Upaya pencegahan dan penanggulangan hipertensi dimulai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke arah yang lebih sehat. Sehingga peran puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar perlu melakukan pencegahan primer yaitu kegiatan untuk menghentikan atau mengurangi faktor risiko hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi.
Berbagai upaya bisa dilakukan dengan cara makan cukup sayur-buah, rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktivitas dan tidak merokok.
"Puskesmas juga perlu melakukan pencegahan sekunder yang lebih ditujukan pada kegiatan deteksi dini untuk menemukan penyakit. Bila ditemukan kasus, maka dapat dilakukan pengobatan secara dini. Sementara pencegahan tertier difokuskan pada upaya mempertahankan kualitas hidup penderita. Pencegahan tertier dilaksanakan melalui tindak lanjut dini dan pengelolaan hipertensi yang tepat serta minum obat teratur agar tekanan darah dapat terkontrol dan tidak memberikan komplikasi seperti penyakit ginjal kronik, stroke dan jantung,” kata Sekjen Perhimpunan Hipertensi Indonesia atau Indonesian Society of Hypertension (InaSH) dr Djoko Wibisono, Jumat (24/2).
Penanganan respons cepat juga menjadi hal yang utama agar kecacatan dan kematian dini akibat penyakit hipertensi dapat terkendali dengan baik. Pencegahan tertier dilaksanakan agar penderita hipertensi terhindar dari komplikasi yang lebih lanjut serta untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang lama ketahanan hidup. Untuk mendeteksi atau menegakkan diagnosis penyakit hipertensi, sangat sederhana yaitu dengan mengukur tekanan darah menggunakan tensimeter.
Hipertensi ditegakkan bila tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Pengobatan atau penatalaksanaan hipertensi membutuhkan waktu lama bahkan seumur hidup dan harus terus menerus secara konsisten. Jika modifikasi gaya hidup tidak menurunkan tekanan darah ke tingkat yang diinginkan, maka harus diberikan obat. Sarana dan prasarana untuk diagnosis dan mengobati hipertensi, termasuk mendeteksi kemungkinan terjadi kerusakan organ target atau komplikasi pada dasarnya sudah tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan.
"Melalui Puskesmas dan Posbindu PTM masyarakat cukup mendapat kemudahan akses untuk mendeteksi atau monitoring tekanan darah nya. Jika mampu membeli tensimeter sendiri untuk memonitor tekanan darah keluarga secara rutin akan lebih baik. Namun yang paling penting adalah meningkatkan perilaku hidup sehat," ujarnya.
Ketua InaSH dr Erwinanto menjelaskan jumlah penyandang hipertensi di Indonesia tidak berkurang dalam satu dekade terakhir. Riskesda 2018 menunjukkan prevalensi hipertensi adalah 34,1%, tidak berbeda dengan hasil survey nasional 2007 yang besarnya 31,7%. Tidak berubahnya jumlah penyandang hipertensi dari tahun ke tahun bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain termasuk negara maju seperti Amerika Serikat. Tingginya jumlah penyandang hipertensi menjadi beban berupa tingginya angka kesakitan dan kematian penyakit jantung, stroke dan gagal ginjal kronik.
"Hipertensi bertanggung jawab terhadap sebagian beban biaya yang tinggi untuk penyakit jantung-pembuluh darah, stroke dan gagal ginjal di Indonesia," kata Erwinanto. (OL-12)