24 December 2022, 08:05 WIB

Yerusalem yang Apa Adanya


Putri Rosmalia | Weekend

MI/Duta
 MI/Duta
Ilustrasi MI

TERLEPAS dari unsur sosial dan politik masyarakatnya yang problematik, Kota Yerusalem (Jerusalem) selalu memiliki daya tariknya tersendiri. Kota penuh sejarah dengan keindahan panorama dan lanskap yang khas, dengan cerita hidup manusianya yang beragam. Salah satu kota paling dihormati dan didambakan untuk dikunjungi para penganut agama Islam, Yahudi, dan Kristen.

Yerusalem kaya akan kisah heroik, romantis, hingga dramatis. Selalu meninggalkan kesan mendalam bagi siapa pun yang pernah bersentuhan dengannya. Ia kota yang tak mudah untuk ditinggalkan, apalagi dilupakan.

Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan Lesley Hazleton lewat bukunya, Yerusalem Yerusalem. Buku yang versi bahasa Indonesianya baru saja diterbitkan Ircisod akhir 2022 ini memuat kumpulan tulisan Hazleton yang begitu personal tentang Yerusalem.

Hazleton yang kini telah berusia hampir 80 tahun menceritakan perjalanannya sebagai seorang jurnalis di Yerusalem lewat 21 tulisan di buku itu. Tidak sebentar, ia menghabiskan 13 tahun hidupnya sebagai jurnalis sejak berusia 20 tahun di sana.

Meski kota itu memiliki karisma dan daya tarik dari berbagai aspek, sesungguhnya alasan pertama Hazleton mencoba menetap di Yerusalem bukanlah hal yang esensial. Darah mudanya yang bergelora ketika bertemu dengan seorang pemuda Israel, Ariel, ialah alasan utamanya membuat keputusan tersebut, keputusan yang tak pernah ia sangka akan mengubah jalan hidupnya selamanya.

Setelah sempat terombang-ambing di tengah perjalanan, Hazleton akhirnya mengambil langkah berani untuk melanjutkan hidupnya di Yerusalem setelah berpisah dengan Ariel. Ia menyelesaikan pendidikan master psikologi di Hebrew University of Jerusalem sebelum kemudian fokus berkarier sebagai jurnalis dan editor surat kabar.

Buku Yerusalem Yerusalem memuat berbagai pengalaman Hazleton selama berada di Yerusalem. Latar belakangnya sebagai jurnalis membuatnya kerap menggali lebih dalam setiap peristiwa yang terjadi ketika ia berada di sana, di periode 1966 hingga 1979. Namun, apa yang ia tulis di buku itu bukan berwujud artikel bergaya laporan jurnalistik, melainkan sebuah memoar yang ia tuliskan dengan sangat personal dari sudut pandangnya.

Hazleton menghadirkan gambaran sisi lain Kota Yerusalem yang kompleks, tetapi tetap indah, hangat, dan apa adanya. Tentu saja disertai dengan berbagai informasi faktual sebagai latar belakang setiap peristiwa yang terjadi.

Hazleton membuka buku itu dengan kisah perjalanan kembalinya ke Yerusalem setelah lima tahun berupaya meninggalkan kota itu. Setelah 13 tahun yang penuh dengan sukacita serta kedukaan, ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke New York. Sayangnya, kepindahannya kembali ke New York tak berhasil menghadirkan ketenangan yang ia dambakan.

Pikirannya selalu kembali terbang jauh ke kota di kawasan Timur Tengah tersebut. Tak peduli seberapa keras ia mencoba, hatinya selalu rindu akan Yerusalem. Hingga akhirnya ia menyerah dan rutin mengunjungi Yerusalem, setidaknya satu kali dalam setahun.

Hazleton menuliskan keindahan dan ketenangan Yerusalem yang penuh dengan arsitektur bersejarah dan gaya autentik. Juga situs-situs bersejarah yang begitu berarti bagi warganya. Gambaran singkat tentang letak geografis Yerusalem dan bagian-bagian kotanya juga disertakan dengan mendetail. Di antaranya tentang bagian-bagian kota yang sejak awal menjadi wilayah orang Arab, Yahudi, dan Nasrani.

Keindahan Yerusalem selalu digambarkan Hazleton dengan panjang lebar pada setiap tulisan di buku itu. Ia seakan ingin menggambarkan dengan detail betapa setiap sudut kota tersebut akan dapat memanjakan mata siapa saja yang melihatnya, tak ketinggalan, dengan sekelumit kisah sejarah yang ada di dalamnya.

'Bukit Zion masih menjulang tenang dalam kegelapan, memunculkan siluet lembut berlekuk-lekuk di dinding-dinding batu yang mengitarinya. Di atas puncaknya mencuat kubah Biara Hagia Maria Zion (Dormitian Abbey). Sebuah tempat di mana Maria, Ibunda Yesus Wafat, dan dari sini pula bergulir kisah mereka untuk diceritakan kepada anak-anak, dormit-- dia yang tertidur. Di samping biara menjulang makam Raja Daud, tampak bak sebuah menara' (halaman 9).

Pada bab-bab selanjutnya, Hazleton menghadirkan cerita dari pengalamannya dari berbagai pertemuan dan peristiwa. Mulai tentang Perang Enam Hari pada 1967, berbagai konflik masyarakat dan pertumpahan darah di dalamnya, rasialisme, gejolak antara agama, hingga idealisme anak-anak muda Israel yang tak jarang justru mengantarkan pada perpecahan.

