GINJAL merupakan salah satu organ vital di dalam tubuh kita. Salah satu fungsi utama ginjal ialah memproduksi air kemih (urine) dan pembuangan sisa metabolisme dalam tubuh. Gangguan fungsi ginjal menimbulkan gejala kelebihan cairan dalam tubuh, seperti badan bengkak, peningkatan tekanan darah, hingga bisa menjadi gagal jantung. Gagal ginjal berat dapat menyebabkan kematian karena komplikasi pada jantung dan otak.
Dari aspek waktu terjadinya, gagal ginjal bisa terjadi secara akut yang disebut gangguan ginjal akut (GGA) atau acute kidney injury (AKI). Gangguan ginjal yang menjadi kronik (lebih dari tiga bulan) disebut penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD).
Kasus GGA yang terjadi di Indonesia disebut sebagai gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) atau atypical progressive acute kidney injury (AP-AKI). Apabila kasus GGAPA ditemukan terjadi masif dalam jumlah cepat, perlu segera ditelusuri kemungkinan penyebabnya sehingga bisa diambil langkah pencegahan kasus meluas serta penentuan tata laksana yang tepat sehingga mencegah peningkatan angka kematian.
Pada 5 Oktober 2022, WHO mengeluarkan informasi daftar obat terkontaminasi etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG) pada obat sirop batuk pilek anak yang diproduksi di India dan beredar serta menyebabkan wabah gagal ginjal akut pada anak di Gambia. Keracunan EG dan DEG dapat menyebabkan kerusakan ginjal karena terbentuknya kristal kalsium oksalat yang selanjutnya mengganggu fungsi ginjal.
Kasus GGPA mencapai 256 kasus kumulatif di 26 provinsi di Indonesia. Kasus GGAPA sebagian besar ditemukan pada anak laki-laki usia di bawah 6 tahun tanpa riwayat penyakit ginjal dan tanpa komorbid. Pola perjalanan penyakitnya tidak seperti GGA yang lazimnya terjadi pada kelompok anak di bawah 6 tahun dan progresivitasnya tergolong cepat.
Berbagai kemungkinan penyebab GGAPA, antara lain potensi hubungannya dengan virus, termasuk covid-19 ataupun infeksi lain yang berat. Infeksi dapat melibatkan mekanisme imunologi yang bervariasi dan kompleks, tergantung mikroorganisme penyebabnya atau genetik dari individu serta lingkungan. Reaksi hiperinflamasi pascainfeksi SARS-CoV-2 pada pasien anak pascacovid-19 yang dikenal sebagai multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) telah dipikirkan sebagai salah satu penyebab karena juga menyebabkan GGA. MIS-C merupakan kejadian yang jarang terjadi setelah covid-19, kasus 3.16 per 10.000 kasus covid-19, dengan kejadian GGA sekitar 25%-33% pasien MIS-C.
Pada sebagian penderita, tata laksana yang diberikan tidak memberi respons yang diharapkan sehingga dipikirkan berbagai penyebab lain. Penelusuran mengerucut penyebab utama ialah kontaminasi EG dan DEG pada sediaan obat sirop. Pemerintah dan instansi terkait mengambil langkah cepat untuk menyelidiki obat yang dicurigai, menahan peresepan dan penjualan, serta mengupayakan antidotum untuk zat toksik tersebut. Penyebaran obat yang terkontaminasi diharapkan segera dihentikan dan ditarik sehingga tidak menambah lagi korban.
Walaupun saat ini dikaitkan penyebab utama GGAPA pada anak di Indonesia ialah kontaminasi EG dan DEG, tidak menghilangkan kemungkinan penyebab lain ataupun kemungkinan adanya interaksi beberapa penyebab (multifaktorial). Saat ini pemerintah didukung para ahli dan peneliti tengah berupaya menetapkan diagnosis klinis dan etiologik serta menyusun acuan dalam penanganan GGAPA pada anak.