24 October 2022, 08:30 WIB

Mengapresiasi Karya Sastra, Seni, dan Budaya


Debi Harahap | Weekend

Mi/Devi Harahap
 Mi/Devi Harahap
Salah satu karya yang dipamerkan dalam pameran  "Rasasastra: UNION” di Galeri Semesta, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Kreativitas seni kini semakin melampaui sekat dan aneka batasan yang baku dan kaku. Segala terminologi atau batasan yang baku ditafsir dan dikritisi kembali, tak jarang didekonstruksi dengan tujuan mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran atau penciptaan baru yang berangkat dari cara pandang terhadap berbagai realitas.

Melalui Rasasastra, sebuah komunitas kolektif dan platform kuratorial seni di Jakarta yang bekerja sama dengan Ubud Writers & Festival (UWRF), para seniman dan kurator kembali hadir untuk merayakan konvergensi kreatif antara seni, sastra, dan budaya melalui perhelatan festival seni bertajuk "Rasasastra: UNION” di Galeri Semesta, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Festival seni yang berlangsung dari 8 Oktober - 13 November 2022 ini turut menghadirkan para praktisi, peminat sastra, seni dan budaya guna memberikan wawasan kreatif dan wadah bertukar pikiran mengenai perkembangan seni kontemporer. Beragam karya seni lintas disiplin  disuguhkan kepada pengunjung.

Penyelenggaraan festival seni Rasasastra tahun ini merupakan kali kedua, setelah sebelumnya dihelat pada tahun 2020 silam. Sedangkan tema "UNION" yang diusung kali ini berorientasi pada gagasan tentang kolaborasi dan persatuan dalam praktik berkesenian. 

"Tema ini berupaya mengangkat pentingnya kesadaran tentang individu sebagai bagian dari komunitas yang lebih luas. Kami ingin mempertemukan dan memperkenalkan para pelaku sastra, seni dan budaya praktisi dan penikmat seni untuk mengalami acara seni secara utuh di sini agar bisa saling terinspirasi, berkreasi dan bertukar wawasan," ujar Elghandiva Tholkhan saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (11/10).

Tak hanya sekedar berkarya, pameran seni rupa yang disuguhkan dalam pameran "Rasasastra: UNION" ini umumnya bercerita dan merepson berbagai isu dan realitas masyarakat. Selain itu, karya yang dihadirkan juga menggunakan beragam medium dan teknik sangat unik serta eksperimental seperti fotografi, ilustrasi, kolase, tatah, patung, instalasi, digital printing, printing making, hingga pertunjukan video singkat. 

Seperti karya dari I Gede Sukarya berjudul "Brother 1" dan "Brother 2" (2021) mengeksplorasi studi warisan budaya Bali yang disebut Seni Tatah, kesenian kuno yang dapat dijumpai pada busana pakaian barong, rangda dan wayang. Dari temuan eksplorasinya, Sukarya memilih untuk menggunakan bahan organik dari kulit sapi sebagai media berkarya. 

Di sudut ruang, pameran "Rasasastra: UNION"  turut menghadirkan sebuah sebuah instalasi video dan foto “ (2021) hasil karya dari Elghandiva Tholkhan yang mengeksplorasi potensi jasmani dari beragam subjek yang ditandai sebagai makhluk hidup. Menantang risiko seputar identitas diri dan spiritualitas, seniman mendorong dirinya melalui performativitas untuk merespon, membongkar, dan merebut kembali ruang untuk bersatu yang direnggut oleh nestapa pandemi. 

"Gagasan yang tersirat dalam karya saya berbicara tentang situasi pandemi, khususnya saat manusia harus terkurung dalam satu kondisi yang tidak pasti, tapi ternyata teknologi mampu membuat kita terkoneksi dan bersatu, walaupun komunikasi itu terjadi secara tidak langsung, tapi ternyata pertukaran energi dan intergrasi untuk bisa bersatu itu masih bisa dirasakan melalui dunia digital, ini mungkin sesuatu yang tidak kita sadari sebelum pandemi," ujar Elghandiva.

Pada ruangan lain, pameran"Rasasastra: UNION" memajang sebuah instalasi dan video dari Perempuan Pengkaji Seni berujudul "Negosiasi Dadi Wadon" (2022) yang menampilkan beberapa set pakaian adat Jawa berupa kebaya, di depannya digusuguhkan beragam peralatan domestik yang kerap disandingkan dengan peran perempuan, lalu tepat didepannya terdapat sebuah cuplikan video yang bercerita tentang eksistensi perempuan dalam realitas di masyarakat.

Elghandiva mengatakan kerja kolektif dari Perempuan Penkaji Seni yang berbasis di Jogja ini berkisar pada isu gender, karena pendekatan ini paling dekat dengan permasalahan pribadi mereka sebagai kaum perempuan dengan menampilkan baju kebaya sebagai identitas perempuan Jawa. 

"Karya ini konteksnya lebih kepada perempuan Jawa, menjadi perempuan di zaman modern ini banyak sekali yang harus dinegoisasi, misalnya antara menjadi ibu rumah tangga tapi juga harus bisa bekerja dan berprestasi. Sebenarnya di sini mereka sangat mengkritik keadaan sosial dimana banyak sekali tekanan untuk perempuan agar selalu berprestasi dan serba bisa melakukan berbagai pekerjaan, di sana lah akhirnya perempuan itu harus bernegosiasi," imbuh Elghandiva.

Untuk memperkuat pengenalan sisi literasi kepada publik. pameran "Rasasastra: UNION" turut menghadirkan sebuah live performance art berupa pembacaan puisi dan penulisan puisi secara langsung ditampilkan oleh seorang penyair, Ray Shabir. 

Pada saat pembukaan pameran, Ray Shabir duduk di sebuah kursi, para pengunjung yang datang dipersilahkan untuk menulis 3 kata dalam selembar kertas, selanjutnya Ray Shabir akan mengembangkan 3 kata tersebut menjadi seuntai puisi yang indah. 

"Belasan dokumentasi puisi hasil dari karya yang ditulis Ray Shabir tersebut turut dipajang dalam pameran "Rasaastra: UNION", dalam seni kontemporer, genre ini disebut performance art," ujar Elgha.

Pameran "Rasaastra: UNION" juga mengadakan program diskusi yang melibatkan para pembicara dari kalangan penulis seperti Afutami, hingga Nindityo yang dikenal sebagai pelukis Indonesia dan pendiri rumah seni Cemeti di Yogyakarta. Dalam dua hari itu pula berlangsung pasar kreatif. Di sini, pengunjung menikmati berbagai produk seni, buku, makanan, fesyen hingga kerajinan tangan.

Selanjutnya sepanjang 10 Oktober hingga 13 November, Rasasastra: UNION akan diramaikan dengan rangkaian program edukatif di seputar dunia kreatif. Misalnya lokakarya bersama kolektif seni di antaranya BVRNLAB serta Rumana. Lalu ada juga gelaran panggung musik, tari, klub membaca hingga program apresiasi seni untuk anak dan remaja bersama komunitas seniman dari Jakarta dan Bali. (M-3)

 

BERITA TERKAIT