WANGI aroma daun tembakau kering menyambut siapa pun yang memasuki jalan utama Desa Reco, di Lereng Gunung Sindoro, Wonosobo. Desa itu dikenal sebagai penghasil tembakau sejak era kolonial Belanda. Kolonialisme juga membekas di gaya arsitektur yang masih terlihat jelas di rumah-rumah warga. Beberapa rumah sekaligus menjadi gudang tembakau kering, membentengi jalur pendakian Alang-Alang Sewu di Dusun Anggrunggondok, jantung Reco.
Pertengahan Juli, masyarakat Reco biasanya sudah memulai persiapan panen tembakau. Dimulai dari membersihkan peralatan, seperti cacak dan gobang, sebutan alat rajang tembakau. Begitu juga dengan rigen, para-para dari anyaman bambu untuk menjemur tembakau yang telah dirajang. Pada zaman dahulu, untuk mengawali musim panen petik tembakau, wajib digelar sebuah ritual kuno, bernama wiwit methik sata atau mengawinkan tembakau di lahan warga. Upacara itu diisi pengucapan mantra atau doa untuk meminta izin sekaligus mengharapkan kelancaran memanen tembakau.
Penghafal mantra terakhir
Mbah Tito, tetua adat Desa Reco yang berusia sudah lebih dari 60 tahun, menjadi satu-satunya pemimpin ritual yang masih hafal urutan upacara, mantra, hingga syarat, seperti sesajen yang harus dipenuhi.
Menurut Mbah Tito, wiwit methik sata masih banyak dilaksanakan hingga awal 1990-an. Namun, ketika krisis moneter menghantam Indonesia, ritual itu seakan dilupakan warga karena pelaksanaannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Diperparah lagi dengan harga jual tembakau yang ikut turun. Hingga akhirnya, para petani lebih memilih untuk memikirkan cara bertahan hidup. Namun, tidak bisa dimungkiri bila ritual serupa masih banyak dipertahankan di Lereng Sindoro-Sumbing yang membentang di wilayah Keresidenan Kedu, Jawa Tengah.
Namun, kata Mbah Tito, setiap desa memiliki mantra dan ubarampe atau keperluan yang harus disiapkan untuk kelengkapan ritual. Pada masa yang lebih lampau, wiwit methik sata diadakan para petani di ladang masing-masing karena umumnya tiap keluarga memiliki lahan yang sangat luas, berbeda dengan era kini.
Sesajen tujuh rupa
Sesajen lengkap yang harus disiapkan dalam upacara di antaranya tujuh jenis ingkung dan tujuh jenis bucu ‘tumpeng’ bersama kelengkapannya. Tujuh ingkung harus dibuat dari ayam dengan bulu yang berbeda warna, seperti hitam, putih, kuning, merah, atau blirik. Tujuh jenis bucu juga harus memiliki berbagai warna dan bahan, seperti bucu dari nasi biasa, beras merah, beras hitam, nasi kuning, megana, tulak ‘nasi dengan dua warna’, dan kendit atau nasi dengan warna hitam di tengahnya.
Ditempatkan di samping bucu ialah empat nasi yang dibulatkan atau disebut golong ‘besar’ dan giling dengan ukuran lebih kecil. Lalu, bubur abang putih. Kelengkapan lainnya ialah jajan pasar dengan syarat harus ada jajan pasar dengan rasa manis, asin, gurih, hingga asam. Jajan pasar biasanya disesuaikan dengan apa yang ada saat itu, seperti jadah, pepesan utri ‘serundeng gula’, pasung ‘kue mangkuk yang dibungkus dengan basung’, apam, aneka jenang, cucur, serta bacem tempe dan tahu.
Sementara itu, untuk kelengkapan lain, ada juga sesajen rakan pasar atau buah-buahan terbaik yang sedang musim, seperti pisang raja, jeruk, salak, jambu, mentimun, dan buah lokal lainnya. Mbah Tito menyebut harus ada sesajen selain makanan, seperti kinang, kembang boreh, kantil, kenanga, kembang wangi, dan minyak wangi. Lalu, disiapkan juga berbagai jenis rokok, seperti rokok kelaras, rokok linting, dan rokok kretek. Syarat berikutnya juga masih identik dengan angka tujuh, yakni tujuh macam air minum: kopi manis, kopi pahit, teh pahit, teh manis, susu, wedang jembawut, wedang santan, dan wedang karang kambang. Seluruh kelengkapan itu tidak pernah dicatat Mbah Tito. Begitu juga dengan urutan laku dan mantra yang harus dibacakan pada saat ritual dilaksanakan. Semua dihafalnya di luar kepala sejak meneruskan perannya sebagai pemimpin ritual.