Pada bab berjudul Yerusalem di Masa Perang 1967, Hazleton menceritakan pengalamannya yang berulang kali nyaris mati. Ia harus bersembunyi di ruang-ruang bawah tanah bersama kolega jurnalis hingga warga lainnya.

Ia menghadirkan gambaran suasana kota dan ketegangan yang melingkupi setiap orang di sana ketika perang antara Israel dan tiga bangsa Arab, yakni Mesir, Yordania, dan Suriah, itu berlangsung. Meski berprofesi sebagai jurnalis, dalam tulisannya di buku itu ia lebih banyak menghadirkan kisah dari sisi masyarakat yang bersusah payah bertahan hidup di situasi tersebut.

Tulisan-tulisan lain dalam buku itu juga lebih banyak memuat tentang pengalaman Hazleton membaur dengan masyarakat Yerusalem. Ia menghadirkan kisah dari temuannya tentang kehidupan masyarakat Yerusalem secara lebih dekat dan mendalam. Menghadirkan gambaran utuh tentang kehidupan di kota yang lebih sering diekspos dari sisi konflik dan pertumpahan darah di dalamnya.

 

Ideologi dan rasialisme

Pada bab Seks, Rasisme, dan Manipulasi Kekerasan, Hazleton mengisahkan masalah sosial yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat Yerusalem. Salah satunya tentang kecemburuan dan kesinisan umat Yahudi pada lelaki Arab-Israel yang kerap dipuji dan digilai wanita Yahudi.

Ketidaksukaan para lelaki Yahudi itu membuat mereka kerap melakukan berbagai hal yang merugikan lelaki Arab-Israel. Mulai pengucilan, persekusi, hingga fitnah-fitnah yang berujung kriminalisasi. Mereka juga sering melakukan kekerasan demi memisahkan pasangan wanita Yahudi dan lelaki Arab-Israel.

'Orang Arab-Israel merayap ketakutan karena kecurigaan selalu ditimpakan kepada mereka, meyakini bahwa pembunuhan terhadap orang Yahudi, terutama kalau sudah melibatkan kekerasan seksual, kini didakwakan kepada mereka. Kemarahan mereka bangkit saat mereka mencurigai pihak polisi telah mengabaikan pembunuhan orang-orang Arab' (halaman 161).

Dalam beberapa bab lainnya, Hazleton juga mengisahkan ideologi-ideologi di kalangan pemuda Yahudi Israel yang terbagi jadi Yahudi religius dan Yahudi sekuler. Perbedaan pendapat terus terjadi tentang bagaimana seharusnya bangsa Yahudi hidup berdampingan dengan umat muslim Palestina. Sebagian menolak keras wacana itu dan berkukuh Israel sebagai satu-satunya pemilik Yerusalem. Sebagian lainnya lebih berfokus pada tercapainya perdamaian.

Polemik tersebut juga kerap diperkeruh dengan arus informasi, citra, hingga gejolak yang terjadi di dunia internasional. Berbagai pihak, termasuk kaum Yahudi di luar Israel, tak jarang justru memperkeruh keadaan lewat pemikiran, pandangan, dan aksi mereka.

"Untuk tinggal di Israel tidak berarti harus kehilangan kepribadian yang anehnya sangat menjangkiti kebanyakan orang Yahudi-Amerika setiap saat topik Israel disinggung-singgung, ketika mereka langsung serampangan menjadi corong mulut 'pro-Israelisme' yang salah kaprah, yang sedikit atau malah tidak ada hubungannya dengan kepentingan utama Israel sendiri" (halaman 272).

Selain hal-hal di atas, berbagai kisah lain berkaitan dengan situasi sosial, politik, ekonomi, dan agama di Yerusalem juga dihadirkan Hazleton di buku itu. Di antaranya soal sejarah awal mula terjadinya ketegangan antarumat beragama hingga berlanjut ke perebutan wilayah di Yerusalem dan upaya pemerintah Israel membangun permukiman di Tepi Barat untuk meluaskan area Yahudi.

'Bagi orang Israel, negeri ini penuh dengan tempat-tempat di mana seseorang tewas dalam pertempuran, di mana seseorang terluka, di mana mereka bercinta, di mana mereka saling berargumen, di mana mereka berbagi cerita ini dan itu, atau di mana mereka tinggal. Tempat itu sendiri merupakan bahan mentah yang merajut hidup mereka' (halaman 272).

Membaca buku itu akan menghadirkan perspektif baru tentang kehidupan masyarakat di Yerusalem yang sejatinya begitu sederhana dan haus akan perdamaian. Mimpi akan perdamaian yang hingga saat ini selalu gagal diwujudkan karena besarnya muatan kepentingan politik di dalamnya.

Meski versi aslinya diterbitkan di Inggris pada 1987, buku itu tetap memiliki daya pikat karena masih terasa sangat relevan dengan situasi saat ini di Yerusalem. Karena memiliki alur cerita yang maju-mundur, pembaca juga akan diajak melintasi perjalanan waktu untuk melihat Yerusalem yang autentik meski terus terusik. Hazleton begitu jauh menyelami jiwa-jiwa manusia di Yerusalem, termasuk dirinya sendiri.

'Barangkali, pria penggembala Irlandia itu benar: Yerusalem bukan tempatnya untuk orang-orang seperti aku. Karena Yerusalem adalah kota penuh doa dan darah, kota iman dan kekerasan, sebuah kota yang suci sekaligus kejam' (halaman 245).

 

Judul: Yerusalem Yerusalem

Penulis: Lesley Hazleton

Penerjemah: M Isran

Penerbit: Ircisod

Tahun: Cetakan pertama, Desember 2022

 

BERITA TERKAIT