04 February 2023, 19:50 WIB

Eropa di Antara Persaingan Ekonomi AS-Tiongkok


Ferdian Ananda Majni | Internasional

AFP/Philippe Lopez.
 AFP/Philippe Lopez.
Seorang pria melihat panel surya Labarde di Bordeaux barat daya Prancis pada 12 Mei 2022. 

KONFRONTASI ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok menempatkan Eropa dalam sasaran tembak. Bahkan rencana Washington untuk mendorong industri hijau yang mengancam menyebabkan kerusakan tambahan pada sekutu utama.

Amerika Serikat telah mengadopsi Inflation Reduction Act (IRA) yang berisi investasi, subsidi, dan pemotongan pajak senilai US$370 miliar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Ini menjadikannya program terbesar AS untuk memerangi perubahan iklim.

Namun beberapa ketentuannya telah dikritik oleh para pejabat Uni Eropa karena dianggap diskriminatif terhadap para produsen mobil Eropa dan beberapa di antaranya mengatakan bahwa hal itu berbau proteksionisme. Menteri Ekonomi Perancis Bruno Le Maire dan mitranya dari Jerman Robert Habeck berkunjung ke Washington untuk bertemu Menteri Keuangan Janet Yellen pada Selasa dan mencoba menyelesaikan kebuntuan ini. Para pemimpin Uni Eropa akan mengadakan pertemuan puncak pada akhir minggu ini yang bertujuan menyusun respons terhadap langkah-langkah AS. 

IRA bertujuan mendukung industri hijau yang akan menjadi kunci bagi ekonomi masa depan, seperti pembuatan baterai dan panel surya. Perusahaan-perusahaan AS akan dapat menerima subsidi yang serupa dengan yang diterima oleh saingan-saingan mereka dari Tiongkok dengan syarat mereka harus memproduksi di dalam negeri. "Salah satu tujuan utama IRA yakni mengecualikan pemasok Tiongkok dari rantai pasokan energi bersih,” sebut Tobias Gehrke, seorang rekan di European Council on Foreign Relations.

Dia mengatakan bahwa prioritasnya ialah mengurangi ketergantungan AS pada impor Tiongkok. Tiongkok mendominasi sektor kendaraan listrik dengan 78% produksi global sel baterai dan tiga perempat pabrik besar untuk memproduksi baterai lithium-ion yang mereka gunakan, menurut studi oleh Brookings Institution yang berbasis di Washington. (AFP/OL-14)

BERITA TERKAIT