05 October 2022, 05:00 WIB

Ekonomi Islam Berkemajuan


Faozan Amar Dosen FEB UHAMKA, penulis buku Ekonomi Islam Berkemajuan, Sekretaris LDK PP Muhammadiyah, Dewan Pengawas Bulog, dan Staf Khusus Menteri Sosial | Opini

Dok. Pribadi
 Dok. Pribadi
     

DARI sebelum Indonesia merdeka hingga 77 tahun merdeka, bangsa ini dikenal kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman, suku, agama, ras, seni, budaya, kuliner, serta bencana yang menyertainya. Dengan hasil bumi yang berlimpah, salah satunya ialah rempah-rempah, bangsa Eropa, wabilkhusus Belanda pada saat itu melakukan kolonisasi dengan tujuan untuk mengeruk sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini dengan mendirikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di wilayah Asia.

Tidak hanya itu, bangsa ini juga memiliki keindahan alam yang sangat rupawan sehingga menjadi desnitasi wisata dari berbagai negara. Tahun 2019, keindahan alam Indonesia menjadi sorotan dunia. Salah satu publisher Rough Guides melakukan jajak pendapat yang menyatakan bahwa dari 20 daftar negara terindah di dunia, Indonesia masuk ke peringkat keenam (Indozone.id, 2019). Hal itu diperkuat dengan studi terbaru tahun 2022 dari situs money.co.uk yang menempatkan Indonesia sebagai tempat terindah di dunia dengan skor keindahan alam 7,77 skala 10 dari 50 peringkat negara terindah (mediaindonesia.com, 22/8).

Dengan peringkat tersebut, tak heran sebelum pandemi covid-19, selain bergantung pada sektor sumber daya alam seperti minerba, kelapa sawit, dan lain-lain, sektor ekonomi parawisata menjadi salah satu yang berkontribusi pada PDB nasional, yaitu sebesar 5,5 %. Realisasi devisa dari sektor pariwisata pada 2019 mencapai Rp280 triliun, meningkat dari tahun 2018 yang mencapai Rp280 triliun (Kontan.id, 2020).

Sebagai negara dengan berpenduduk muslim terbesar di dunia, pada 2019 Indonesia berhasil menorehkan prestasi di level internasional dengan diraihnya peringkat pertama sebagai destinasi wisata halal dunia versi GMTI (Global Muslim Travel Index) 2019, yang diumumkan oleh CrescentRating – Mastercard. Data GMTI 2019 menunjukkan bahwa hingga tahun 2030, jumlah wisatawan muslim diproyeksikan akan menembus angka 230 juta di seluruh dunia.

Selain itu, pertumbuhan pasar pariwisata halal Indonesia di tahun 2018 mencapai 18%, dengan jumlah wisatawan muslim mancanegara yang berkunjung ke destinasi wisata halal prioritas Indonesia mencapai 2,8 juta dengan devisa mencapai lebih dari Rp40 triliun (Kominfo, 2019).

 

Islam berkemajuan

Untuk melacak makna pada Islam berkemajuan, perlu dilihat siapa yang pertama kali memunculkan dan apa referensi yang dipakai untuk istilah itu. Hal ini dimaksudkan agar menghindari tuduhan bahwa istilah ini tidak memiliki akar sejarah dan hanya reaksi baru semata, maka disebutkan bahwa istilah ini bukanlah identitas yang datang dari sumber yang tidak jelas. Ia memiliki pijakan sejarah dari pendiri organisasi Muhammadiyah. Ini mengacu pada pesan KH Ahmad Dahlan agar mereka menjadi orang yang berkemajuan apa pun profesi dan aktivitasnya (Burhani, 2016).

Dalam beberapa sumber dijelaskan bahwa istilah ‘berkemajuan’ atau ‘kemajuan’ telah melekat pada gerakan Muhammadiyah sejak awal. Hal ini dibuktikan dengan sebuah pernyataan pada 1912, tercantum kata ‘memajukan’ dalam frasa tujuan Muhammadiyah, yaitu ‘memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya’. Adapun dalam tulisan utuh Kiai Dahlan tahun 1923 yang berjudul Tali Pengikat Hidup Manusia istilah ‘pemimpin kemajuan Islam’ juga sempat diulas oleh Kiai Dahlan sebagai berikut, “Djika lalai akan tali pengikat ini kedjadiannja roesak dan meroesakkan. Ini soeatoe kenjataan jang tiada boleh dimoengkiri (oetoesan-oetoesan) dan sahabat- sahabatnja dan sesoedahnja pemimpin-pemimpin ‘kemadjoean Islam’ pada djaman dahoeloe sehingga sekarang ini, soedahlah sementara lamanja pemimpin-pemimpin bekerdja.” (Salam, 2009).

