GENERASI Z dan generasi milenial antara usia 14-39 tahun menjadi generasi yang paling banyak terpapar virus radikal terorisme. Karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus menjalin sinergi dengan stakeholder terkait untuk melakukan penguatan moderasi beragama.
Itu penting sebagai vaksinasi kepada para pelajar dalam rangka pencegahan paham radikal terorisme di lingkungan sekolah. Seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai kota pelajar, murid sekolah harus diberikan divaksinasi agar mereka kebal.
"Kami bekerja sama dengan stakeholder terkait untuk memberikan vaksinasi berupa moderasi beragama. Dalam konteks ini kebijakan pentaheliks yaitu melibatkan multipihak dalam penanggulangan radikal terorisme," ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid pada Sarasehan Penguatan Moderasi Beragama dan Pencegahan Radikalisme dan Ekstremisme di kalangan guru SMA/SMK se-DIY di Yogyakarta, Selasa (27/9).
Ia menjelaskan, kebijakan pentaheliks dengan bersinergi dengan pihak pemerintah yaitu kementerian/lembaga/pemda. Kemudian komunitas masyarakat kegamaan termasuk NU, dan Muhammmadiyah, media, dan sivitas akademika, serta pelaku usaha. Terkait hal ini, para guru SMA/SMK atau sederajat di DIY ke depan bisa memberikan imunitas kepada siswa-siswa mereka.
Menurutnya, hal-hal seperti ini harus terus digelorakan bersama karena guru atau penceramah itu berpotensi menjadi pintu masuk sekaligus pintu keluar radikalisme itu sendiri.
"Kalau gurunya sudah moderat dan kuat dalam membangun moderasi beragama, insya Allah akan ditransformasikan kepada anak didiknya. Ini penting untuk memutuskan kaderisasi paham radikal terorisme," terang Nurwakhid.
Ia menegaskan bahwa virus radikal terorisme bisa mengena pada siapa saja. Karena itu bagi yang moderat harus diberikan vaksinasi ideologi supaya imun sehingga tidak terpapar.
"Kemudian yang OTG (orang tanpa gejala) yang sudah dengan ciri dan indikasi, seperti intoleran terhadap keragaman dan perbedaaan, antipemerintah yang sah, anti-Pancasila, antibudaya, antikearifan lokal, sudah takfiri dengan mengkafirkan orang lain dan negara ini, maka itu kita berikan kontraradikalisasi, termasuk kontrapropaganda, dan kontraideologi," imbuhnya.
Sementara bagi mereka yang termasuk sudah radikal akut, kemudian bergabung dengan kelompok teror, kemudian unsur tindak dipidana sudah terpenuhi, maka akan dilakukan dengan preventif justice akan ditangkap dan diproses hukum yang menjadi ranah Densus 88 Antiteror Mabes Polri di bawah kooordinasi BNPT.
Baca juga: Sebanyak 2.062 PPPK Pemkab Klaten Jalani Masa Orientasi
Ia menegaskan bahwa moderasi beragama itu bukan moderasi agama. Disebut moderasi beragama karena agama itu itu sendiri sudah moderat. Sebaliknya kalau tidak moderat itu biasanya lupa beragama.
"Kenapa kita bicara moderasi beragama? Karena agama sejatinya wasathiyah, Tuhan menciptakan atau menjadikan agama untuk moderat yaitu di tengah-tengah, sehingga bisa rahmatan lil alamin, bisa menebar kasih sayang untuk semuanya. Tidak rahmatan lil Islam, bukan rahmatan lil muslim, tapi semuanya," tutur Nurwakhid.
Namun, kata dia, agama dibajak oleh oknum umat beragama dengan memanipulasi, mendistorsi, dan memolitisasi agama sehingga tidak lagi moderat. Sebaliknya dijadikan alat propaganda untuk menciptakan tujuan. Itulah yang disebut radikalisme terorisme mengatasmakan agama.
Menurutnya, bicara terorisme harus mulai dari hilir. Aksi dan tindakan terorisme dalam kontek Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan tindakan atau perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, bisa fisik atau nonfisik, termasuk verbal mengancam dengan kata-kata.
Kemudian menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara masif, menimbulkan korban jiwa, dan atau menimbulkan kehancuran faslilitas publik, lingkungan hidup, fasilitas internasional, dan objek vital. Dari motif itulah yang mendorong pemerintah menetapkan separatis KKB di Papua sebagai organisasi terorisme karena memenuhi unsur sebagaimana pasal 1 ayat 2 UU No 5 Tahun 2018 tersebut.
Terorisme dijiwai atau dilatarbelakang radikalisme, dalam terminologi asing, ekstremisme. Dapat dikatakan bahwa semua terorisme pasti ekstrem, meskipun mereka yang terpapar paham radikal atau ekstrem tidak otomatis jadi terorisme karena teroris bukan satu tujuan, tapi propaganda untuk mencapati tujuan.
Ia menegaskan bahwa terorisme fitnah bagi agama. Semua aksi terorisme yang dijiwai ekstremisme dan radikalisme mengatasnamakan agama adalah fitnah bagi agama dan musuh agama serta musuh negara. Karena jelas terorisme bertentangan dengan agama yang rahmatan lil alamian, mewajibkan dan menghormati pemimpin, akhlakul kharimah.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris PP Muhammadiyah Dr Agung Danarto mengajak para peserta sarasehan untuk mensyukuri anugerah yang indah dari Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Kalau kita lihat nkri ini terdiri dari berbagai macam suku dan bangsa, bahasa, beraneka agama, sampai saat ini masih ayem tentrem damai. Senantiasa harus kita syukuri," ungkapnya.
Sarasehan diikuti sekitar 150 guru dari SMA/SMK sederajat dar DI Yogyakarta. Mereka berasal dari sekolah negeri, swasta, sekolah elite, termasuk sekolah kristen dan katolik. (RO/OL-16)