusan pajak. Kalau pajak tuh beda 30 persen, 40 persen," ujarnya.

Di sisi lain, lanjut Menkes, juga terjadi jasa titip (jastip) obat karena perbandingan harga obat yang dinilai cukup tinggi tersebut.

"Ada obat kanker di Malaysia kita harga segini tapi di kita lebih tinggi semuanya lebih mahal dan pajak, banyak yang nyalahin pajak kan. Aku bingung dan minta bandingin harga obat di dalam dan luar negeri, dan ternyata ada jastip," pungkasnya. (Z-5)

BERITA TERKAIT