21 October 2022, 23:25 WIB

Penanganan Pangan Kunci Kebangkitan Ekonomi


Marhendi Wijaya, Pranata Humas Ahli Muda Kementerian Komunikasi dan Informatika | Opini

Dok pribadi
 Dok pribadi
Marhendi Wijaya

"323 juta orang di tahun 2022 ini, menurut World Food Programme, terancam menghadapi kerawanan pangan akut," ujar Presiden Joko Widodo saat menyampaikan pandangannya pada KTT G7 sesi II dengan topik ketahanan pangan dan kesetaraan gender, di Elmau, Jerman (27/6/2022).

Begitulah seruan yang ditujukan Presiden Jokowi kepada para pemimpin dunia. Sesuatu yang bukan mustahil akan terjadi kalau tidak ada kolaborasi penanganan pangan yang tepat. Sebab hanya kolaborasi (bukan kompetisi) itu sajalah yang diyakini mampu menjadi titik tolak kebangkitan ekonomi untuk membebaskan dunia dari jeratan krisis.

Terlebih Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) melaporkan, sedikitnya ada 970 ribu orang berisiko kelaparan di lima negara Asia dan Afrika. Kelima negara tersebut adalah Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Sudan Selatan, dan Yaman. 

Jika merujuk dari data terakhir ketahanan pangan dan gizi dari FAO, pada 2021 terdapat 828 juta orang kelaparan, sedangkan 3,1 miliar orang tidak mampu membeli atau mendapatkan makanan yang sehat dan layak. Kondisi tersebut tentu akan semakin memburuk jika tidak ada tindakan yang diambil. FAO juga memproyeksikan sepanjang Oktober 2022 hingga Januari 2023 kerawanan pangan tingkat akut secara global akan terus meningkat.

Bertepatan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia 2022 FAO mengusung tema Leave No One Behind atau Tidak Meninggalkan Siapapun di Belakang. Tema itu jelas memiliki kaitan dengan konteks krisis ketahanan pangan global yang kini kian memburuk dan sedang dirasakan saat ini.

Akibat konflik

Sementara itu, dalam Global Report on Food Crisis 2022 Mid-year Update, diperkirakan pada periode tersebut akan ada 205 juta orang di 45 negara yang berpotensi menghadapi kerawanan pangan akut dan membutuhkan bantuan pangan yang mendesak. Kalau di total dari data terbaru pada 2021, diperkirakan jumlahnya akan mencapai 222 juta orang di 53 negara/wilayah yang tercakup dalam Global Report on Food Crises 2022. 

Jika dibanding dengan kasus-kasus serupa yang terjadi sebelumnya, krisis saat ini memang cukup memprihatinkan. Jumlah tersebut juga tercatat menjadi yang tertinggi dalam tujuh tahun sejarah laporan. Melonjaknya harga pangan, energi, pupuk, hingga konflik Rusia-Ukraina kian memperburuk situasi yang sebelumnya telah berada dalam kondisi tidak baik akibat dampak pandemi covid-19. 

Dengan apa yang terjadi sekarang, secara implisit, menegaskan adanya keterkaitan erat antara poros perekonomian dunia dan kehidupan antarnegara. Sudah semestinya masyarakat dunia memiliki kesadaran untuk mau partisipasi secara aktif dan bergotong-royong agar bisa segera keluar dari kesulitan ini. Sebagaimana diungkapkan Dirjen FAO Qu Dongyu dalam pidatonya baru-baru ini bahwa dalam menghadapi krisis pangan global perlu kiranya memanfaatkan kekuatan solidaritas dan momentum secara kolektif. Itulah sebabnya, Dongyu segera mengutarakan keinginannya membangun masa depan yang lebih baik, agar setiap orang dapat memiliki akses cukup untuk memperoleh makanan yang bergizi.

Ketahanan pangan Indonesia

Mencermati perkembangan krisis ketahanan pangan global yang terjadi belakangan, sejatinya warga di Tanah Air patut bersyukur. Betapa tidak, Indonesia kini masuk kategori negara dengan kekuatan ketahanan pangan yang baik. Tentu itu bukanlah tanpa sebab. Sebagai negara agraris Indonesia dikaruniai tanah yang subur, air yang cukup, serta sebagian besar penduduknya bertani. 

Dalam tiga tahun terakhir, tercatat bahwa kebutuhan pangan dalam negeri bisa tercukupi. Apresiasi pun diberikan FAO, dengan menyebut Indonesia sebagai contoh yang baik bagi negara lain, terkait pengelolaan ketahanan pangan. Di Indonesia, hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut juga mendasari terbitnya UU No.7/1996 tentang Pangan.

