AMNESTY International Indonesia menyebut pernyataan Polri melalui Kadiv Humas Irjen Dedi Prasetyo terkait penyebab tewasnya korban jiwa dalam Tragedi Kanjuruhan karena kurangnya oksigen sebagai hal prematur.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pernyataan itu juga dinilai tidak empatik dan mendahului proses investigasi yang masih berlangsung.
"Pernyataan bahwa korban tewas dalam Tragedi Kanjuruhan tidak disebabkan oleh gas air mata itu prematur," kata Usman dalam pernyataannya, Rabu (12/10).
Ia menjelaskan, saat ini gas air mata tidak lagi tergolong non-lethal weapon atau senjata tidak mematikan dalam beberapa pedoman internasional. Sebab, terdapat pengalaman yang menunjukkan efek luka fatal dan bahkan berakibat kematian.
"Apalagi jika ditembakkan ke dalam area stadion yang berisi puluhan ribu orang di mana jalan penyelamatan diri terbatas," jelasnya.
Usman berpendapat, meski tidak didesain untuk membunuh, non-lethal weapon apa pun tetap mematikan jika digunakan dalam konteks dan cara yang keliru. Setidaknya, ada empat prinsip yang harus dipenuhi dalam penggunaan senjata non-lethal, yaitu legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
Baca juga: Usut Tragedi Kanjuruhan, Komnas HAM Segera Panggil PSSI hingga Petinggi LIB
Amnesty International, lanjut Usman, mendesak Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menelusuri jenis gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian ke tribune Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10) lalu.
Menurutnya, gas air mata berjenis CS (chlorobenzalmonolonitrile) memiliki efek lima kali lipat jika dibandingkan dengan CN (chloracetanophone).
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menambahkan jangankan menembakkan gas air mata, membawa saja dilarang oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).
"Jadi melanggar legalitas. Apalagi menembak ke arah tribune. Itu tidak perlu dan tidak proporsional sehingga melanggar prinsip nesesitas dan proporsionalitas. Karenanya harus ada akuntabilitas," kata Wirya.
Menurut dia, sikap pembelaan diri semacam itu mencederai publik yang tengah berduka.
"Juga ironis karena pernyataan tersebut disampaikan pada hari yang sama ketika polisi di Malang melakukan aksi sujud yang simpatik. Mabes Polri seharusnya lebih serius meminta warga yang menjadi saksi agar tidak takut bersuara. Jamin keselamatan mereka," ujarnya.
Wirya menegaskan, semua yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan tanpa terkecuali harus diproses hukum dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.
"Aparat keamanan, termasuk anggota polisi dan militer, harus menjadi teladan atas bagaimana keadilan dan akuntabilitas hukum ditegakkan secara benar dan adil," pungkasnya. (OL-16)