Di samping itu, istilah berkemajuan sering diungkapkan oleh KH Ahmad Dahlan dalam perjalanan Muhammadiyah. Salah satu pernyataan tersebut dapat dilacak dari ucapan KH Ahmad Dahlan yang berbunyi, “Dadijo Kjahi sing kemadjoean, lan odjo kesel-kesel anggonmoe njamboet gawe kanggo Moehammadijah.” (Salam, 2009).

Istilah ‘kemajuan’ ini juga dipakai oleh presiden Sukarno dalam tulisannya yang berjudul Surat-Surat dari Endeh: dari Sukarno (1901-1970) kepada TA Hassan (1887-1958), Guru Persatuan Islam, Bandung. Tulisan ini termuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1964), jilid pertama, halaman 325-344. Adapun bunyinya, “Perdjoangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengedjar zaman ke muka, perdjoangan inilah jang Kemal Ataturk maksudkan, tatkala ia berkata bahwa Islam tidak menjuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesdjid memutarkan tashbih, tetapi Islam ialah perdjoangan. Islam is progress: Islam itu kemajuan!” (Burhani, 2006).

Sementara itu, kata ‘berkemajuan’ sendiri memiliki arti yang cukup dalam. Menurut Din Syamsuddin, kata ‘maju’ jelas menunjukkan langkah ke depan, dan dengan tambahan awalan ber- dan akhiran -an menjadi kata sifat dan menunjukkan gerak progresif. Kata berkelanjutan (sustainable), seperti pada konsep ‘pembangunan berkelanjutan’ (sustainable development), mengandung unsur pengertian adanya proses yang berlangsung terus menerus secara dinamis (Syamsuddin dalam Fanani, 2017)

Jadi, istilah Islam berkemajuan itu sudah dipakai ketika zaman awal Muhammadiyah, bahkan sampai hari ini. Namun, sepertinya kata-kata tersebut tidak mengacu kepada identitas tertentu. Berkemajuan memang mengacu kepada visi dan cara berpikir ke depan. Dalam dua kalimat di atas misalnya, tampak jelas makna dari kata berkemajuan ialah dekat dengan ‘selalu berpikir’ ke depan, visioner dan selalu one step ahead dari kondisi sekarang (PP Muhammadiyah, 2014).

Dalam catatan sejarah, istilah Islam berkemajuan diperkenalkan kembali dalam memberikan ciri tentang masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Pada saat Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 misalnya, dikupas tentang karakter masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yang salah satu cirinya ialah ‘masyarakat berkemajuan’.

Gerakan Islam berkemajuan, juga digelorakan pada muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta, bahwa Muhammadiyah pada abad kedua berkomitmen kuat untuk melakukan gerakan pencerahan. Kemudian, dipertegas lagi pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar pada tahun 2015, yang berbunyi ‘Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan’.

Adapun karakter berkemajuan sesuai KH. Ahmad Dahlan menurut Abdul Mu’ti antara lain: ningrat tapi merakyat, puritan tapi inklusif, kritis tapi konstruktif, priyayi tapi melayani, kaya dan bersahaja, hartawan dan dermawan, alim tetapi tidak ekstrem, kiai namun tidak semuci (merasa paling suci), teguh tapi tidak angkuh, elite tapi tidak elitis, Arab tapi tidak kearab-araban. Lalu, jawa tetapi tidak kejawen, guru tetapi tidak menggurui, terbuka tapi tidak liberal, taat tetapi tidak radikal, bersahabat tetapi tidak menjilat dan berani tetapi rendah hati (Ibtimes, 2021).

 

Perspektif ekonomi

Suyoto (2019) yang menyatakan bahwa dalam perspektif ekonomi, “Islam berkemajuan adalah strategi hidup berekonomi maju.” Projek ke depan Islam berkemajuan adalah bagaimana melawan kematian (memperpanjang usia produktif), mewujudkan projek kebahagiaan, makanan sehat, alat komunikasi, lingkungan sehat, bisnis data dan ide. Maka, jika di zaman KH. Ahmad Dahlan mengembangkan teologi al-Ma’un, maka sekarang perlu mengembangkan teologi at-Tin. Hal ini relevan untuk menjelaskan kondisi umat Islam masih yang berada di bawah (asfala safilin). Supaya tidak menjadi umat yang kalah, dan selalu di belakang, dan untuk mendapatkan ajrun ghairu mamnun, harus menjadi orang yang berkarya atau produktif. Jadi, menurutnya, “Ekonomi Islam berkemajuan” adalah ekonomi Islam yang produktif, bukan konsumtif (Ibtimes, 2019).

Menurut Ketua Mejelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Linclon Arsyad (2016), sebetulnya sistem ekonomi Islam sangat bisa dikembangkan di Indonesia. Hal tersebut diksebabkan sistem perekonomian di Indonesia sudah bukan embrio lagi, dan ke depan masih bisa diperbaiki. Di samping itu, sistem ekonomi Islam juga sudah sangat sering didengungkan. Menurutnya, sah-sah saja Indonesia memakai sistem ekonomi Islam, namun tidak perlu menggantinya (secara kafah), melainkan dengan cara memasukkan nilai-nilai Islam dalam peraturan atau sistem ekonomi yang disusun oleh negara.