Seperti dilansir situs bulog.go.id, ketahanan pangan yang dimaksud merujuk pada UU 18/2012 tentang Pangan. Di situ disebutkan, ketahanan pangan adalah 'kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan'.

Tidak sampai di situ, pemerintah secara intens juga memonitor dan mengevaluasi penerapan kebijakan pangan nasional, agar sesuai dengan kondisi terkini. Langkah itu dilakukan semata agar kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi. Salah satu  pondasi kuat dalam upaya menjaga ketahanan pangan adalah penguatan stok beras. Lebih lanjut, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional juga menugaskan Perum Bulog melakukan fleksibilitas harga untuk pembelian gabah/beras. 

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas) kebijakan pangan, September lalu, menjelaskan bahwa pada Agustus 2022 bahan makanan mengalami deflasi sebesar 2,64% (month to month/mtm). Secara rinci, komoditas bahan makanan yang memberikan andil deflasi pada Agustus 2022 adalah bawang merah 0,15%, cabai merah 0,12%, cabai rawit 0,07%, minyak goreng 0,06%, daging ayam ras 0,06%, tomat 0,03%, ikan segar, jeruk dan bawang putih masing-masing 0,01%.
 
Sementara itu, komoditas yang memberikan andil dalam inflasi yaitu telur ayam ras dan beras, masing-masing 0,02%. Itulah sebabnya, Airlangga memastikan, semua bahan pangan aman dan tersedia hingga akhir  2022.

Solusi ketidakpastian global

Krisis pangan terus menjadi perhatian forum G-20, salah satunya melalui pertemuan G-20 bertemakan Joint Finance and Agriculture Ministers (JFAMM) yang pertama di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (11/10/2022) waktu setempat. Pertemuan itu fokus pada membahas permasalahan ketahanan pangan dunia. 

Dalam forum tersebut Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati, menyatakan Presidensi G-20 Indonesia telah menegaskan komitmennya untuk menggunakan semua perangkat kebijakan yang tepat untuk mengatasi tantangan ekonomi dan keuangan saat ini. Termasuk, risiko akibat terjadinya kerawanan pangan.

Menanggapi hal tersebut, beberapa inisiatif global pun telah diluncurkan oleh berbagai organisasi regional, internasional, hingga inisiatif mandiri dari beberapa negara untuk menghadapi permasalahan ketahanan pangan. Sebut saja oleh organisasi seperti the UN Global Crisis Response Group (GCRG), the G7 Global Alliance for Food Security (GAFS), the Global Agriculture and Food Security Program (GAFSP), International Finance Institutions Action Plan, dan Global Development Initiative.

Sejalan dengan itu, Bank Dunia juga telah berkomitmen menyediakan US$30 juta dalam pendanaan baru atau yang sudah ada bagi proyek terkait ketahanan pangan dan nutrisi, untuk beberapa tahun ke depan. Sementara itu FAO turut menyediakan perkembangan kondisi pasar pangan, termasuk melalui G20 Agricultural Market Information System.

Pada forum itu, para menteri keuangan dan menteri pertanian G20 menegaskan kembali komitmennya untuk memanfaatkan semua perangkat kebijakan (policy tools) dalam mengatasi tantangan ekonomi dan keuangan saat ini, termasuk ketahanan pangan. Masih dalam forum yang sama, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan bahwa forum itu efektif untuk menjawab tantangan global menghadapi kerawanan pangan.
 
Presidensi G-20 Indonesia menerapkan sejumlah strategi demi meningkatkan kapasitas produksi. Hal itu dilakukan sebagai upaya menstabilkan harga pangan, menekan laju inflasi, menurunkan impor, dan meningkatkan ekspor pangan nasional. 

Sementara itu Presiden Jokowi meyakini bahwa Presidensi G-20 akan memberikan solusi konkret mengatasi ketidakpastian global. Presiden mengatakan, kita harus membangun dunia yang lebih mampu dalam mengatasi ketidakpastian dan tantangan ke depan. Krisis pangan yang terjadi saat ini dipicu oleh perang Rusia vs Ukraina serta dampak pandemi yang belum benar-benar pulih 100%. Untuk itu, Indonesia telah menyiapkan strategi untuk menciptakan ketahanan pangan. 

Pembangunan infrastruktur pendukung produksi pertanian nasional, seperti bendungan, embung, dan jaringan irigasi menjadi bentuk nyata upaya negara menjaga ketahanan pangan nasional. Dengan begitu kesejahteraan masyarakat bisa terwujud nyata.

BERITA TERKAIT