Jumat Kliwon
Berselang hampir 20 tahun kemudian, akhirnya diputuskan pada 19 Juli 2019, ritual wiwit methik sata kembali dihidupkan, bertepatan dengan gelaran budaya Festival Sindoro Sumbing. Tanggal itu telah ditentukan sesuai dengan hitungan hari baik atau jenjem, yakni bertepatan dengan hari Jumat Kliwon. Mbah Tito menjelaskan, masyarakat Reco bergantung pada ritual wiwit methik sata mengingat perawatan tembakau tidaklah mudah. Selain proses panjang saat menanam, terkadang tembakau belum tentu menghasilkan sesuai dengan yang diinginkan para petani.
Hari Jumat Kliwon, menjelang pukul 14.00, para sesepuh desa sudah terlihat berjalan menuju rumah Mbah Tito. Mereka mengenakan surjan, jarit, dan belangkon khas Yogyakarta. Mbah Tito sibuk menyiapkan sesajen dari dapurnya untuk dikirab menuju lahan yang terpilih menjadi tempat ritual. Pemandangan itu asing bagi anak-anak yang turut mengekor di belakang barisan kirab. Akan tetapi, mengundang kenangan bagi warga lain yang dahulu akrab dengan sesajen itu.
Di lahan tembakau, Mbah Tito bersama beberapa tetua desa melakukan pemasangan bundel atau tali dari kain selendang yang bernama Bundel Sangga Buana dan Oman Ketan Ireng. Bundel yang dipasang pada empat penjuru mata angin itu diawali dari arah wetan lor ‘timur laut’. Pemasangan bundel dilakukan dengan cara memutar.
Selesai mengikat di satu sudut, Mbah Tito mengucap mantra dengan menyebut nama Dewi Satariyah dan Dewi Sri Kenconowati untuk meminta izin menikahkan dua pengantin tembakau yang ada di dalam bundel itu. Selain itu, dirapalkan mantra untuk Kaki Pertungguk dan Nyi Pertungguk. Mantra yang diucapkan itu adalah wujud permohonan izin pada yang Mahakuasa dan ibu pertiwi atau alam.
Mereka percaya bahwa menanam apa pun harus ada tanah, tanaman, dan yang memelihara atau menjaga sampai hingga waktu panen. “Lahan ini kita bundel dengan Sangga Buwana. Jika ada orang yang berbuat jahat, tolaklah oleh dua penjaga tadi, yaitu Kaki dan Nyai Pertungguk,” begitu bunyi salah satu mantranya. Seusai dibundel, pemilik lahan ikut memutari sambil membaca mantra yang sama di seluruh arah mata angin sampai bertemu titik awal tadi atau yang disebut dengan temu gelang.
Sepasang manten mbako
Setelah itu, petani memetik daun tembakau sejumlah angka jenjem hari itu, yaitu 14. Sesuai dengan penjumlahan enam untuk Jumat dan delapan untuk Kliwon. Daun yang dipetik itu, lalu dibawa ke bawah dua tanaman tembakau yang dianggap istimewa. Merekalah manten mbako atau pengantin tembakau, yakni dua batang yang terlihat berbeda dengan batang lain, seolah-olah menampakkan dirinya sebagai sepasang pengantin yang berdiri beriringan dan dilihat oleh Mbah Tito. Bahkan, dua dahan tembakau yang bersebelahan itu kadang terlihat lebih gelap daripada daun lainnya dan saling menyentuh seakan bergandengan tangan.
Seusai dipetik, dua manten itu dibawa ke titik tengah lahan dan kemudian digenapkan bundel kelima tepat di pusat empat bundel tadi. Sesajen utama untuk manten tembakau diletakkan di tanah beserta kemenyan yang tingginya hampir satu meter, dinyalakan.
Mbah Tito mengucapkan mantra pada Dewi Sri Kenconowati sambil meminta restu dan meminta maaf jika ada kesalahan. Dipercayai masyarakat Reco, tembakau mempunyai nyawa dan pelindung. Untuk memanen tembakau, misalnya, para petani perlu memotong batang tembakau, yang diibaratkan mematahkan lengan dari suatu makhluk hidup yang bisa saja merasa kesakitan.
Seusai ritual di lahan selesai, seluruh sesajen dibawa ke rumah pemilik lahan. Warga berkumpul di sana, duduk bersila mengikuti ritual doa yang masih dipimpin oleh Mbah Tito. Tidak lupa, 14 daun yang diambil dari lahan ditaruh di atas pintu rumah.
Mereka lalu turut membaca mantra yang berisi harapan, semoga saat panen raya nanti, semua berjalan lancar. Ketika panen raya usai dan seluruh daun sudah siap dirajang, 14 daun tadi diambil dan dicampurkan secara merata.
Pada agenda wiwit methik sata itu, selain warga dan pemilik lahan, diundang juga perangkat desa, kelompok tani, perwakilan Pemerintah Kabupaten Wonosobo, panitia FSS Temanggung dan Wonosobo, juga dari perwakilan penghayat kepercayaan, budayawan, serta media.
Seluruh undangan dan tamu juga mengenakan pakaian adat Jawa dan mengikuti alur ritual. Dengan harapan bisa menceritakan kembali kepada masyarakat luas yang mungkin sudah mulai melupakan ritual itu.(M-3)