Pandangan tersebut, sejalan dengan pesan Bung Hatta, yang mengajak seorang muslim untuk memakai ‘ilmu garam’, bukan ‘ilmu gincu’. Menurut Buya Syafii Maarif (2005), perbandingan garam dan gincu yang berasal dari ungkapan Bung Hatta pada 1976, yaitu dalam rangka mendidik umat Islam Indonesia agar lebih arif dalam memperjuangkan cita-cita politik Islam. Seorang muslim harus konsisten membawa nilai-nilai Islam di tengah masyarakat, meskipun penampilan lahiriah tidak harus mengusung nama agama secara formalistik.

Ilmu ekonomi Islam, adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran, serta aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi manusia, dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat. Islam memberikan tuntunan kepada umat-Nya untuk melakukan kegiatan ekonomi, “Apabila telah ditunaikan solat, bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumuah: 10).

Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda. Akan tetapi, semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M Abdul Manan, ekonomi Islam adalah, “Social science which studies the economics problems of people imbued with the values of Islam.”

Adapun menurut Khursid Ahmad, ekonomi Islam adalah, “A systematic effort to try to understand the perspective.” Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah, “The Muslim thinkers response to the economic challenges of their times. This response is naturally inspired by the teaching of Qur’an and Sunnah as waal as rooted in them.”

Jadi, ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk melihat, meninjau, meneliti, dan pada akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami, yang berlandaskan pada ajaran-ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah.

Kehadiran ekonomi Islam dinilai oleh banyak kalangan sebagai upaya untuk keluar dari jeratan dua sistem ekonomi global, yaitu kapitalis dan sosialis. Ia hadir dengan menawarkan konsep ekonomi religius yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah. Merujuk pada pandangan Mukhaer Pakkanna (2018), bahwa berdasarkan gambaran konsep Darul-‘Ahdi Wasy-Syahadah, sejatinya ajaran Islam, menurut Muhammadiyah, memiliki sistem dan tatanan hidup dengan prinsip universalisme. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Pancasila telah dijadikan dasar dan falsafah hidup. Sebagai common sense (Darul-‘Ahdi), apa pun yang hendak dikembangkan di tanah air, sejatinya merujuk pada falsafah Pancasila.

Di sudut lain, ajaran Islam, memiliki sistem dan tatanan hidup dengan prinsip universalisme dan kosmopolitanisme (Madjid, 2002). Sangat tepat jika disebutkan, ekonomi Pancasila, yang memiliki nilai-nilai universal dan berlandaskan maqashid al-syari‘ah, yakni memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi warga negara, tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras dan golongan.

Menurut Pakkanna (2018), rumusan universalitas dasar ekonomi Darul-‘Ahdi Wasy-Syahadah atau ekonomi syariah, yaitu pertama, bertujuan untuk mencapai masyarakat sejahtera. Kedua, tidak ada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama serta yang menjadi ukuran perbedaan adalah prestasi kerja. Ketiga, dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya telantar. Keempat, dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin.

Selanjutnya, kelima, pada batas tertentu, hak milik relatif tersebut dikenakan zakat. Keenam, perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang. Dan ketujuh, hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal, dan dipergunakan untuk hal-hal yang halal. Pandangan Mukhaer Pakkanna (2018) di atas sesungguhnya bisa dikatakan merupakan bagian dari konsep besar “Ekonomi Islam Berkemajuan” itu sendiri. Maka Ekonomi Islam Berkemajuan tidak hanya dilandasi dan dijiwai dengan spirit ajaran Al-Quran dan Sunah, tetapi juga mampu menangkap pesan yang terkandung di dalamnya, serta pesan orientasi kemasadepanan, yakni ekonomi Islam yang berkemajuan sebagaimana ditegaskan dalam surat Ali Imran 190-191.

Karena itu, menurut Dadang Kahmad (2019), untuk mengembangkan Islam Berkemajuan dituntut dua hal, yakni : Pertama, keharusan untuk pengembangan nalar, logika dan pengetahuan (yatafakkar fi khalqi al-samâwâti wa al-ardh). Dalam konteks hari ini adalah, keharusan untuk mengembangkan sains teknologi. Kedua, keharusan untuk pengembangan dimensi rasa, jiwa dan ruh (yadzkur Allah). Dalam kontek ekonomi, peradaban kontemporer berada dalam wilayah pengembangan seni budaya yang dikemas dalam destinasi pariwisata. Karena itu, Ekonomi Islam Berkemajuan harus dikembangkan oleh Muhammadiyah, sehingga masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dapat terwujud. Semoga. Wallahua’alam.

BERITA TERKAIT